19 September 2008

MAYDAY... MAYDAY

Tugas sebagai paramedis tak selalu harus dilakoni saat jam kerja saja. Kami juga mesti siap merelakan hari libur begitu panggilan darurat datang. Contoh, waktu bencana tsunami menyapu Aceh dan gempa bumi meluluh-lantakkan Jogjakarta.
Itu juga yang terjadi pada saya sewaktu dua kereta listrik bertabrakan di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 30 Juni 2005 lalu. Banyaknya jumlah korban luka yang masuk ke Unit Gawat Darurat membuat Rumahsakit Pasar Rebo kewalahan.
BELA meminta saya meluncur segera ke Rumahsakit Pasar Rebo untuk membantu menangani para korban. Kebetulan kos saya letaknya di belakang rumah sakit milik Pemerintah DKI Jakarta ini. Sebagian rekan yang semestinya bertugas membawa korban luka dari lokasi kejadian ke rumahsakit juga diminta tetap bertahan di Rumahsakit Pasar Rebo untuk membantu penanganan korban.

Cuma, tidak selamanya panggilan darurat yang datang untuk merampas hari libur kami, lo. Justru lebih banyak yang bikin kami happy. Menjaga konser penyanyi ternama asal luar negeri, misalnya. Sudah nonton pertunjukan gratis, dapat uang lelah lagi.

Tapi intinya, kami mesti siap menjalani perintah yang datang, apapun jenis panggilan yang datang, meski merenggut hari libur. Terutama panggilan darurat. Mayday... mayday... mayday

malam di kunciran

05 September 2008

WAJAH JAKARTA

Tak melulu panggilan darurat yang datang. Contohnya, suatu siang di 2006. Ketika itu saya sedang berjaga di Pos Polisi Lalu Lintas Pancoran. Perintah dari BELA, kami mesti segera meluncur ke daerah di Jakarta Selatan untuk membawa pasien yang sedang menderita penyakit gula ke rumah sakit. Tapi, orang ini tidak butuh penanganan segera.
Toh, bukan berarti kami menjalani tugas ini dengan santai. Buktinya, saya minta tolong teman yang waktu itu bertugas membawa ambulans motor dan kebetulan sedang ngepos bareng kami di Pancoran. Tujuannya, untuk membantu membuka jalan lantaran jalanan di Jakarta siang itu padat merayap.
Tidak lama kemudian, kami tiba di lokasi. Apa lacur, pemandangan yang memilukan ada di depan mata. Seorang bapak tergolek lemah di kamarnya dengan luka membusuk akibat penyakit gula. Bau pesing juga menyeruak di sana. Tampaknya, keluarga tidak terlalu merawat bapak itu.
Sikap tidak peduli keluarga si bapak juga kelihatan waktu kami berusaha memindahkannya ke tempat tidur dorong. Tidak ada satu pun yang membantu. Soal tidak ada yang membantu kami sih sudah terbiasa. Tapi, yang bikin saya miris, mereka hanya melihat dari kejahuan. Mendekat ke pintu pun tidak.
Tak mau ambil pusing, kami pun segera membawa bapak itu ke dalam ambulans. Sejurus kemudian, kami tancap gas menuju rumah sakit, tetap dengan kawalan motor ambulans. Wuss….. Berharap salah satu wajah Jakarta ini tidak lagi saya jumpai dalam tugas-tugas mendatang.


malam di kunciran

01 September 2008

KERINGAT JAGUNG

Hari-hari awal bekerja sebagai kru Ambulans 118 cuma diisi kegiatan ngobrol, makan dan tidur di pos. Soalnya, tak ada satu pun panggilan yang mampir dari BELA. Maklum, belum banyak warga Jakarta yang tahu keberadaan kami, meski sering wara-wiri di jalan-jalan ibukota. Ini buntut minimnya sosialisasi, baik itu dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta sebagai pemilik, dan Yayasan Ambulans Gawat darurat 118 sebagai pengelola.
Sampai kemudian, di suatu siang, telepon genggam saya menyalak dengan nyaring sehingga membuyarkan lamunan. Nomor yang tertera: BELA. Suara di ujung telepon memberi perintah yang isinya, kami harus segera meluncur ke daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Sebab, ada korban yang terjatuh dari atap rumah yang butuh pertolongan cepat. Istilahnya, on call, kalau kami mendapat panggilan gawat darurat semacam ini.
Karuan saja, kami langsung tancap gas ke lokasi. Sirene mobil kami bikin meraung-raung supaya kendaraan yang ada di depan kami minggir untuk sesaat. Untung saja, jalanan ibukota tak terlalu macet sehingga kami sampai di lokasi dengan cepat. Korban yang bekerja sebagai tukang bangunan ketika itu sudah tergolek lemah dengan kondisi kaki patah. Setelah melakukan pertolongan pertama, kami langsung membawanya ke ambulans.
Belum juga mesin mobil dihidupkan, kerabat korban meminta kami mengarahkan ambulans ke dukun patah tulang yang juga masih berada di bilangan Jakarta Selatan, bukan ke rumah sakit. Apesnya, jalan menuju ke sana padat merayap. Sampai-sampai tak ada ruang untuk menyalip kendaraan di depan yang mengular panjang. Sirene yang menjerit keras tidak membantu sama sekali.
Keringat segede biji jagung pun mengucur deras. Rasa panik menyergap. Maklum, ini pengalaman pertama membawa pasien dan langsung yang kondisinya gawat. Untungnya, ada motor patroli polisi lewat. Bapak polisi yang baik itu membantu kami menembus kemacetan siang itu. Mobil-mobil yang tadinya enggan sedikit menyingkir, akhirnya memberi ruang buat kami. Ambulans pun meluncur dengan mulus.

malam di kunciran