26 April 2009

BULE JUGA TAHU

Tak menyangka juga, orang bule yang bekerja di Jakarta alias ekspatriat mengetahui keberadaan AGD DKI. La, warga ibukota yang sudah menetap bertahun-tahun saja belum tentu tahu.
Ceritanya, siang itu seperti biasa dering telepon menyalak di ruang Alarm Centre. Kebetulan saya yang mengangkat. Dari seberang terdengar suara seorang laki-laki dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Pria bule yang tinggal di sebuah apartemen di kawasan Jakarta Selatan itu meminta kami mengirim ambulans, lantaran sang istri yang katanya baru saja menenggak obat sedang tidak sadarkan diri.
Begitu pembicaraan selesai, karuan saja saya dibantu teman lainnya mengontak teman-teman di lapangan untuk segera meluncur ke lokasi. Kami mengirim tiga ambulans yang lokasinya tidak jauh dari apartemen si bule tinggal.
Kami dapat laporan dari lapangan, kalau ketiga ambulans yang kami kirim terjebak macet. Tapi, untungnya tiga mobil yang sampai hampir bersamaan di lokasi berhasil melakukan pertolongan pertama, tanpa terjadi sesuatu yang buruk.
Mengirim lebih dari satu ambulans sudah menjadi standar kami untuk menolong korban yang kondisinya gawat darurat. Bukan karena yang akan kami tolong adalah warga negara asing. Ini berlaku juga untuk warga Indonesia.
Tapi lepas dari semua itu, saya bangga ada ekspatriat yang tahu keberadaan kami.


sore di kunciran

19 April 2009

EMANSIPASI WANITA


Hari Kartini identik dengan emansipasi wanita. Tapi, sebagian kaum Adam menggugat emansipasi kaum Hawa. Kata mereka: tidak semua pekerjaan yang selama ini menjadi monopoli para lelaki dilakukan perempuan. Ambil contoh, membetulkan genteng yang pecah atau mengganti ban mobil yang bocor.
Tapi, kami, para srikandi Ambulans Gawat Darurat (AGD) Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta biasa melakukan itu. Mengganti ban ambulans yang bocor, misalnya. Makanya, soal beginian masuk juga, lo, dalam materi pelatihan dasar kami sebagai seorang paramedis. Habis siapa lagi yang mau mengganti terutama saat yang bertugas dua-duanya, baik pilot maupun kru, adalah wanita.
Ya, sejak 2002 lalu paramedis perempuan di AGD DKI—dulu bernama AGD 118—mendobrak dominasi laki-laki sebagai pilot, begitu biasa kami menyebut sopir ambulans.
Kami sebagai paramedis perempuan juga mesti siap menggotong korban tanpa bantuan orang lain. Contoh, saya pernah membawa turun pasien dengan tubuh gempal dan berat di atas 100 kilogram dengan tandu dari lantai dua melewati anak tangga. Hanya saya dan partner.
Yang lebih parah dari itu juga pernah. Waktu itu saya juga membawa turun pasien dengan tandu dari lantai empat melalui anak tangga. Ini juga hanya saya dan partner. Untungnya waktu itu rekan kerja saya laki-laki.
Tapi, pernah, lo, dua rekan sesama paramedis perempuan melakoni tugas membawa pasien dengan tandu menuruni anak tangga.
Di sini, para srikandi AGD DKI memang harus punya tenaga sekuat laki-laki. Karena urusannya bukan cuma menggotong korban dengan tandu juga. Kadang kami juga mesti menghadapi pasien yang penyakit jiwanya sedang kambuh dan mengamuk. Seperti yang pernah saya alami. Untungnya, waktu itu keluarga dan tetangga korban ikut membantu.

Ini yang kami sebut emansipasi total.

Selamat HARI KARTINI

malam di kunciran

05 April 2009

GAKIN PALSU

Orang sering bilang, kalau mau hidup di Jakarta harus pasang muka badak alias tidak tahu malu. Tapi, bukan berarti malu-maluin atau nggak tahu malu, lo. Contohnya, orang kaya yang mengaku-ngaku miskin supaya mendapat fasilitas kesehatan gratis.
Nggak tahu bagaimana ceritanya, ada segelintir orang berduit yang bisa mengantongi kartu gakin atawa keluarga miskin. Sehingga mereka bisa menikmati fasilitas kesehatan gratis termasuk layanan ambulans, yang semestinya menjadi hak orang melarat.
Contohnya, bulan lalu kami mendapat order untuk membawa pasien “gakin” dari sebuah rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan di rumah sakit lainnya yang lebih lengkap peralatannya. Tapi apa lacur, ternyata pasien itu berasal dari ruang perawatan kelas satu, yang tentu saja hanya orang yang punya duit saja yang bisa “bermalam” di sana.
Pantesan perawat di rumahsakit itu meminta kami untuk tetap memungut biaya atas pasien itu. Tapi apa daya, kami terpaksa memberi layanan ambulans secara cuma-cuma karena dia mengantongi kartu gakin.
Nah, gara-gara kami tidak memungut biaya sepeser pun, kru yang bertugas membawa pasien tersebut protes ke saya, yang waktu itu sedang bertugas sebagai penanggungjawab alarm centre. Kata mereka: “Masak gratis? keluarganya yang membuntuti di belakang saja menumpang dua mobil mewah”.
Pasien itu bukan satu-satunya gakin palsu. Ketika bertugas di lapangan suatu siang tahun lalu, saya juga pernah membawa pasien gakin palsu. Entah kenapa orang berduit itu bisa menggenggam kartu gakin. Padahal, anaknya saja membawa mobil sedan mewah.
Ini jelas tidak adil. Warga miskin ibukota yang betul-betul melarat saja banyak yang tidak memiliki kartu gakin. Sampai-sampai ada kasus bayi yang baru lahir disandera rumahsakit lantaran orang tuanya yang tidak punya duit tidak bisa membayar biaya persalinan.


Dunia memang makin edan!

malam di kunciran.