15 Mei 2009

BISNIS AMBULANS

Awal Mei lalu, kami mendapat order untuk mengantar pasien ke luar kota. Lantaran mesti melakoni perjalanan jauh, ambulans mesti balik kandang dulu untuk menjalani pengecekan mesin mobil dan peralatan medis. Sekaligus menjemput petugas bengkel yang bakal ikut serta dalam perjalanan tersebut.
Itu semua sudah menjadi prosedur tetap AGD DKI. Tentu kami tidak ingin sesuatu terjadi di tengah jalan. Ambulans mogok, misalnya. Nah, Begitu semua persiapan beres baru unit meluncur ke rumah pasien.
Tapi, unit belum tiba di lokasi, keluarga pasien menelpon ke Bela dan mengabarkan ada ambulans lain yang bukan dari AGD DKI datang. Keluarga mengaku, mereka tidak memesan ambulans lain kecuali AGD DKI.
Kalau mengacu pada pengakuan keluarga yang tidak menelepon ambulans lain, kami tidak habis pikir dari mana ambulans itu mendapat order. Orang dalam AGD DKI? Saya tidak mau menuding tanpa bukti.
Bisnis ambulans memang sempat bergairah saat kami menjalani masa transisi dari Yayasan AGD 118 ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Saat itu, kami menghentikan sementara layanan ke luar kota. Peluang bisnis ini yang kemudian menyulut munculnya perusahaan-perusahaan baru ambulans.
Tapi, tak sampai setahun mereka menikmati legitnya bisnis layanan ambulan ke luar kota. Pasalnya, pertengahan tahun lalu AGD DKI kembali melayani order ke luar kota. Bukannya sombong, tentu saja konsumen kembali ke kami. Nama besar dan pengalaman menjadi alasan konsumen. Apalagi, paramedis kami sudah dibekali beragam pelatihan kegawatdaruratan.
Makanya, saya agak heran ketika membaca tulisan di sebuah tabloid ekonomi ibukota yang menulis peluang bisnis rental ambulans masih terbuka lebar. Mereka mewawancarai dua orang yang “sukses” terjun ke bisnis ambulans. Mereka menawarkan tarif Rp 300.000 untuk dalam kota Jakarta dan Rp 600.000 untuk ke Bogor.
Dengan harga yang mereka tawarkan, sejatinya rental ambulans bukan bisnis yang menggiurkan. Coba tengok tarif AGD DKI. Dalam kota hanya dipungut Rp 200.000, sedang ke Bogor Rp 500.000. Yang perlu dicatat, kami menggunakan mobil merek KIA dan Hyundai yang memiliki kabin yang lapang.
Kemudian, harga tersebut sudah termasuk dua tenaga paramedis bukan perawat dan semua peralatan yang ada di mobil, mulai dari oksigen sampai cairan infus. Ambulans lain, dengan harga yang mereka tawarkan fasilitas yang diberikan sebatas ambulans saja. Mau tambah perawat atau oksigen tentu tambah biaya.
Armada AGD DKI juga banyak, total ada sekitar 30-an dengan 300-an paramedis. Sebanyak 25 di antaranya ada di lapangan yang menempati titik-titik strategis di ibukota. Sisanya, standby di Bela. Dan, kami membuka layanan 24 jam.
Jadi, apa bisnis ambulans tertutama di Jakarta masih menggiurkan?


malam di kunciran