11 Juli 2008

PENDIDIKAN DASAR

Setelah melewati serangkaian tes termasuk ujian mengemudi di simulator milik Direktorat Lalu Lintas Mabes Polri, akhirnya, pada Oktober 2004 saya bergabung dengan Ambulans Gawat Darurat 118—sekarang Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Tapi, belum resmi lantaran masih ada satu ujian lagi yang mesti dilewati: Pendidikan Dasar.
Dikdas-- begitu Pendidikan Dasar populer disebut--merupakan tahapan ujian untuk mendapatkan brevet paramedis. Awalnya, saya mesti mengikuti kelas pengenalan Ambulans 118 dan kegawat daruratan selama sepekan lebih di kantor Ambulans 118 yang terletak di kawasan Sunter Jakarta Pusat--kami menyebutnya BELA.
Setelah itu, Dikdas lanjutan digelar di kaki bukit Gunung Salak selama tiga hari. Ini mirip perpeloncoan sewaktu masa kuliah di Akademi Keperawatan dulu. Habis, ada acara marah-marahan segala, selain tentunya hukuman fisik. Tapi, tujuan utamanya adalah menggembleng mental dan fisik kami. Sebab nantinya, kami tidak hanya bertugas di seputaran Jakarta saja. Kami juga harus siap dikirim ke daerah lain sewaktu bencana meluluh-lantakkan wilayah tersebut.
Dan, terbukti sewaktu tsunami melumat Aceh dan gempa bumi memporak-podandakan Jogjakarta, Ambulans 118 mengirim paramedis ke lokasi bencana. Itu sebabnya, ketika Dikdas di kawasan Bogor tersebut ada acara mengevakuasi korban yang jatuh ke jurang.
Saya pun lolos dari tahapan akhir ini dan berhak menyandang gelar paramedis. Dikdas menjadi modal awal saya mengemban tugas sebagai kru Ambulans 118. Saya resmi mulai melakoni profesi ini menjelang tutup tahun 2004. Dan, bertugas di wilayah Jakarta Selatan yang waktu itu punya enam pos: Pos Polisi Pancoran, Kantor Walikota Jakarta Selatan, Kantor Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Selatan, Kantor PT Jalan Lingkarluar Jakarta, Pos Polisi Tanjung Barang dan Pos Polisi Kuningan.
Saban dua pekan sekali kami rotasi untuk menempati pos-pos tersebut. Dengan kekuatan enam mobil dan satu motor ambulans kami menanti panggilan.

Hallo Ambulans 118….

sore di kunciran

10 Juli 2008

OM SWASTIASTU

Saya sengaja membuka blog yang baru saja tampil perdana pada 3 Juli lalu di jagad maya dengan sejumlah artikel. Tulisan di tiga harian tersohor yang bercerita tentang sosok Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang dulu dan sampai sekarang popular dengan sebutan Ambulans 118. Juga sosok paramedis yang bekerja di layanan emergency tersebut.
Tujuannya, untuk memperkuat apa yang saya tulis berikutnya adalah benar adanya. Sebab, selanjutnya yang tergores dalam blog bertajuk Catatan Harian Paramedis adalah kisah pribadi saya ketika melakoni profesi sebagai Paramedis Ambulans 118 sejak Desember 2004 lalu. Ada kejadian yang bikin saya bangga, marah, terharu bahkan menangis sekalipun. Hanya saja, saya tidak tahu persis kapan tanggal pastinya lantaran semuanya hanya tersimpan dalam memori otak saja.

Berharap, siapapun yang membaca catatan harian saya ini menjadi tahu dan paham akan adanya profesi paramedis di tengah-tengah kesibukannya beraktifitas. Nama tempat dan lembaga yang menjadi bagian dalam tulisan saya, sengaja tidak disebut. Supaya tidak ada anggapan saya menyerang atau membuka aib mereka. Selamat membaca.

malam di kunciran

08 Juli 2008

Layanan Ambulan Gratis Hanya untuk Keluarga Miskin

KEHADIRAN ambulans penting buat melayani masyarakat yang kena musibah. Sayangnya, belum banyak warga Jakarta yang tahu bahwa Ambulans Gawat Darurat (AGD) Dinas Kesehatan DKI Jakarta memberikan pelayanan cuma-cuma buat korban kecelakaan, bencana, dan warga masyarakat miskin.
Memang tak semua pengguna ambulans bisa mendapat layanan gratis 100%. Sebab, manajemen juga butuh duit buat menggaji karyawannya. Asal tahu saja, pasukan siap siaga DKI yang beranggotakan 272 orang ini terdiri dari 6 pegawai negeri sipil (PNS) dan 266 non PNS. Mereka berperan sebagai tenaga perawat, tenaga administrasi, dan lainnya.
Bagi warga yang benar-benar miskin atau korban kecelakaan dan bencana, korps AGD siap menolong tanpa pungutan biaya. “Terutama bagi orang miskin, korban kecelakaan, atau bencana, biaya operasionalnya mendapatkan subsidi Pemda DKI Jakarta, makanya gratis,” kata Direktur AGD Dinas Kesehatan DKI Jhon Marbun.
Layanan yang masuk kategori gratis itu antara lain diperuntukkan bagi korban banjir. Ambulans 118 siaga mengangkut korban tenggelam ke rumah sakit. Korps gawat darurat juga siaga menolong korban yang terpanggang api akibat kebakaran. Bagi masyarakat miskin, mereka cukup mengeluarkan kartu keterangan tak mampu.
Bagi warga yang mampu, sesuai Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2006, ongkosnya "sewa" ambulans cuma Rp 200.000 sekali jalan. Kalau keluar wilayah DKI, ada tambahan biaya sesuai jarak. Pasien mendapat semua fasilitas yang ada di ambulans, termasuk penanganan pertama oleh paramedis.
Lantaran keuangan AGD 118 seret, Dinas Kesehatan DKI Jakarta berkeinginan menaikkan tarif tadi menjadi Rp 400.000 -Rp 500.000. Hanya saja, usulan ini belum berlaku lantaran masih harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov DKI).
Cuma, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta mengingatkan, agarAGD Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengenakan tarif yang transparan. “ Bisa saja dibikin tarif seperti taksi yang dihitung berdasarkan jarak. Kalau tak jelas, petugas bisa bermain di jalan,” katanya.
Ongkos AGD 118 memang terbilang murah ketimbang memakai jasa ambulans rumah sakit yang tarifnya bisa meroket belipat-lipat. Untuk memakai mobilnya saja, minimal Rp 400.000. Bila ditambah penggunaan oksigen, tambah lagi minimal Rp 200.000. Terus, kalau didamping paramedis, makin gede lagi biayanya.
Agar warga terlayani dengan baik, AGD DKI juga minta agar warga turut mengawasi petugasnya. Makanya, manajemen juga membuka diri menerima kritik. “Masyarakat butuh pelayanan yang baik, kami wajib menerapkan sistem manajemen mutu. Siapa yang berbuat jelek, laporkan saja” kata Jhon.


oleh: Handiman, Hikmah Yanti
KONTAN
1 Juli 2008

Ambulans, Hadir di Detik-Detik yang Menentukan

RAUNGAN bunyi sirine ambulans selama ini memang menjadi penanda adanya kondisi darurat. Wajar bila semua mobil kudu menyingkir dari jalan untuk melempangkan laju ambulans. Soalnya, di dalam ambulans boleh jadi ada penumpang dalam kondisi kritis dan membutuhkan pertolongan segera.
Tentu, kondisi ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, entah itu akibat kecelakaan lalu lintas, kebakaran, sakit, dan sebab gawat lainnya. Kesigapan dalam memberikan pertolongan pertama seringkali menjadi kunci utama menyelamatkan nyawa korban. Makanya, tak sedikit orang yang sontak memanggil layanan ambulans gawat darurat (AGD).
Selain ambulans dari rumah sakit terdekat, korban atau keluarga bisa memanggil layanan ambulans milik Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang lebih populer dengan sebutan Ambulans 118. Kehadiran tim medis ini menjadi tumpuan tatkala ada korban yang tengah membutuhkan pertolongan pertama. Sebelum tiba di rumah sakit, di dalam ambulan, tim medis akan memberikan pertolongan pertama.
Jasa pertolongan pertama ini akan menolong korban di tempat kejadian sekaligus mengantarnya ke rumah sakit. Petugas medis ini akan menolong si korban meredakan rasa sakitnya. Jika ada orang sesak nafas, pasien akan mendapatkan pertolongan oksigen dalam ambulans. Kalau kelewat parah, petugas akan melakukan pernafasan buatan.
Kondisi ini tak bisa dilakukan di mobil pribadi lantaran keluarga korban keburu panik duluan. Makanya, bila melongok isi ambulan, peralatannya beragam. Di sana ini tersedia berbagai peralatan standar yakni infus berikut jarum, oksigen, penopang leher, serta perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K).
Tak hanya itu, korps ambulans gawat darurat juga wajib disertai tim medis yang bertugas memberikan pertolongan pertama. Mereka umumnya mahir karena sudah ikut mendapat serangkaian pelatihan dan mengantongi sertifikat untuk menangani pasien kritis. “Tenaga medis di ambulans gawat darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta minimal lulusan diploma tiga keperawatan,” kata Direktur AGD Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Jhon Marbun.
Tenaga medis ambulans juga sudah mengecap ilmu penanganan basic life support atau bantuan hidup pasien, basic trauma dan lainnya dari berbagai rumah sakit terkemuka seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Tak heran, mereka juga cukup piawai menangani pasien gawat yang terkena serangan jantung, trauma, dan lainnya.
Untuk pasien nontrauma, seperti pasien dengan keluhan stroke, gagal ginjal, dan penyakit jantung, perlengkapan seperti elektrokardiografi atau EKG juga tersedia. Untuk pasien traumatik seperti korban kecelakaan, jatuh dari pohon atau tertabrak mobil, "Perlengkapan lengkap wajib tersedia," ujar Jose Rizal Jurnalis, Ketua Presidium Medical Emergency Rescue Committe (MER-C), organisasi sosial gawat darurat dan medis.
Saking pentingnya, korps ini berhak menjadi raja jalanan ketika menjalankan tugasnya. Hak istimewa ini dijamin lewat Undang-Undang Nomor 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 43/1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan. Selain ambulans, mobil yang berhak menjadi raja jalanan cuma pemadam kebakaran, kepolisian, dan tamu negara. "Masalahnya kemacetan di Jakarta sering menjadi biang keterlambatan si ambulans ke rumah sakit," ujar Rizal.
Nah supaya tak lelet, AGD 118 milik DKI juga bekerjasama dengan seluruh rumah sakit di DKI. Bahkan, ambulans ini juga nongkrong di pos pemadam kebakaran dan pos polisi supaya awak ambulans selalu siaga. Maklum, kebutuhan ambulans seringkali meroket sehingga stoknya kosong di rumah sakit. “AGD Dinas Kesehatan DKI Jakarta beroperasi 24 jam penuh. Hari libur pun kami harus beroperasi,” kata Jhon.
Bila Anda membutuhkan pertolongan, prosedurnya tak ribet. Keluarga atau korban bisa menelepon alarm centre di rumah sakit terdekat. Bila ingin menggunakan layanan AGD Dinas Kesehatan DKI tinggal menelepon di 65303118. Telepon di 118 saja juga bisa, tapi kadangkala ada gangguan. Dari alarm centre ini, petugas akan menyambungkan ke petugas paling dekat ke lokasi korban. “Asal tak terjebak macet, tim bisa tiba dengan cepat datang,” kata Jhon.
Lantaran pemerintah kudu mengembang misi sosial, tarif AGD 118 murah meriah. Saking murahnya, peminat cukup membeludak. Padahal, dari 90-an mobil yang ada, cuma 30 unit saja yang bisa bergentayangan di jalanan. Selebihnya, 60 mobil lagi rusak. Makanya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta punya tugas berat untuk mengembalikan kekuatan armadanya.


oleh: Handiman, Hikmah Yanti, A. Syalaby Ichsan
KONTAN
1 Juli 2008

07 Juli 2008

Mobilnya Jangan Ikut Sakit Dong!

Bagi masyarakat kelas menengah-bawah, ambulans gawat darurat dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta sangatlah membantu. Saat kepepet layanan ambulans, warga akan teringat jalur telepon 118 yang sudah dikenal. Sayangnya, tak semua pelanggan dapat ambulans yang memadai.
M Supriyadi (17), pemuda yang tinggal di Kalideres, Jakarta Barat, punya pengalaman baik. Akhir tahun 2007, bagian pergelangan kaki kirinya patah akibat terlindas truk di kawasan Jatake, Tangerang. Saat kebingungan, ada teman menyarankan agar memanggil ambulans.
Ritawati, ibu pemuda itu, segera menelepon 118 untuk meminta pertolongan ambulans. Setelah menunggu sekitar satu jam, ambulans tiba dan membawa Supriyadi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Pemuda ini pun memperoleh pengobatan.
Dia bersyukur karena akhirnya mendapat pertolongan dan pertolongan diberikan gratis. ”Saya diminta memberi fotokopi surat keterangan tidak mampu atau kartu keluarga miskin (gakin). Itu sangat membantu,” kata Supriyadi.
Pasangan Ana Sutiana (38) dan Sudarman (42), keluarga kelas bawah di Petojo Utara, Jakarta Barat, juga langganan ambulans. Anak perempuan pasangan ini, Vivi Nurhayati (10), menderita hidrosefalus yang menyebabkan kepalanya membesar. Penyakit yang diderita sejak usia dua bulan itu mengharuskan bocah itu kontrol bolak-balik ke rumah sakit.
Saat Vivi berusia enam tahun dan kepalanya semakin membesar, Ana tak kuat lagi berobat dengan angkot. Bayangkan saja, berat bocah yang sekarang berusia 10 tahun itu mencapai 40 kilogram. Dia pun mencoba menggunakan ambulans 118 dan ditolong.
”Saya pakai surat keterangan tak mampu, jadi mendapat layanan ambulans gratis. Kalau mau berangkat, tinggal telepon. Selesai kontrol, telepon lagi,” kata Ana.
Tak semua masyarakat memperoleh layanan baik. Sebagian dari mereka mengeluh karena ambulans yang menjemput ternyata rusak. Perjalanan menjadi menyiksa.
Contohnya keluarga Ida Thimour (57), warga Depok. Awal Januari lalu, Ida pernah meminta pertolongan ambulans gawat darurat untuk membawa ibunya, Hermina Sihombing (79), dari Rumah Sakit Tebet, Jakarta Selatan, menuju rumahnya di Depok. Untuk itu, dia dikenai biaya Rp 500.000.
Sayang, ambulans yang datang tidak punya AC dan mesinnya suka ngadat. Perjalanan dari rumah sakit ke rumah pun memakan waktu dua jam dan itu harus ditempuh dalam udara panas akibat AC mati. ”Ibu saya yang sakit osteoporosis dan saraf kejepit menjadi tambah kepayahan,” kata Ida.
Ida berharap ambulans gawat darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta mau berbenah diri. Masih banyak masyarakat yang belum punya kendaraan sendiri sehingga membutuhkan pertolongan ambulans.”Sebaiknya berilah pelayanan memadai dengan mobil bagus dan waktu yang cepat. Masak orang sakit diangkut pakai mobil yang sakit juga. Nanti tambah parah dong penyakit orang itu,” kata Ida.


oleh: Ilham Khoiri
KOMPAS
Minggu, 29 Juni 2008

Berpacu Melawan Macet

Di negara maju, waktu bagi ambulans untuk merespons panggilan darurat berkisar 4-6 menit. Di Jakarta yang lalu lintasnya kacau dan macet, ambulans paling cepat datang 30 menit setelah dipanggil. Kita hanya bisa berdoa semoga pasien bertahan hidup hingga ambulans tiba.
Kemacetan lalu lintas memang menjadi penghambat utama bagi ambulans. Semua petugas ambulans di Jakarta tahu benar masalah itu. Simak saja pengalaman mereka.
Ludy Hardiyant (27), petugas ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta, pernah mendapat tugas menjemput pasien yang kritis di Duren Sawit, Jakarta Timur. Ketika itu, dia sedang berjaga di Kampung Rambutan yang waktu tempuhnya dari Duren Sawit sekitar 30 menit dalam keadaan normal.
”Saya langsung tancap gas. Tetapi, ambulans saya terjebak di tengah kemacetan,” kata dia. Akibatnya, Ludy baru tiba di tempat pasien satu jam kemudian. Pasien langsung diangkut ke rumah sakit, tetapi meninggal sebelum mendapat perawatan.
Japistar (38), petugas ambulans lain, bahkan gagal mengevakuasi pasien yang mengalami sesak napas tahun 1999. Ketika itu dia ditugaskan menjemput pasien di Cengkareng, Tangerang. Dalam perjalanan menuju rumah pasien, ambulans yang dia kendarai dihadang kemacetan parah. Ambulans yang berangkat pukul 10.00 baru tiba di rumah pasien satu jam kemudian.
Ketika ambulans tiba, nyawa pasien telah melayang. Dokter yang memeriksa menyatakan, pasien meninggal sekitar 10 menit sebelum ambulans datang. ”Kami kecewa. Kalau saja lalu lintas lancar, setidaknya kami bisa memberi pertolongan pertama atau membawa pasien ke rumah sakit biar cepat ditangani dokter,” ujar Japistar.
Untuk menyiasati kemacetan, Ambulans Gawat Darurat 118 pernah mengerahkan tim ambulans sepeda motor yang bisa menembus kemacetan. Prosedurnya, paramedis akan meluncur dengan sepeda motor lebih dulu ke rumah pasien untuk memberi pertolongan pertama. Setelah itu, mobil ambulans menyusul untuk mengevakuasi pasien.
”Dua tahun lalu, ada 10 ambulans sepeda motor yang bersiaga di lima wilayah DKI. Sekarang sepeda motornya enggak tahu ke mana,” kata Aryono Djuned, Ketua Yayasan Ambulan Gawat Darurat Terpadu 118.
Yang lain ke pinggir
Secara normatif, ambulans mendapat prioritas utama dalam menggunakan jalan. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan menyebutkan, ”Pemakai jalan wajib mendahulukan mobil pemadam kebakaran dan ambulans yang sedang bertugas.”
Prioritas selanjutnya adalah kendaraan untuk menolong korban kecelakaan lalu lintas, kendaraan kepala negara atau tamu negara, iring-iringan mobil pengantar jenazah, dan kendaraan yang mengangkut barang- barang khusus.
Di Indonesia, aturan normatif sering tidak nyambung dengan kondisi di lapangan. Entah tidak paham aturan atau terlalu egois, banyak pengendara tidak mau memberi jalan untuk ambulans meski petugasnya menyalakan lampu warna merah yang berputar-putar (rotator) menyilaukan dan membunyikan sirene.
Octaria (28) pernah dibuat jengkel oleh pengemudi egois. ”Saya pernah dipepet dua truk kontainer ketika membawa pasien. Untung saya tidak panik. Kalau saya panik, keluarga pasien ikut panik. Wah, bisa gawat,” ujar petugas ambulans yang beroperasi di wilayah Jakarta Utara itu.
Jalan-jalan di wilayah itu memang sering disesaki kendaraan berat, seperti truk, kontainer, dan trailer. Octaria harus cekatan dalam mengemudikan ambulans.
Pengalaman lebih buruk dialami keluarga Janu Utomo (76), pengguna layanan ambulans gawat darurat di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Teguh Ostentrik, adik ipar Janu, menceritakan, Janu mendadak sakit pada 1 Juni lalu. Keluarga Janu segera memanggil ambulans gawat darurat untuk membawa Janu ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) di Jakarta Selatan.
Di dalam ambulans, Janu ditemani istrinya, Retno Indarti (65), dan anaknya, Krisanti Indriani. Ambulans tersebut dikemudikan Januari Purwoko ditemani perawat Risa Citra Dewi. Saat mobil melintas di Jalan Sisingamangaraja, dekat Masjid Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sekitar pukul 02.45, ambulans ditabrak Honda Jazz. Bagian samping kanan belakang ambulans hancur, sedangkan bagian depan mobil Honda Jazz rusak.
”Kakak ipar saya terlempar sampai 30 meter. Dia akhirnya meninggal di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSPP akibat kepala bagian belakang pecah. Retno luka parah dan masih kritis sampai sekarang,” kata Teguh ketika dihubungi Kamis (26/6). Penumpang ambulans lainnya juga mengalami luka-luka. Januari memar, bibir Krisanti sobek, dan wajah perawat Risa luka dan memar.
Belakangan diketahui, mobil Honda Jazz itu dikemudikan Putri Rizki Indriasari. Di dalam mobil itu juga ada Nuri, salah seorang personel band Shaden. Karena Nuri seorang selebriti, kejadian itu pun mendapat sorotan media infotainment. Dalam konferensi pers, Nuri malah menyalahkan ambulans. Katanya, ambulans yang menabrak Honda Jazz.
Teguh benar-benar dongkol mendengar tudingan itu. ”Kami tidak terima dengan konferensi pers yang digelar Nuri. Yang benar, kami ditabrak bukan menabrak,” ujarnya. Bagaimanapun, kata dia, ambulans yang membawa orang sakit harus diprioritaskan ketimbang kendaraan pribadi dan umum.
Selain kemacetan dan sikap egois pengemudi kendaraan, petugas ambulans kadang terhambat karena petugas rumah sakit, bahkan polisi, tak mengerti prosedur kerja ambulans. Ludy menceritakan, ketika dia tergopoh- gopoh untuk mengevakuasi korban ledakan bom di Kedubes Australia tahun 2004, ambulansnya malah dicegat polisi. Setelah berdebat, akhirnya ambulansnya diperbolehkan masuk.
Masalah tidak berhenti di sini. Ketika Ludy mengangkut korban selamat ke rumah sakit, petugas rumah sakit justru mengarahkan ambulans itu ke kamar mayat, bukan ke IGD.


oleh: Budi Suwarna/Lusiana Indriasari/Ilham Khoiri
KOMPAS
Minggu, 29 Juni 2008

Nasib Karyawan Ambulans

Kehidupan para personel ambulans sama daruratnya dengan pelayanan yang mereka berikan. Selain belum menerima gaji selama enam bulan, mereka juga tidak mendapat tunjangan apa pun, termasuk tunjangan kesehatan.
Ada yang begitu miskinnya sehingga tidak sanggup membayar layanan kesehatan ketika sakit. Simaklah cerita Nita (28), paramedis di Ambulans Gawat Darurat (AGD) 118. Ia terpaksa mengaku sebagai gelandangan demi mendapat pengobatan gratis.
Suatu ketika, suami Nita sakit. Karena mereka tidak memiliki tunjangan kesehatan, Nita berharap sakit suaminya dapat dibiayai pemerintah melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK-Gakin).
Program milik Dinas Kesehatan DKI Jakarta ini mensyaratkan, penerima JPK-Gakin harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta. Padahal, Nita dan suaminya berdomisili di Depok, Jawa Barat. ” Saya minta surat keterangan miskin ke RT/RW di Jakarta mengaku sebagai gelandangan,” tutur Nita.
Nasib Japistar (38) setali tiga uang. Karena gajinya belum dibayar, dia terpaksa mengandalkan gaji Raida, istrinya, yang bekerja sebagai suster di sebuah rumah sakit di Bekasi.
Japistar mengaku, penghasilannya sebulan sekitar Rp 2,179 juta. Uang itu tidak cukup untuk menghidupi istri dan tiga anaknya. ”Kami selalu berkeringat dingin, pusing (karena gaji tidak cukup),” kata laki-laki yang telah bekerja sebagai petugas AGD 118 sejak tahun 1988.
Saking hematnya, Japistar sampai tidak bisa membeli baju. ”Baju seragam putih yang saya pakai ini hanya satu. Kalau pulang, langsung dicuci agar bisa dipakai besoknya,” tambah dia.
Kalau Japistar masih punya pemasukan, lain lagi dengan Octaria (28). Kebetulan Octaria dan suaminya sama-sama bekerja di AGD 118. Karena dana pemerintah belum turun untuk pembayaran honor mereka, Octaria dan suaminya sama sekali tidak punya uang untuk menghidupi keluarga.
Sekarang Octaria sedang hamil. Untuk berhemat, ia mengurangi jatah minum susu yang biasanya tiga kali sehari menjadi satu kali sehari. Karena tidak ada penghasilan, ekonomi keluarga Octaria pun menjadi tanggungan orangtua.
Nasib Arsyad (50), karyawan bagian mekanik AGD 118, mungkin lebih apes dibandingkan dengan teman-temannya. Pasalnya, istrinya hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak punya penghasilan. Untuk membiayai hidup istri dan tiga anaknya, Arsyad terpaksa berutang kepada tetangga, teman, dan orangtua. Kadang dia juga mencari tambahan dengan bekerja sambilan di bengkel.Bagaimana bisa berkonsentrasi menyelamatkan orang bila keluarga sendiri saja tidak mampu diselamatkan.


oleh: Budi Suwarna/Lusiana Indriasari/Ilham Khoiri
KOMPAS
Minggu, 29 Juni 2008

Darurat! Darurat!

Ambulans Gawat Darurat atau AGD 118 di Jakarta keadaannya benar-benar darurat. Dari 92 mobil ambulans, hanya 25 ambulans yang bisa jalan. Itu pun sering mogok. Paramedis dituntut bisa menyelamatkan pasien sekaligus menjadi montir bagi ambulans yang bermasalah di jalan.
Kondisi ini ironis karena AGD 118 milik Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta ini menjadi andalan masyarakat dalam hal layanan darurat. Maklum, dibandingkan dengan institusi lain, AGD 118 memiliki ambulans paling banyak. Rumah sakit, misalnya, rata-rata memiliki dua unit ambulans saja.
Dengan sarana serba darurat inilah para petugas ambulans bekerja. Tentu saja banyak pengalaman tidak enak yang mereka alami akibat kondisi ambulans yang buruk.
Umairoh (31) atau akrab disapa Umi, paramedis AGD 118, misalnya, pernah menghadapi kenyataan ban ambulansnya pecah ketika membawa pasien gawat di daerah Pluit, Jakarta Utara.
Perempuan itu segera menepikan kendaraan ambulans. Dia kemudian turun dan mengganti ban. Sementara temannya yang lain berjuang memberi napas buatan kepada pasien yang sedang megap-megap.
”Tidak ada yang membantu. Semuanya dikerjakan sendiri,” kata Umi. Setiap kali bertugas, Umi dan paramedis lainnya juga harus mengecek sendiri kondisi kendaraan, seperti busi, aki, oli, dan minyak rem.
Ludy Hardiyant (27) juga pernah kelabakan menangani pasien kritis di ambulans. Ketika pasien butuh oksigen, alat bantu pernapasan tidak bisa digunakan karena selangnya bocor. ”Sepanjang jalan, saya hanya bisa berdoa, semoga dia (pasien) bisa bertahan hidup,” kenangnya.
Sejak dibentuk pada 1973, kondisi AGD 118 semakin kritis. Dulu AGD 118 dikelola Yayasan AGD 118. Karena konflik internal, AGD 118 akhirnya diambil alih Dinkes DKI Jakarta.
Ketika diserahkan ke Dinkes DKI Jakarta tahun 2006, masih ada 33 ambulans yang bisa jalan. Dua tahun kemudian, pada tahun 2008, jumlah ambulans yang bisa beroperasi tinggal 25 ambulans. Setelah tidak lagi mengelola, Yayasan AGD 118 kini hanya memberi pelatihan kegawatdaruratan.
Rongsokan
Puluhan ambulans yang rusak itu teronggok di halaman markas AGD 118 di Sunter, Jakarta Utara. Mobil bercat putih-hijau yang dulu dibeli dengan harga Rp 300 juta-Rp 600 juta itu sebagian bahkan sudah menjadi rongsokan.
Kerusakan ambulans bermacam-macam. Sebagian besar ambulans itu bannya bocor. Beberapa lagi sudah tidak ada bannya. Ambulans yang lain bodinya penyok dan berkarat, kacanya pecah, dan rotator rusak, dan lain-lain.
”Kami sudah mengajukan anggaran ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi dananya belum turun,” kata Muji Artono, Koordinator Pelayanan AGD 118.
Menurut John Marbun, Kepala Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), badan yang dibentuk Dinkes DKI Jakarta untuk mengelola AGD 118, anggaran yang disediakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk AGD 118 setiap tahunnya Rp 4 miliar. Sementara itu, pendapatan dari operasional ambulans yang bisa dikumpulkan AGD 118 sebesar Rp 3,8 miliar.
Pasien yang ingin menggunakan jasa layanan AGD 118 dikenai biaya bervariasi, tergantung jarak. Untuk jarak paling dekat, biaya ambulans minimal Rp 200.000.
Karena tidak dirawat, ambulans yang masih ”sehat” satu per satu menjadi rusak. Agar tetap beroperasi, perbaikan dilakukan dengan cara kanibal. Mobil yang sudah rusak diambil onderdilnya lalu dipasang di mobil lain yang masih ”sehat”. ”Jadi mobil yang rusak semakin rusak,” kata Arsyad, mekanik ambulans.
Gedung berlantai tiga yang digunakan sebagai markas ambulans tidak kalah memprihatinkan. Gedung yang dipakai sejak tahun 1980-an ini tidak terawat. Catnya banyak yang mengelupas. Debu dibiarkan menempel di mana- mana dan lantainya kusam. Sebagian besar WC di gedung itu juga mampet.
Kondisi darurat semakin tampak di ruang Alarm Room. Tidak tampak kesibukan luar biasa di ruangan yang berfungsi menerima panggilan darurat itu. Ternyata sambungan telepon di ruangan tersebut tidak bisa berfungsi optimal.
Salah satu saluran telepon bahkan sudah dicabut karena menunggak tagihan. Sementara itu, saluran telepon lain rusak. ”Di sini hanya ada enam saluran telepon,” kata Umi, paramedis yang juga menjadi penanggung jawab Alarm Room. Dua tahun lalu masih terpasang enam belas saluran telepon.
Tidak semua panggilan yang masuk ke Alarm Room benar-benar butuh ambulans. Umi bercerita, banyak telepon iseng ke AGD 118. Dalam sehari, rata-rata jumlah telepon iseng ini mencapai 100 panggilan. ”Ada yang minta kenalan atau iseng ngerjain teman dengan memanggil ambulans,” kata Umi.
AGD 118 babak belur kekurangan dana. Dengan dana terbatas, ambulans ini melayani sekitar 11 juta penduduk Jakarta. Karena kondisinya tidak prima, mobil ambulans terseok-seok menyusuri wilayah Jakarta yang luasnya mencapai 661,52 kilometer persegi.
Jakarta terbagi menjadi lima wilayah. Setiap wilayah hanya mampu dilayani lima ambulans karena hanya tersedia 25 ambulans yang operasional. Ambulans ini siaga di kantor wali kota, pos polisi, pemadam kebakaran, rumah sakit, dan puskesmas. Idealnya untuk seluruh Jakarta harus ada 200 ambulans.
Karena segalanya serba darurat, jangan heran apabila ambulans baru datang setelah pasien megap-megap. Di Jakarta, waktu bagi ambulans merespons panggilan darurat minimal 30 menit. Bahkan seringkali ambulans baru datang setelah lebih dari satu jam.
”Padahal penanganan kegawatdaruratan di lokasi kejadian adalah kuncinya. Pasien bisa selamat atau terhindar dari cacat bila secepatnya mendapat pertolongan pertama,” kata Aryono Djuned Pusponegoro, Ketua Yayasan Ambulans Gawat Darurat Terpadu 118.
Ambulans adalah sesuatu yang vital. Berdasarkan statistik kedokteran, 50 persen kematian pasien terjadi sebelum tiba di rumah sakit (pre-hospital).
Tahun 1999-2004, data kecelakaan di kepolisian mencatat, korban kecelakaan yang tewas sebanyak 1.753 orang, sedangkan data kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mencatat, jumlah korban kecelakaan yang tewas sebanyak 6.778 orang.
”Artinya, ketika polisi datang ke lokasi kejadian, sebagian korban kecelakaan masih hidup. Pada saat dievakuasi, korban hidup tadi sudah mati,” tutur Aryono.
Selain AGD 118 milik pemerintah, ada institusi lain yang memiliki ambulans, seperti rumah sakit, yayasan, dan organisasi swasta. Siloam Hospitals Karawaci, Tangerang, misalnya, memiliki dua mobil ambulans yang benar-benar komplet fasilitasnya, seperti alat monitor pasien, alat pacu jantung, dan ventilator. Rumah sakit ini juga memiliki dua ambulans helikopter. Tentunya dengan biaya selangit.Nah, bagi yang tidak mampu, di Jakarta juga ada fasilitas ambulans gratis yang disediakan Rumah Zakat. Lembaga tersebut memiliki tiga ambulans yang operasionalnya dibiayai dana zakat masyarakat.


oleh: Lusiana Indriasari/Budi Suwarna/ Ilham Khoiri
KOMPAS
Minggu, 29 Juni 2008

04 Juli 2008

Ambulans 118 Tetap Melayani Meski Kondisinya Sekarat

Dari jumlah yang bisa beroperasi, 24 mobil ambulans itu kini tersebar di beberapa titik di kota Jakarta seperti di rumah sakit dan kantor polisi. Tujuannya agar mobil ini bisa lebih cepat menjangkau masyarakat yang membutuhkan. "Idealnya dalam sepuluh menit kami sudah sampai di lokasi," ujar Pepen Efendi, Pejabat Sementara Kepala Operasional Ambulans Gawat Darurat 118.
Tetapi karena keterbatasan,ambulans 118 memberikan skala prioritas dalam melayani pasien. Pasien dalam kondisi kritis berhak mendapatkan pelayanan lebih dahulu. Pasien lain yang mendapatkan prioritas utama adalah yang mengalami gangguan pernafasan dan sirkulasi darah.
Setiap armada harus dilengkapi dengan tempat tidur lipat, kotak perlengkapan gawat darurat, tabung oksigen, infus, dan perlengkapan lain seperti penyangga kepala dan tulang belakang. Selain supir, mobil ini juga berisi dua orang tenaga medis. "Jadi kami bukan sekedar mengangkut tapi juga memberikan perawatan pertama terutama agar kondisi pasien stabil sebelum dipindahkan," ujar Pepen.
Dua staf medis minimal harus lulusan diploma tiga jurusan ilmu keperawatan. Mereka juga harus mendapatkan pendidikan khusus sebelum terjun ke lapangan. Total saat ini jumlah staf medis ambulan sebanyak 276 orang. Sebagai staf medis mereka harus dalam kondisi prima setiap saat dalam menjalankan tugas.
Tetapi kenyataannya para staf medis ini terkadang harus beristirahat di dalam mobil ambulans karena pos-pos yang mereka tempati tak menyediakan tempat khusus. "Kalau di kepolisian lumayan karena sama-sama petugas lapangan, tapi untuk tempat lain kami hanya bisa nongkrong di lapangan parkir," ungkap Cucu, seorang staf medis.
Selain itu pemahaman masyarakat tentangambulans 118 juga masih kurang. Cucu pernah merasakan pedasnya cacian gara-gara ketidaktahuan masyarakat. Waktu itu, dia pernah bertugas menolong seorang warga di rumah susun Cawang Atas, Jakarta Timur. Namun begitu sampai di lokasi, ternyata pasien yang hendak ia tolong telah meninggal dunia.
Keluaga pasien ngotot agar Cucu membawa jenazah itu ke rumah sakit. Tetapi Cucu tak mau karena peraturan mereka melarang membawa jenazah. Akhirnya Cucu pun terpaksa menunggu mobil jenazah agar bisa pulang. "Yah, kalau ada keluarga yang marah-marah kepada kami, itu sudah biasa, Mas," katanya pasrah.
Ada juga warga yang iseng mengganggu panggilan 118. Dalam sebulan ada empat sampai lima kali panggilan tidak jelas dari warga. "Padahal kami sudah turun ke lokasi lengkap dengan staf medis" ujar Fauzi, staf komunikasi Ambulans 118.
Kejahilan ini tentunya bisa berakibat fatal karena warga yang seharusnya benar-benar membutuhkan pertolongan pada saat bersamaan jadi tidak tertolong. Selain iseng, ada pula panggilan masuk yang terlalu berlebihan. "Laporannya kecelakaan dengan luka parah, tapi ketika kami turun ke lapangan ternyata hanya lecet saja," kata Fauzi dengan kesal.
Otomatis, biaya operasional ambulans jadi makin berat. "Kami sudah mengeluarkan biaya bensin dan lain-lain tapi tidak bisa meminta biaya karena pasiennya tidak jadi kami angkut ke rumah sakit," lanjutnya.
Meski begitu, anggota staf medis mengaku tak surut langkah untuk tetap melayani publik Jakarta. Mereka juga menambah akses telepon baru yakni 021-65303118, sebab ternyata tidak semua mobil ambulans dari nomor 118 itu bisa terkoneksi. "Nomor 118 yang tersambung hanya dari pengguna telepon seluler dengan operator tertentu saja dan dari telepon rumah pribadi di sebagian wilayah Jakarta. Padahal 60% warga yang kami layani adalah pengguna kartu Gakin (Keluarga Miskin) yang anggarannya terbatas," ujar Pepen.

oleh: Patersius Sembiring
Harian KONTAN
4 April 2007

Ambulans 118 Kondisinya Gawat Darurat

Puluhan mobil putih bercorak hijau terparkir di halaman depan dan belakang kantor pusat Ambulans Gawat Darurat 118 di Jalan Sunter Permai, Jakarta Pusat. Mobil-mobil itu bukan sedang menunggu penumpang tetapi memang sengaja teronggok parkir di sana.
Mobil-mobil itu jauh dari armada yang layak operasional melayani warga ibukota. Jejeran mobil itu hanya parkir sampai batas waktu yang tidak jelas. Sebagian memang terlihat masih terawat, namun beberapa diantaranya sudah lebih mirip besi tua dan benar-benar tidak layak jalan. Bodinya terlihat kusam karena tertutup debu. Karburator mesin bahkan sudah ada yang copot.
Tidak hanya mobil ambulans, 12 sepeda motor yang sedianya difungsikan untuk reaksi dan penanganan cepat juga teronggok tanpa ada yang bisa difungsikan.
Yang juga tak kalah menyedihkan, kondisi kantor pengelola Ambulans Gawat Darurat 118 juga kurang lebih sama suramnya. Situasinya lengang. Tak ada aktivitas yang menggambarkan kesibukan para karyawan. Sebagian meja kantor itu terlihat kosong. Hanya ada beberapa operator telepon terlihat standby menunggu panggilan masuk. Entah itu menunggu panggilan darurat atau hanya sekadar ngobrol dengan temannya.
Awalnya, Yayasan Ikatan Ahli Bedah Indonesia menanggung operasional kantor ini. Namun untuk meningkatkan kualitas pelayanan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta berniat mengambil alih jasa penyediaan ambulans yang sudah berdiri sejak tahun 1973 itu.
Tetapi proses pengambil alihan yang terkatung-katung membuat biaya operasional jadi terbatas. Dana yang didapat dari tarif pengguna jasa mereka hanya cukup untuk biaya operasional sehari-hari. Tak ada dana untuk perbaikan armada, begitu juga gaji untuk para pegawai. "Sudah tiga bulan ini para karyawan belum mendapatkan gaji," ungkap Pepen Efendi, Pejabat Sementara Kepala Operasional Ambulan Gawat Darurat 118 saat ditemui KONTAN di kantornya.
Saat ini ada 385 karyawan hanya bisa pasrah sambil berharap proses pengambilalihan bisa cepat selesai. Seribu langkah pun terpaksa dilakukan agar kantor sosial itu bisa tetap berjalan termasuk efisiensi pengeluaran. "Mobil yang dalam rusak ringan kami perbaiki, tapi yang rusak berat terpaksa diparkir dulu," kata Pepen.
Praktek kanibalisme pun terpaksa berlangsung. Tak jarang untuk memperbaiki mobil yang rusak harus mereka mengambil suku cadang dari yang lainnya sebagai pengganti. Demikian juga peralatan medis yang menjadi perlengkapan ambulan. Peralatan mobil yang tidak beroperasi habis dicopoti untuk mobil yang masih berfungsi.
Dari 50 armada yang ada saat ini, hanya 24 saja yang bisa beroperasi. Sisanya yang lain rusak dan tingkatan bermacam-macam. Umumnya pada sistem pendingin saja. Akibat kerusakan ini, Ambulans Gawat Darurat 118 terpaksa tidak bisa memberikan pelayanan yang terbaik.
Dengan 24 armada saat ini, pihaknya kewalahan untuk melayani panggilan dari warga yang membutuhkan pertolongan. Seharinya tak kurang ada lebih 60 warga yang membutuhkan pertolongan segera. "Kami benar-benar kerja keras untuk melayaninya," lanjutnya.
Terbatasnya armada yang beroperasi ini membuat pihak Ambulans sulit untuk merespon dengan cepat permintaan warga. Banyak warga yang akhirnya minta tolong balik menyalahkan mereka karena terlambat atau terlalu lama datang ke lokasi. "Keluarga yang panik biasanya menyalahkan kami tanpa berpikir keterbatasan armada yang kami miliki," ujarnya.
Untuk mencari dana operasional, pihak ambulans 118 pun terpaksa putar otak. Misalnya, mereka memberi jasa melakukan berbagai pelatihan bagi petugas medis. Seperti pelatihan basic life support di perusahaan-perusahaan swasta yang membutuhkan.
Tapi, proses peralihan yang belum selesai membuat program ini juga berjalan tersendat. Jadwal pelatihan terpaksa berubah karena ambulans kerap kali harus menerima panggilan yang lebih penting. Celakanya, mereka juga terimpit kebutuhan untuk mencukupi dana operasional dari program pelatihan.

oleh: Patersius Sembiring
Harian KONTAN
3 April 2007

03 Juli 2008

Pilot Ambulans Zig-zag

Awal Februari 2006. Jakarta yang sedang diguyur hujan lebat baru saja disergap malam. Sebuah ambulans dengan sirene menjerit-jerit terperangkap macetnya kendaraan yang mengular di kawasan Klender. Ada penderita diabetes plus hipertensi yang sedang koma, yang menanti kedatangan mobil itu segera.
Lima belas menit menembus lalu lintas yang tersendat, akhirnya tiba juga ambulans itu di rumah pasien. Keluarga yang panik langsung menyeret Karti Sari Indah, 27 tahun, pembawa ambulans yang baru saja turun dari mobil. Begitu juga dengan rekannya yang sedang mengambil kotak obat dan peralatan medis.
Petra--demikian Karti Sari Indah biasa dipanggil--dan mitranya langsung melakukan penanganan darurat sebelum pasien diangkut ke mobil. Jarum infus ditancapkan di lengan pasien yang sudah tak sadarkan diri itu. Masker oksigen dipasang di hidung dan mulut. Selesai. Baru si pasien dibawa ke ambulans.
Perempuan itu segera memacu mobil yang dia sopiri menuju OMC Medical Center, rumah sakit paling dekat. Penanganan gawat darurat diteruskan rekannya selama perjalanan. "Puji Tuhan, begitu sampai OMC, pasien sadar, bahkan sudah bisa ngomong," katanya.
Itu pengalaman Petra yang paling berkesan selama tiga tahun melakoni pekerjaan sebagai sopir ambulans. Persisnya, di Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118 Jakarta. "Saya tidak bakal pernah lupa dan bangga banget kalau disuruh cerita soal itu," ujar perempuan kelahiran 24 November itu.
Paling berkesan? Ya. Tapi soal menyelamatkan nyawa, itu bukan yang pertama dilakukan Petra. Masih banyak lagi. Misalnya, waktu baru hitungan hari menjadi sopir, sudah mesti membawa korban kecelakaan lalu lintas yang koma akibat luka di bagian kepala. Darah segar terus mengucur dari mulut pasien.
Kejadiannya di depan kantor Kepolisian Sektor Duren Sawit. Setelah memberikan pertolongan pertama, Petra pun tancap gas di Jalan Kali Malang, yang kebetulan ramai tapi lancar, menuju Rumah Sakit UKI. "Saya bawa mobil zig-zag guna menyalip mobil lain, lupa kalau baru jadi sopir," ujarnya. Tapi selamat sampai tujuan.
Baru dua hari mengemudi ambulans, mobil itu menyeruduk boks telepon umum. Saat itu dia sedang memarkirkan ambulansnya. Untung, kata Petra, tidak sedang membawa pasien. Peristiwa buruk, misalnya, korban sampai meninggal di mobilnya, juga belum pernah terjadi.
Arifin Panigoro, bos perusahaan minyak Medco, pernah juga diangkut ambulans yang disopiri Petra. Politikus yang sekarang aktif di Partai Demokrasi Pembaruan itu dipindahkan ke MMC, Kuningan, dari Rumah Sakit UKI, setelah sempat dirawat di sana karena mengalami kecelakaan. Tapi Petra bukan sekadar sopir-pilot--begitu sopir ambulans disebut. Dia juga lihai menangani korban gawat darurat. Soalnya, profesi utamanya tetap paramedis, yang sudah dijalani sejak 1997 sewaktu bergabung dengan 118 Jakarta. Hebatnya, dia termasuk generasi pertama paramedis perempuan.
Karier paramedisnya diawali dengan menjadi kru ambulans, yang mendampingi pilot. Posisi sopir sudah diincar Petra, walau belum bisa menyetir sama sekali. "Karena dapat uang tunjangan," katanya, yang sekarang digaji Rp 1,5 juta per bulan. Selain itu, dia ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa.
Kesempatan itu datang juga tiga tahun lalu. Petra lantas masuk pendidikan mengemudi selama sebulan. Dia digembleng teori dan praktek. Sang ibu menentang habis pekerjaan barunya. Tapi begitu melihat dia sempat nongol di televisi sedang menolong orang, ibunda malah bangga.
Pilot ambulans wanita memang mendobrak dominasi laki-laki selama ini. Di 118 Jakarta, sekat cowok dan cewek sudah dicopot sejak tiga tahun lalu. Tapi bagi banyak orang, posisi ini hanya cocok dipegang pria. Separuh orang atau keluarga pasien yang ditemuinya masih memandang sebelah mata sopir ambulans wanita. Pernah sampai ada yang marah-marah. "Mereka bilang, pantesan telat, sopirnya perempuan," kata Petra. Padahal, "Saya cuma butuh sepuluh menit sampai ke lokasi."
Petra mengaku hanya bisa sabar menghadapi hal-hal semacam itu. Biasanya, dia membuktikan kecekatannya mengemudi sewaktu membawa pasien. Orang-orang yang tadi mencemooh biasanya melongo begitu tahu dia bisa nyetir cepat, tapi aman. Yang tadi memaki, langsung meminta maaf.
Tapi, menurut Petra, banyak juga yang memuji. Bila sedang membawa mobil, hampir semua orang melihat ke arahnya. Mungkin heran, bisa juga berdecak kagum. "Ada yang mengacungkan dua jempol ke arah saya," ujar komandan unit yang sehari-hari bertugas di wilayah timur Jakarta itu.
Kekaguman itu justru pernah berbuah cinta. Petra mengaku pernah menjalin kasih dengan seseorang yang kagum dengan pekerjaannya. Perkenalan berawal ketika dia sedang menjaga kampanye sebuah partai pada 2004. Pria itu salah satu panitia penyelenggara. Tapi, "Akhirnya bubar," katanya tersenyum.
Pemegang gelar paramedis tiga ini--sudah melahap tak kurang dari 10 pelatihan-toh, masih tetap panik kalau membawa pasien gawat darurat, meski sudah tiga tahun membawa ambulans. "Takut ada apa-apa," ujar wanita, yang pernah dikirim ke Aceh membantu korban bencana tsunami itu.
Kemacetan masih menjadi hambatan utama mengemudikan ambulans di Jakarta. Yang lain, masih kurang pedulinya warga Ibu Kota, yang kerap kali dengan sengaja menghalang-halangi laju ambulans. Sirene sudah meraung-raung, toh mereka cuek bebek.
Padahal, "Kalau kami sampai membunyikan sirene, berarti bawa korban yang perlu penanganan segera rumah sakit," kata Petra, yang jebolan Akademi Keperawatan Sismadi, Jakarta. Menurut dia, menjadi sopir ambulans bukan untuk gagah-gagahan, tapi buat menolong orang.

oleh: STEPANUS S KURNIAWAN
KORAN TEMPO
Sabtu, 23 September 2006

Malaikat Penolong di Jalan

Pagi yang terik tiga bulan lalu. Maruloh dan seorang rekannya sesama paramedis sedang dalam perjalanan menuju kantor mereka setelah menghadiri rapat di Jakarta Convention Center.
Lewat di depan Plaza Senayan, Jakarta Selatan, mereka menyaksikan orang berkerumun. Di trotoar, sesosok laki-laki muda tergeletak berlumuran darah. Di sebelahnya sebuah sepeda motor tergolek dan ringsek. Laki-laki tadi baru mengalami kecelakaan.
Tanpa pikir panjang, Maruloh dan rekannya menghentikan ambulans mereka dan bergegas mendekat. Setelah mengenakan perlengkapan perlindungan diri, kedua orang itu dengan cekatan memeriksa kondisi korban.
Korban diketahui mendapat luka terbuka di kepala, telinga mengeluarkan darah, muntah, dan pingsan. "Berdasarkan fakta ini, saya menduga tulang leher korban patah," ujarnya.
Pertolongan gawat darurat segera diberikan. Leher korban diberi penyangga, pasokan oksigen dialirkan, dan semua luka terbuka ditutup. Tak sampai 10 menit, setelah korban dinilai cukup stabil, Maruloh melarikan laki-laki malang tadi ke Rumah Sakit Pertamina.
Setelah dirawat beberapa jam, kabar baik datang, nyawa laki-laki tadi bisa diselamatkan. Mendengar itu, Maruloh bersyukur dan bergegas menuju kantornya di Sunter, Jakarta Utara, tanpa meminta bayaran. "Korban kecelakaan lalu lintas akan kami tangani secara gratis," kata dia.
Itulah sebagian tugas mulia yang diemban paramedis Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118. Profesi paramedis serupa tapi tak sama dengan perawat. Sementara perawat bertugas merawat pasien yang telah ditangani dokter, paramedis bertugas memberi pertolongan pertama pasien gawat darurat, dan membawanya ke rumah sakit.
Maruloh menuturkan paramedis juga awalnya seorang perawat. Setelah selesai menempuh pendidikan di akademi keperawatan atau sekolah perawat kesehatan, calon paramedis mendapat pendidikan selama dua bulan di Yayasan. Materinya terutama mengenai penanganan pasien gawat darurat.
Lepas dari pendidikan tersebut, seorang paramedis dinilai siap memberi pertolongan pertama bagi korban kecelakaan, stroke, serangan jantung, sesak napas, bahkan membantu kelahiran.
Biaya yang dibebankan Yayasan kepada pemohon ambulans hanya Rp 200 ribu untuk satu kali hantaran di wilayah DKI Jakarta. Bahkan, kata dia, untuk warga yang bisa menunjukkan surat keterangan tidak mampu, pelayanan ambulans diberikan gratis. Semua biaya warga miskin ditanggung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Oleh Yayasan, Maruloh, yang telah memegang jabatan sebagai Wakil Komandan Wilayah Jakarta Selatan, digaji Rp 1,25 juta setiap bulan. Pendapatan ini bisa bertambah jika ada lembur, perjalanan dinas ke luar kota, memberi pelatihan penanganan gawat darurat, atau tip dari pasien.
Yayasan membagi jam kerja paramedis ke dalam dua shift sehari semalam. Masing-masing mendapat jatah selama 12 jam. Dalam kesehariannya, paramedis tidak berkantor, tapi mangkal di pos-pos ambulans, yang disebar di lima wilayah DKI Jakarta.
Khusus untuk Jakarta Selatan, kata dia, pos ambulans antara lain ada di Jalan Fatmawati, Tanjung Barat, Kuningan, dan Kantor Wali Kota Jakarta Selatan. Biasanya mereka juga bergabung dengan aparat kepolisian dan petugas pemadam kebakaran dalam sistem penanganan gawat darurat terpadu.
Sembilan tahun bekerja sebagai paramedis, Maruloh telah menjelajahi banyak wilayah bencana. Beberapa di antaranya wilayah gempa bumi di Bam, Iran, tsunami di Aceh, dan gempa bumi di Yogyakarta. "Di daerah bencana, tugas kami menyisir lokasi bencana dan mengevakuasi korban," ujar laki-laki 29 tahun ini.
Tentu saja tidak cuma pengalaman manis yang dikecap paramedis. Lima tahun lalu contohnya, Maruloh pernah gagal menyelamatkan nyawa seorang pasien gagal jantung. Ada kemungkinan penyebabnya, kata dia, adalah keterlambatan penanganan.
Seharusnya, sesuai dengan standar yang ditetapkan Yayasan, paramedis maksimal telah tiba di lokasi dalam 8-10 menit. Tapi ketika itu, Maruloh tengah berada di Rumah Sakit Graha Medika, Jakarta Barat. Sedangkan pasien berada di Ciledug, Tangerang. Butuh waktu 30 menit untuk tiba di sana.
Tiba di lokasi, ia menemukan kondisi korban sudah sangat payah. Upaya mengaktifkan kembali detak jantung telah dicoba dengan berbagai cara dan alat. Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain, nyawa pasien tersebut tidak dapat diselamatkan. "Saya cukup terpukul dengan kejadian itu," ucap Maruloh.
Maruloh mengaku cukup mantap dengan profesinya saat ini. Tidak ada keinginannya untuk beralih profesi atau pindah ke tempat lain. Malah, untuk meningkatkan potensi diri, ia kini meneruskan kuliah sarjana jurusan manajemen rumah sakit.
Cuma, ia punya sedikit keluhan mengenai kondisi pos yang kurang memadai. "Sebaiknya ada tempat istirahat dan MCK yang baik," ujarnya lagi.


oleh: EFRI RITONGA
KORAN TEMPO
Minggu, 23 Juli 2006

Halo Motor Ambulans 118...

Mendung kelam menggelayut di langit Jakarta. Hari baru saja beranjak sore. Zaenuji, 25 tahun, asyik mengembuskan asap rokok filternya di pos polisi sambil nangkring di atas jok motor dinasnya yang terparkir di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan, tempat biasa mangkal.
Suara radio panggil di pinggang kemudian membuyarkan lamunannya. "Semua Ninja (kode untuk motor ambulans) segera merapat, ada 33L (tabrakan antarkereta) di Pasar Minggu," kata suara wanita di seberang radio panggil. Yang dimaksud adalah tabrakan antarkereta listrik Jakarta-Bogor pada 30 Juni lalu.
Zaenuji langsung memacu Kawasaki Ninjanya. Dia bukan polisi, apalagi tukang ojek. Ia adalah paramedis bermotor milik Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118. Mereka menyebutnya motor ambulans. Suara sirenenya menjerit-jerit. Sesekali meliuk-liuk di celah-celah mobil yang berjalan merayap di Jalan Raya Pasar Minggu.
Sepuluh menit kemudian, Zaenuji tiba di lokasi kejadian. "Pemandangannya sangat mengerikan," katanya. Apalagi ketika melihat korban Siti Mas'amah alias Bunga Citra Lestari. Ia terbujur tanpa kedua kaki, putus hingga pangkal paha. Sesekali merintih kesakitan.
Zaenuji langsung menancapkan jarum infus dan memasang alat bantu oksigen. Lantas dia membalut luka yang menganga di pangkal paha dengan kain untuk membendung darah yang masih mengucur deras. Bunga dibawa dengan mobil bak terbuka ke Rumah Sakit Pasar Rebo karena unit mobil belum tiba. Bunga bisa ditolong waktu itu, meski akhirnya maut menjemput tujuh hari kemudian.
Tim medis bermotor ini memang menjadi alternatif untuk menolong korban-korban yang membutuhkan bantuan kesehatan segera, semisal korban kecelakaan itu. Menurut Aryono D. Pusponegoro, ketua sekaligus pendiri Yayasan Ambulans 118, kehadiran unit motor merupakan solusi menghadapi kemacetan, terutama pada jam sibuk.
"Standar kami 10 menit sudah harus sampai ke lokasi kejadian karena pasien kondisi gawat darurat masih bisa diselamatkan dalam hitungan waktu itu," kata Aryono kepada Tempo. "Unit mobil kami sangat sulit mencapainya kalau Jakarta lagi macet-macetnya," ujarnya.
Motor ambulans, kata guru besar Universitas Indonesia itu, pertama kali menghiasi jalan-jalan di kota metropolitan ini pada 1997. Indonesia yang memelopori kehadiran unit gawat darurat roda dua ini di dunia. Tapi hanya hitungan bulan beroperasi. Sebab, kekurangan tenaga paramedis.
Baru pada akhir 2003 motor ambulans kembali melayani masyarakat Jakarta. Motor mereka, yang merupakan sumbangan dari sebuah perusahaan itu, baru 12 unit. Sebanyak 10 unit disebar di lima wilayah Jakarta. Sisanya berjaga-jaga di kantor pusat Ambulans 118 di kawasan Sunter, Jakarta Utara.
Sebetulnya untuk Jakarta belum cukup dengan jumlah motor itu. "Idealnya sih Jakarta butuh 50 motor, tapi uang untuk membelinya dari mana?" kata Aryono.
Aryono menjelaskan, kru motor ambulans harus sudah menyandang Paramedik 3, atau sudah melewati berbagai pelatihan, seperti jantung dan bencana alam. Terakhir, penyelamatan korban dalam situasi perang. "Paling tidak butuh waktu tiga tahun untuk melahap semua pelatihan itu," ujarnya.
Peralatan yang dibawa motor ambulans sudah standar gawat darurat internasional. Contohnya tabung oksigen dan alat bantu jalan pernapasan, infus dan cairannya, obat-obatan jantung, termasuk alat suntiknya dan penyangga leher, juga kotak gawat darurat, antara lain gunting, perban, dan alkohol.
Setiap hari, rata-rata motor ambulans melayani 10 panggilan, sedangkan unit mobil 75 panggilan. Rendahnya permintaan karena belum semua orang tahu soal layanan gawat darurat ini. Akibatnya, ambulans ini banyak ngejogrok alias nganggur di pos-pos mereka.
Sejumlah penduduk Jakarta yang ditemui Tempo malah mengaku tidak tahu adanya layanan ini. "Apa mereka akan datang kalau kami panggil?" tanya Adi, seorang karyawan swasta, mengomentari keberadaan yayasan yang didirikan Ikatan Ahli Bedah Indonesia pada 1970-an itu.


oleh: SS KURNIAWAN
KORAN TEMPO
Sabtu, 3 Desember 2005

Cewek Ambulans Memburu Panggilan

Sirene itu menjerit-jerit di tengah guyuran hujan lebat. Sebuah ambulans terjepit di kemacetan lalu lintas Jakarta sore itu. Klakson pun dinyalakkan untuk mendapatkan celah jalan. Suratinah harus memacu mobilnya ke lokasi tabrakan kereta api di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Suratinah seorang wanita berumur 26 tahun. Mobil ambulans yang dikemudikan boleh dibilang selalu berjalan zigzag menerobos kemacetan. "Degdegan kalau ada panggilan darurat," katanya. Sudah dua tahun Suratinah menjadi sopir ambulans Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118 Jakarta.
Suratinah juga dijuluki pilot. Ia salah satu pilot dari 25 cewek di sana. Sebelum diangkat menjadi sopir, Suratinah yang bergabung dalam Tim 118 pada 1998 itu lebih dulu menjadi kru ambulans.
Hasrat menjadi sopir terus menggelora semenjak ikut pendidikan mengemudi (defense driving). Memasuki awal 2003, barulah lembaga tempatnya bekerja mengizinkan wanita menjadi "pilot ambulans". "Kami ingin perempuan sama dengan pria," kata Asti Puspitarini, juru bicara 118. Gaji mereka sekitar Rp 900 ribu per bulan.
Kisah kepiawaian mereka diperlihatkan ketika mantan presiden Abdurrahman Wahid jatuh sakit di kantor Pengurus Besar NU di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Tiga mobil ambulans Tim 118 meluncur, termasuk yang dikemudikan Suratinah.
Suratinah yang pertama tiba. Setelah memberi pertolongan singkat, pasien yang kerap dipanggil Gus Dur itu langsung dilarikan ke RS Cipto Mangunkusumo. Waktu itu Gus Dur tidak sampai menjalani rawat inap. "Beliau mengucapkan terima kasih," kenang Suratinah yang mengaku sempat bersalaman dengan Gus Dur.
Ambulans 118 sudah dikenal. Paramediknya digembleng oleh ahli-ahli pertolongan asal Jepang dan Amerika Serikat. Setiap tiga bulan mereka memperoleh pendidikan tambahan, seperti penanganan korban berpenyakit jantung dan bencana alam.
Menurut Any Sumarny, sopir cewek lainnya, kemacetan di Jakarta menjadi kendala paling merepotkan. Peraturan mengharuskan sopir Tim 118 tiba di lokasi paling lama 10 menit sejak perintah diterima. Gara-gara macet, waktu tempuh bisa molor 20 menit.
"Begitu tahu sopirnya cewek, baru diberi jalan," ujar Any mengisahkan pengalamannya di jalan menerima simpati orang.
Ungkapan simpati juga datang saat tiba di rumah sakit. Satpam langsung membantu dengan memberi aba-aba tatkala ambulansnya hendak parkir.
Any merasa, cewek menjadi sopir ambulans masih dipandang sebelah mata. Keluarga pasien, kata Any mencontohkan, awalnya meragukan kemampuannya. Keraguan itu membuat Any bersemangat menunjukkan kebolehannya menyetir. "Kalau sudah begini baru pada mengacungkan jempol," ujar lulusan Akademi Perawat Departemen Kesehatan Jakarta ini.


oleh: SS KURNIAWAN
KORAN TEMPO
Sabtu, 3 September 2005