17 Agustus 2009

BOM MEGA KUNINGAN (2)


Saat bom meledak di Hotel J.W. Marriott dan Ritz-Carlton, 17 Juli lalu, orang-orang teriak mencari ambulans untuk membawa korban luka ke rumah sakit. Tapi, ambulans yang ditunggu tak kunjung tiba dalam hitungan menit. Akhirnya, mereka menyetop apa saja, entah itu taksi, mobil pribadi, sampai kendaraan bak terbuka untuk mengangkut korban luka.
Ini terjadi karena orang hanya menganggap ambulans sebagai kendaraan untuk membawa korban luka ke rumah sakit. Tidak lebih. Padahal tidak semua ambulans hanya memainkan peran semacam itu. Ada yang lebih. Seperti kami, Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DkI Jakarta (AGD DKI), yang juga memberikan pelayanan pra-rumah sakit kepada korban atau pasien.
Kalau orang tahu fungsi ambulans seperti AGD DKI, tentu mereka tidak asal membawa korban luka bom ke rumah sakit dengan kendaraan seadanya. Mereka pasti akan menunggu ambulans tiba di lokasi, apapun kondisi korban luka. Soalnya, membawa korban luka apalagi yang parah bisa berakibat fatal hingga berujung pada kematian.
Layaknya ambulans gawat darurat (emergency) di negara lain, AGD DKI akan menangani korban luka terlebih dahulu sebelum dibawa ke rumah sakit. Tujuannya, menstabilkan kondisi korban. Begitu kondisi korban relatif stabil, baru kami tancap gas ke rumah sakit. Dengan begitu, kami bisa meminimalisir kematian korban selama perjalanan.
Tapi, saya tidak bisa menyalahkan orang-orang itu. Mungkin mereka terpaksa membawa korban luka dengan mobil yang ada, lantaran tidak tahu kalau Jakarta memiliki layanan ambulans gawat darurat seperti di negara lain.
Jujur saya mesti mengakui, sosialisasi AGD DKI memang sangat minim. Padahal layanan ini sudah ada sejak 1970-an silam, meski dengan jumlah ambulans yang sangat minim. Bahkan, saat jumlah ambulans sudah tembus di atas 50 unit pada 2002-2003 lalu, sosialisasi juga masih minim saja.
­Hanya memang, jujur saya juga harus mengakui, AGD akan kewalahan memenuhi panggilan kalau semua orang di Jakarta sudah tahu keberadaan kami. Bukan tidak mungkin dalam waktu yang bersamaan ada 30 panggilan darurat sekaligus. Sebab, saat ini ambulans yang layak operasi tidak lebih dari 30 unit. Itu pun hanya 20 ambulans yang standby di 20 titik di Jakarta.
Tentu jumlah itu sangat kurang. Paling tidak butuh 100 ambulans untuk meng-cover seluruh wilayah Jakarta dengan total penduduk lebih dari 8 juta orang. Nah, kalau tidak ada aral melintang, AGD DKI bakal mendapat tambahan sekitar 50 ambulans baru, yang 10 di antaranya akan datang dalam waktu dekat.
Tapi sejatinya, jumlah ambulans AGD DKI yang sedikit itu bukan masalah. Kalau seluruh rumah sakit yang ada di Jakarta juga memberikan layanan ambulans gawat darurat. Paling tidak sebagai bentuk corporate social responsibility (CSR). Jadi, tidak hanya ada bom saja mereka bergerak. Tapi juga, membantu korban kecelakaan lalu lintas dan yang butuh penanganan segera. Gratis tentunya.


malam di kunciran

MERAH PUTIH


Hari ini Indonesia tepat berumur 64 tahun. Banyak cara yang dilakukan dalam merayakan hari jadi negara kita yang tercinta ini. Salah satunya, lewat karya film berjudul Merah Putih yang sedang angkat layar di bioskop-bioskop di Tanah Air sejak 13 Agustus lalu.
Merah Putih, yang berlatar belakang perang kemerdekaan saat agresi Militer Belanda I pada 1947 silam, boleh dibilang film Indonesia dengan sentuhan special effect terbaik sampai saat ini.
Tak main-main, film trilogi berbiaya Rp 60 miliar ini melibatkan ahli perfilman internasional berpengalaman di Hollywood. Sebut saja Adam Howarth yang pernah menjadi koordinator special effect untuk film Saving Private Ryan dan Blackhawk Down. Ada juga kordinator pemeran pengganti Rocky McDonald, yang sukses di film Mission Impossible II dan The Quiet American. Lalu, ahli persenjataan John Bowring yang ikut ambil bagian dalam film Crocodile Dundee II, The Matrix, The Thin Red Line, Australia, dan X-Men Origins:Wolverine.
Dan, kami, AGD DKI juga boleh berbangga. Lantaran kami juga terlibat dalam pembuatan film Merah Putih sebagai tenaga medis. Kami selalu ikut dalam proses pengambilan gambar di Semarang, Yogyakarta, Bali, dan Jakarta selama tiga bulan, mulai Januari hingga April 2009. Meski peran kami minim, kami tetap bangga.

MERDEKA!

sore di kunciran