24 November 2008

MUSUH UTAMA

Kemacetan menjadi musuh utama sewaktu kami menjalani tugas. Yang kedua, pengguna jalan raya yang enggan memberi kami jalan. Ini bukan sekali dua kali saya alami. Makanya, maaf-maaf saja kalau sering keluar kata-kata tidak menggenakkan dari mulut saya. Hehehe.
Tapi, saya terpaksa melakukan itu, mungkin juga teman-teman seprofesi lainnya. Sebab, ini menyangkut nyawa orang lain. Dan sebetulnya, sangat keterlaluan bagi siapa saja yang dengan sengaja menghalang-halangi atau tidak mau minggir ketika ambulans dengan suara sirene yang meraung-raung ada di belakangnya.
Seperti yang pernah saya alami ketika akan menjemput pasien dalam kondisi merah di sebuah perumahan di bilangan Jakarta Selatan. Waktu itu ada pengendara motor yang tidak mau minggir, malah dengan santainya berjalan pelan. Sirene sudah menjerit-jerit ditambah klason yang ikut menyalak, tapi bikers itu tetap cuek.
Begitu ada kesempatan menyalip itu motor, rekan saya yang membawa ambulans langsung memepetnya. Saya langsung buka kaca sambil berteriak marah. Setelah itu ambulans langsung tancap gas. Nguing…nguing…nguing…
Tapi, di lain kesempatan pernah ambulans yang saya awaki terpaksa menyenggol pantat motor lantaran ndablek tidak mau memberi kami jalan. Ketika itu, sedang lampu merah, tapi ada sedikit ruang buat kami lewat dengan memakai sebagian badan trotoar. Tapi, biker itu dengan cuek-nya tidak mau meminggirkan motornya padahal ada ruang cukup luas di sebelah kanannya.

Asal tahu saja, kami tidak akan pernah meminta jalan apalagi sok-sokan dengan menyalakan sirene bila keadaannya tidak gawat darurat. Ini sudah menjadi prosedur tetap Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Lagian, Peraturan Pemerintah Nomor 43/1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan menyebut, pemakai jalan wajib mendahulukan mobil pemadam kebakaran dan ambulans yang sedang bertugas.

sore di kunciran

12 November 2008

TANGIS BAYI

Tangis bayi yang baru berumur dua hari itu pecah di dalam ambulans yang saya awaki di medio 2006 lalu. Ini sebuah mukjizat sebab sudah dua hari orok tidak pernah menangis.
Begitu lahir di sebuah rumahsakit di bilangan Jakarta Timur memang bayi itu sempat menangis. Tapi, setelah itu dia terdiam. Makanya, dokter yang merawatnya memerintahkan orok malang tersebut dirawat secara intensif di ruangan ICU.
Tapi, tak ada tempat lagi buat si bayi di ICU rumahsakit itu. Terpaksa, orang tuanya harus memindahkan dia ke rumahsakit lain, juga di daerah Jakarta Timur. Karena itu, mereka mengontak Ambulans 118 untuk membantu pemindahan anaknya.
Jujur, saya bersama rekan sempat tidak enak hati meminta biaya ke orang tua bayi tersebut lantaran jarak rumahsakit yang dituju hanya sepelemparan batu. Paling lima menit juga sampai. Makanya, saya bilang baik-baik ke orang tua baik kalau sebetulnya kami tidak ingin memungut biaya sepeser pun. Cuma, lantaran tugas ini atas perintah kantor kami tidak bisa mengelak. Mereka pun memahami perasaan kami.
Setelah semua urusan administrasi beres, ambulans pun meluncur ke rumahsakit tujuan. Tak lama kemudian mukjiizat itu terjadi, sang bayi menangis hebat. Kami sempat dibuat terbengong-bengong melihat keajaiban ini.
Mukjizat ini yang membawa bayi itu cukup menjalani perawatan di ruang biasa. Tidak perlu sampai di ICU segala. Mungkin ini jawaban Tuhan atas perasaan saya dan rekan yang sempat tidak enak hati itu karena jarak yang pendek tapi tetap ditarik biaya.
Si orang tua bayi memang mesti keluar ongkos ambulans, tapi mereka tidak perlu lagi mengeluarkan biaya yang berlipat-lipat lagi untuk perawatan anaknya di ruang ICU.
Sebelum kami meninggalkan rumahsakit tersebut, ayah sang bayi mengucapkan banyak-banyak terima kasih ke kami. Bahkan, dia meminta kami untuk memberi nama pada anaknya. Tapi, permintaan ini kami tolak. Dalam hati saya hanya bisa berbisik:
Terima Kasih Tuhan.


malam di kunciran

10 November 2008

TABRAKAN MAUT

Masih ingat kejadian mobil Honda Jazz yang ditumpangi seorang penyanyi muda menghajar ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta di Jalan Sisingamangaraja, Jakarta, awal Juni lalu. Peristiwa ini ramai diberitakan infotaiment ketika itu.
Jujur, kasus kecelakaan tersebut menjadi salah satu alasan saya melahirkan blog
Catatan Harian Paramedis. Kalau saja warga Jakarta atau orang lain yang kebetulan sedang berada di daerah khusus ibukota ini tahu keberadaan kami, tugas kami, pastilah kejadian tabrakan maut itu tidak terjadi.
Begitu juga dengan peristiwa yang saya alami tahun ini, hanya beberapa pekan sebelum tabrakan yang akhirnya menewaskan pasien yang sedang dibawa ambulans naas tersebut.
Di suatu siang, ambulans yang saya awaki diseruduk motor dari samping ketika membawa pasien yang butuh penanganan segera di rumah. Sirene sudah meraung-raung dan lampu mobil depan menyala—ini tanda kami sedang mengangkut pasien dalam kondisi merah—bahkan polisi sudah meminta mobil dan motor berhenti untuk memberi kesempatan ambulans lewat. Tapi, kenyataannya masih juga ada orang yang nekad sampai-sampai menabrak ambulans kami.
Sebelumnya, ambulans yang saya awaki nyaris saja dihajar mobil yang melaju kencang di jalur busway. Waktu itu, ambulans saya sedang memutar arah untuk menjemput pasien. Setelah menengok kanan-kiri dan tak ada gelagat busway mau lewat, kami pun tancap gas. Tiba-tiba datang dari arah kiri mobil. Kalau saja si sopir tidak cekatan, pastilah: brak…. Sedan itu menghantam kami.
Jadi, Beri Ambulans Gawat Darurat Jalan!


sore di kunciran

06 November 2008

ANAK ANGKAT

Saya berusaha sekuat mungkin menahan supaya air mata ini tidak jatuh. Soalnya, kata-kata yang meluncur dari mulut ibu itu betul-betul membuat saya terharu. “Put, mau tidak menjadi anak angkat saya?,” katanya mantap suatu siang di 2006.
Perempuan paruh baya yang hampir membuat saya menangis haru itu adalah orang yang sering kami antar dengan ambulans untuk berobat rutin ke rumah sakit. Entah kenapa, si ibu lebih senang kalau saya yang mendampinginya sewaktu kontrol. Setiap kali ingin ke rumah sakit, dia selalu meminta ambulans yang diawaki saya.
Ibu tadi tinggal sendiri di sebuah rumah besar dan mewah di daerah Jakarta Selatan. Anak-anaknya sudah menikah dan memilih tidak tinggal satu atap lagi dengan bunda mereka. Mungkin merasa kesepian, dia meminta saya menjadi anak angkatnya. Tapi, saya tidak tahu atau bertanya ke ibu itu: kenapa memilih saya?
Tugas membawa saya harus masuk kandang. Maksudnya, BELA. Saya kena giliran naik ke operator. Bekerja di balik meja, menerima telepon yang masuk. Jadi, tak bisa lagi memenuhi permintaan ibu tadi untuk mendampinginya kala cek up rutin ke rumah sakit.
Begitu kembali ke lapangan, saya tidak pernah lagi mendapat perintah dari BELA untuk mengantar ibu tersebut control rutin. Bisa jadi, dia sudah betul-betul sembuh. Tapi, tawaran menjadi anak angkat itu masih membekas sampai sekarang.


sore di kunciran