27 Januari 2009

MEMALUKAN/MENGGELIKAN

Kalau kembali ke lapangan jadi ingat kejadian dua tahun lalu yang memalukan sekaligus menggelikan kalau mengingatnya. Suatu siang di 2006, kami sedang dalam perjalanan menuju Bela untuk memperbaiki AC ambulans yang kurang dingin.
Di tengah perjalanan di daerah Kemayoran ada kecelakaan lalulintas. Kami pun menghentikan ambulans dan segera memberi pertolongan. Rupanya, salah satu korban mengalami luka cukup parah sehingga perlu segera di bawa ke rumahsakit.
Tapi, di tengah perjalanan menuju rumahsakit terdekat, mendadak kepala saya puyeng tujuh keliling dan perut mual. Memang, hari itu saya memaksakan diri untuk masuk lantaran badan sedang tidak dalam kondisi prima.
Sambil terus memberikan pertolangan pertama kepada korban, saya melawan rasa sakit itu terutama mual. Namun, pertahanan saya jebol juga. Saya sudah tidak kuat lagi dan minta teman untuk menghentikan laju ambulans.
Sontak saya langsung keluar dan hueks, isi perut pun keluar berhamburan. Dengan muka merah menahan malu sekaligus sakit saya kemudian minta maaf kepada korban kecelakaan lantaran sejatinya saya sedang tidak enak badan. Untungnya, dia mau mengerti.
Memalukan dan menggelikan kalau mengingatnya. He…he…he…


sore di kunciran

23 Januari 2009

BACK TO LAPANGAN

Setelah empat bulan mendekam di Bela, sejak awal Januari lalu akhirnya saya kembali bertugas di lapangan. Ambulans menjadi rumah kedua saya. Tempat berlindung di saat panas terik dan hujan badai. Juga, tempat tidur saat kantuk menyergap terutama saat dinas malam.
Maklum, kami tak punya kantor cabang selain Bela. Jadilah kami menumpang, entah itu di pos polisi, kantor pemadam kebakaran, rumahsakit, atau kantor wali kota. Ada yang berbaik hati memberikan ruangan, seperti Rumahsakit Harapan Bunda dan PT Jalan Lingkarluar Jakarta.
Ada juga yang sekadar memberikan lahan parkirnya buat ambulans kami. Tapi, bagi kami itu sudah lebih dari cukup. Yang penting kami juga boleh menumpang ke kamar mandi saat panggilan alam datang.
Cuma, ada juga lo yang setengah hati memberikan kami tempat alias tidak ikhlas. Ya, begitulah nasib hidup menumpang tak punya kantor kecuali Bela seorang.
Tapi, sebagian di antara kami yang mendapat jodoh dari hidup menumpang dan berpindah-pindah tersebut . Kebanyakan sih dengan petugas pemadam kebakaran.
Saya masih betugas di wilayah selatan Jakarta yang punya lima pos: kolam renang Senayan, pos polisi Pancoran, kantor Wali Kota Jakarta Selatan, kantor Pemadam kebakaran Lebak Bulus, dan kantor PT Jalan Lingkarluar Jakarta.


tengah malam di kunciran

15 Januari 2009

TELEPON NYASAR

Selain telepon iseng, banyak juga, lo, telepon nyasar yang masuk ke operator AGD. Tak jarang suara di seberang sana mengira kami adalah kantor pemadam kebakaran. Mereka minta kami segera mengirim mobil blamwier karena di daerahnya terjadi kebakaran.
Tapi, kami tetap merespon telepon tersebut setelah memberi penjelasan kalau nomor yang mereka hubungi bukan kantor pemadam kebakaran. Kami akan mencatat lokasi terjadinya kebakaran. Kemudian, kami akan mengontak kantor pemadam kebakaran.
Lalu, banyak juga yang mengira kami juga melayani ambulans jenazah. Sering sekali telepon beginian masuk. Tapi, lagi-lagi kami merespon telepon itu, tentunya, setelah memberi penjelasan kami cuma melayani pasien hidup saja.
Kebetulan kami memang sudah mengantisipasi untuk menghadapi telepon yang butuh ambulans jenazah. Sejumlah nomor perusahaan yang menyediakan layanan ini sudah kami pegang. Jadi, kami tinggal memberitahu ke yang membutuhkan saja.


malam di kunciran

02 Januari 2009

WAJAH RUMAHSAKIT

Ini salah satu kisah yang bikin saya mengelus dada sewaktu bertugas sebagai operator AGD. Desember lalu, suara telepon di seberang meminta satu unit ambulans untuk membawa anggota keluarganya yang sakit ke sebuah rumahsakit di daerah Jakarta Barat. Kami pun segera meluncurkan ambulans ke sana.
Saya pun mengontak rumahsakit tersebut lantaran pihak keluarga menginginkan anggota keluarganya yang sakit itu dirawat di sana. Tujuannya, memberitahu pihak rumahsakit bahwa akan ada pasien yang mengarah ke rumah sakit tersebut yang dibawa ambulans kami.
Apa lacur, jawaban seorang wanita di ujung telepon ini sangat ketus. Sambil setengah berteriak, dia bilang, sudah tidak ada kamar lagi. Perempuan itu meminta kami untuk membawa pasien itu ke rumahsakit lain saja.
Saya dan semua operator di AGD sudah biasa mendapat semprotan semacam itu. Maklum, kami sering membawa pasien Gakin alias keluarga miskin. Makanya, banyak rumahsakit yang menolak dengan alasan kamar sudah penuh.
Mungkin staf rumahsakit tersebut mengira kami membawa pasien Gakin. Tapi, saya tidak bisa memenuhi permintaan rumahsakit itu karena keluarga pasien ingin anggota keluarganya yang sakit dirawat di sana.
Cerita teman yang bertugas membawa pasien tersebut, perawat jaga di Instalasi Gawat Darurat rumahsakit itu langsung pasang muka asem begitu ambulans tiba. Tapi, begitu tahu kalau pihak keluarga ingin agar anggota keluarganya yang sakit itu dirawat di kamar VIP baru mereka pasang muka manis.
Ya, beginilah salah satu wajah rumahsakit di Indonesia. Hanya bersahabat bagi kalangan yang berduit saja.


sore di kunciran