18 Desember 2009

FIRST RESPONDER

Mimpi Jakarta bakal punya nomor panggilan darurat terpadu, layaknya 911 di Amerika Serikat dan 000 di Australia akan menjadi kenyataan. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Wibowo berencana menyatukan nomor panggilan darurat terpadu, mulai dari ambulans, kepolisian hingga pemadam kebakaran, tersebut dalam tempo satu dua tahun ke depan.
Orang nomor satu di Provinsi DKI Jakarta itu juga berencana mencetak first responder, orang yang merespon pertama kalau ada kejadian gawat darurat. Nantinya, akan ada pelatihan untuk melahirkan first responder bersertifikat tersebut, bahkan hingga ke tingkat usaha kesehatan sekolah alias UKS.
Cuma, kenapa Gubernur Fauzi justru menggandeng MedicOne, pihak swasta, untuk mengadakan pelatihan tersebut. Padahal, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki Ambulans Gawat Darurat, yang juga biasa memberi pelatihan untuk mencetak first responder-first responder.
Apalagi banyak lembaga, baik swasta maupun pemerintah di tingkat pusat dan daerah, yang menggunakan jasa pelatihan Ambulans Gawat Darurat. Bahkan, Pemerintah Bangladesh pernah melakukan studi banding untuk melihat layanan dan sistem pelatihan di Ambulans Gawat Darurat.


TANYA KENAPA?

malam di kunciran

09 Oktober 2009

RELAWAN BENCANA

Gempa dengan kekuatan besar kembali menggoyang bumi Indonesia. Kali ini lindu mengaduk-aduk sebagian wilayah Sumatera Barat. Korban pun berjatuhan, baik tewas maupun luka-luka.
Seperti biasa, kalau ada bencana alam besar yang mengakibatkan ribuan korban luka, AGD selalu mengirimkan tim relawan ke lokasi bencana. Apalagi sejak setahun belakangan kami memang memiliki Divisi Bencana.
Sayang, sejak bergabung dengan AGD—dulu masih 118—pada akhir 2004 lalu, saya belum sekali pun bertugas sebagai relawan. Ada saja halangan yang menghabat kepergian saya menolong korban bencana alam.
Waktu tsunami menggulung Aceh pada akhir 2004 lalu, dengan alasan masih paramedis pemula, saya tidak terpilih menjadi tim relawan. Sehingga mesti berjaga di seputaran Jakarta.
Kemudian waktu gempa Yogyakarta pada 2006 lalu juga tidak masuk tim relawan, walau ada tawaran. Soalnya, waktu itu saya sedang mengandung anak pertama. Begitu juga dengan gempa Jawa Barat dan Sumatera Barat. Yang ini alasannya sama, saya pas mengandung anak kedua.

Tapi bukan berarti saya berharap akan menjadi bagian tim relawan di kemudian hari. Sebab, itu sama saja saya berharap ada bencana besar lagi terjadi di Indonesia. Ya, mudah-mudahan gempa Sumatera Barat adalah yang terakhir. Amin.

sore di kunciran

28 September 2009

RUMAHSAKIT LAPANGAN

GEMPA dahsyat berkekuatan 7,3 skala Richter yang mengguncang wilayah selatan Jawa Barat dan sekitarnya hampir sebulan berlalu. Pemerintah juga sudah mencabut masa tanggap darurat sejak 16 September lalu.
Tapi, ratusan petugas medis masih berjibaku membantu korban lindu yang sebagian masih tinggal di tenda-tenda pengungsian. Puluhan di antara petugas medis itu adalah tenaga kesehatan sukarela dari berbagai lembaga.
Salah satunya adalah petugas medis dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DKI Jakarta yang ditempatkan di rumahsakit lapangan Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung. "Kami diminta Pemerintah Jawa Barat karena mereka kekurangan tenaga medis," kata Prasetio, paramedis ambulans Gawat Darurat Dinkes Jakarta.
Tugas mereka tak hanya memberikan pelayanan kesehatan di rumahsakit darurat yang didirikan Departemen Kesehatan (Depkes). Mereka juga menyambangi tenda-tenda pengungsian yang tersebar di 10 desa di Pengalengan.
Pemerintah setempat menetapkan kejadian luar biasa di daerah itu lantaran seminggu setelah gempa daerah itu diserang diare. "Sekarang keluhan pengungsi hanya batuk, pilek, dan panas, akibat tinggal di tenda dengan udara yang dingin," terang Prasetio.
Depkes mencatat, gempa yang berpusat di Samudera Hindia, sekitar 142 kilometer arah barat Kota Tasikmalaya, menyebabkan 370 orang luka berat dan 1.098 luka ringan. "Jumlah korban rawat jalan di pos kesehatan sebanyak 29.856 orang," kata Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Depkes Rustam Pakaya.
Selain itu, Depkes juga menempatkan tenaga pemantau dan tim kesehatan psikososial, termasuk juga mendistribusikan tujuh ton makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) dan 10 ton obat-obatan dan bahan habis pakai.
Tapi, menurut Prasetio, rumahsakit lapangan tak cuma menangani korban gempa saja. Mereka juga mengobati korban kecelakaan lalu lintas yang banyak terjadi selama Lebaran.
Rumahsakit lapangan itu harus melayani perawatan korban kecelakaan setelah Puskesmas Pengalengan runtuh digoyang gempa. Cuma, "Karena peralatan di rumahsakit lapangan terbatas, kami terpaksa mengevakuasi pasien yang terluka parah ke rumahsakit di Kota Bandung," ujar Prasetio.
Rencananya, Depkes tetap menempatkan rumahsakit lapangan dan puluhan pos kesehatan di kawasan itu hingga pembangunan puskesmas yang ambruk tuntas.

(SS Kurniawan, Harian KONTAN, 26 September 2009)

16 September 2009

WAJAH RUMAHSAKIT (4)

Dalam keadaan darurat, fasilitas kesehatan termasuk rumahsakit, baik milik Pemerintah maupun swasta, tidak boleh lagi menolak pasien. Apalagi, jika mereka meminta uang muka terlebih dahulu baru kemudian menangani pasien yang butuh pertolongan segera tersebut.
Itulah perintah Undang-Undang (UU) tentang Kesehatan yang baru, yang kemarin (14/9) disahkan DPR. UU ini mewajibkan semua fasilitas pelayanan kesehatan memberikan layanan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
Ketua Komisi Kesehatan (IX) DPR Ribka Tjiptaning menyatakan, revisi UU Nomor 23 Tahun 2002 tersebut memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. "Sekaligus menjamin semua warga negara bisa memperoleh kesehatan yang layak," katanya.
Nah, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien bisa diancam pidana paling lama dua tahun dan denda Rp 200 juta. Kalau akibat tak ada pertolongan medis pasien sampai mengalami cacat atau meninggal, mereka bisa terjerat hukuman penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar.
UU Kesehatan yang baru juga menjamin hak-hak setiap orang mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau. "Tidak ada ruang untuk menahan pasien karena dia tidak mampu membayar biaya," ujar Ribka.
Yang tidak kalah penting, Ribka menambahkan, setiap orang juga berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya, termasuk tindakan serta pengobatan, yang telah maupun yang akan mereka terima.
Direktur Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta John Marbun bilang, lembaganya akan sangat terbantu dengan kehadiran UU Kesehatan yang baru. "Sebab, masih ada penolakan atau penanganan yang tidak segera darirumahsakitterhadap pasien dalam kondisi gawat darurat yang selama ini kami bawa," kata dia.

(Fitri Nur Arifenie, SS Kurniawan, Harian KONTAN, 15 September 2009)

13 September 2009

ADA-ADA SAJA

Selama bertugas di Alarm Centre, begitu kami biasa menyebut layanan call centre AGD DKI, banyak permintaan yang aneh-aneh. Contoh, suatu hari kami mendapat permintaan untuk memindahkan pasien dari rumahsakit di bilangan Jakarta Pusat ke rumahsakit di kawasan Jakarta Utara.
Begitu unit sampai, pasien yang mengaku bermukim lama di Eropa menolak dibawa dengan ambulans kami. Alasannya, tempat tidur dorong milik kami kecil tidak sesuai dengan standar Eropa. Padahal tubuh si pasien ukurannya sama dengan orang Indonesia kebanyakan. Dan, brankar alias tempat tidur dorong ambulans kami masih cukup lebar untuk dia.
Toh, lantaran si pasien bersikukuh tempat tidur dorong tidak sesuai standar Eropa, akhirnya dia batal menggunakan ambulans kami. Saya sendiri tidak habis pikir, orang itu mau pesan ambulans ke mana. Sebab, semua brankar ambulans di Indonesia ukurannya sama. Memang, AGD DKI tidak mengacu standar ambulans Eropa, melainkan Jepang dan Amerika Serikat.
Ada kisah lain lagi yang bikin kami tertawa geli juga. Belum lama ini ada seorang perempuan yang ingin menggunakan layanan jasa kami. Tapi, katanya harga yang kami tawarkan sebesar Rp 200.000 terlalu mahal. Ya sudah, akhirnya kami minta orang itu menelpon jasa ambulans lainnya yang memberikan layanan yang sama dengan kami.
Tidak berapa lama, wanita itu kembali menelepon dan akhirnya jadi memakai jasa kami dengan harga Rp 200.000. Soalnya, ambulans lainnya yang dia telepon mematok tarif Rp 3 juta.
Bukannya sombong, sampai saat ini AGD DKI memang yang paling murah soal harga. Yang lainnya paling murah memberi harga Rp 300.000 untuk dalam kota Jakarta. Itu pun baru ambulans saja belum termasuk jasa paramedis, oksigen, infus, dan lainnya.


malam di kunciran

17 Agustus 2009

BOM MEGA KUNINGAN (2)


Saat bom meledak di Hotel J.W. Marriott dan Ritz-Carlton, 17 Juli lalu, orang-orang teriak mencari ambulans untuk membawa korban luka ke rumah sakit. Tapi, ambulans yang ditunggu tak kunjung tiba dalam hitungan menit. Akhirnya, mereka menyetop apa saja, entah itu taksi, mobil pribadi, sampai kendaraan bak terbuka untuk mengangkut korban luka.
Ini terjadi karena orang hanya menganggap ambulans sebagai kendaraan untuk membawa korban luka ke rumah sakit. Tidak lebih. Padahal tidak semua ambulans hanya memainkan peran semacam itu. Ada yang lebih. Seperti kami, Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DkI Jakarta (AGD DKI), yang juga memberikan pelayanan pra-rumah sakit kepada korban atau pasien.
Kalau orang tahu fungsi ambulans seperti AGD DKI, tentu mereka tidak asal membawa korban luka bom ke rumah sakit dengan kendaraan seadanya. Mereka pasti akan menunggu ambulans tiba di lokasi, apapun kondisi korban luka. Soalnya, membawa korban luka apalagi yang parah bisa berakibat fatal hingga berujung pada kematian.
Layaknya ambulans gawat darurat (emergency) di negara lain, AGD DKI akan menangani korban luka terlebih dahulu sebelum dibawa ke rumah sakit. Tujuannya, menstabilkan kondisi korban. Begitu kondisi korban relatif stabil, baru kami tancap gas ke rumah sakit. Dengan begitu, kami bisa meminimalisir kematian korban selama perjalanan.
Tapi, saya tidak bisa menyalahkan orang-orang itu. Mungkin mereka terpaksa membawa korban luka dengan mobil yang ada, lantaran tidak tahu kalau Jakarta memiliki layanan ambulans gawat darurat seperti di negara lain.
Jujur saya mesti mengakui, sosialisasi AGD DKI memang sangat minim. Padahal layanan ini sudah ada sejak 1970-an silam, meski dengan jumlah ambulans yang sangat minim. Bahkan, saat jumlah ambulans sudah tembus di atas 50 unit pada 2002-2003 lalu, sosialisasi juga masih minim saja.
­Hanya memang, jujur saya juga harus mengakui, AGD akan kewalahan memenuhi panggilan kalau semua orang di Jakarta sudah tahu keberadaan kami. Bukan tidak mungkin dalam waktu yang bersamaan ada 30 panggilan darurat sekaligus. Sebab, saat ini ambulans yang layak operasi tidak lebih dari 30 unit. Itu pun hanya 20 ambulans yang standby di 20 titik di Jakarta.
Tentu jumlah itu sangat kurang. Paling tidak butuh 100 ambulans untuk meng-cover seluruh wilayah Jakarta dengan total penduduk lebih dari 8 juta orang. Nah, kalau tidak ada aral melintang, AGD DKI bakal mendapat tambahan sekitar 50 ambulans baru, yang 10 di antaranya akan datang dalam waktu dekat.
Tapi sejatinya, jumlah ambulans AGD DKI yang sedikit itu bukan masalah. Kalau seluruh rumah sakit yang ada di Jakarta juga memberikan layanan ambulans gawat darurat. Paling tidak sebagai bentuk corporate social responsibility (CSR). Jadi, tidak hanya ada bom saja mereka bergerak. Tapi juga, membantu korban kecelakaan lalu lintas dan yang butuh penanganan segera. Gratis tentunya.


malam di kunciran

MERAH PUTIH


Hari ini Indonesia tepat berumur 64 tahun. Banyak cara yang dilakukan dalam merayakan hari jadi negara kita yang tercinta ini. Salah satunya, lewat karya film berjudul Merah Putih yang sedang angkat layar di bioskop-bioskop di Tanah Air sejak 13 Agustus lalu.
Merah Putih, yang berlatar belakang perang kemerdekaan saat agresi Militer Belanda I pada 1947 silam, boleh dibilang film Indonesia dengan sentuhan special effect terbaik sampai saat ini.
Tak main-main, film trilogi berbiaya Rp 60 miliar ini melibatkan ahli perfilman internasional berpengalaman di Hollywood. Sebut saja Adam Howarth yang pernah menjadi koordinator special effect untuk film Saving Private Ryan dan Blackhawk Down. Ada juga kordinator pemeran pengganti Rocky McDonald, yang sukses di film Mission Impossible II dan The Quiet American. Lalu, ahli persenjataan John Bowring yang ikut ambil bagian dalam film Crocodile Dundee II, The Matrix, The Thin Red Line, Australia, dan X-Men Origins:Wolverine.
Dan, kami, AGD DKI juga boleh berbangga. Lantaran kami juga terlibat dalam pembuatan film Merah Putih sebagai tenaga medis. Kami selalu ikut dalam proses pengambilan gambar di Semarang, Yogyakarta, Bali, dan Jakarta selama tiga bulan, mulai Januari hingga April 2009. Meski peran kami minim, kami tetap bangga.

MERDEKA!

sore di kunciran

27 Juli 2009

BOM MEGA KUNINGAN


Sewaktu bom meledak di Hotel J.W. Marriott dan Ritz-Carlton pada 17 Juli lalu, banyak pihak yang menyayangkan lambannya ambulans datang ke lokasi kejadian. Ini bukan pembelaan hanya penjelasan kenapa AGD DKI tidak cepat sampai ke dua hotel berbintang itu dalam tempo singkat.
Kronologis kejadian saya kumpulkan berdasarkan keterangan teman-teman di Alarm Centre dan yang bertugas di lapangan. Maklum hari itu saya yang semestinya bertugas sebagai penanggung jawab di Alarm Centre, sebutan AGD DKI buat call centre, mesti off lantaran demam dan mual-mual yang menyerang sejak sehari sebelumnya.
Tak lama setelah ledakan kedua, Alarm Centre menerima telepon yang mengabarkan ada bom di kawasan Mega Kuningan. Kami langsung mengontak unit-unit di lapangan yang terdekat dengan lokasi kejadian meluncur ke TKP.
Empat unit yang biasa nge-pos di daerah Jakarta Selatan, yang saat itu semua sedang aplusan petugas di kantor Walikota Jakarta Selatan, tiba bersamaan 15 menit kemudian. Tapi, tidak banyak korban luka yang bisa diangkut ke rumahsakit lantaran kebanyakan sudah dibawa menggunakan kendaraan pribadi.
Pos Walikota Jakarta Selatan memang lokasi paling dekat ke kawasan Mega Kuningan. Kemacetan yang mengular di setiap ruas jalan yang ada di Jakarta pagi itu sedikit menghambat laju ambulans kami ke TKP. Termasuk yang berasal dari unit-unit lain yang berjaga di daerah pusat, utara, barat, dan timur Jakarta.
Kok tidak menempatkan unit di kawasan Segitiga Emas? Dulu kami pernah menempatkan unit di wilayah Kuningan, persisnya di GOR Sumantri Brodjonegoro. Juga di kawan Gelora Bung Karno, Senayan. Cuma, jumlah ambulans di wilayah Jakarta Selatan yang dulu ada enam unit sekarang tinggal empat.
Selain jumlah petugas yang menyusut lantaran banyak yang mengundurkan diri, juga banyak ambulans yang rusak. Anggaran yang cekak membuat ADG DKI tidak bisa berbuat banyak untuk memperbaiki unit-unit yang rusak. Jumlahnya lebih dari 20 unit, yang sekarang teronggok menjadi besi tua di Bela, kantor pusat kami di kawasan Sunter.
Terpaksa kami merampingkan jumlah pos termasuk yang di Kuningan. Tentu pemilihan pos-pos yang ada sekarang berdasarkan hasil evaluasi: panggilan banyak datang dari daerah-daerah di sekitar pos. Cuma yang perlu dicatat, status kami menumpang di sana. Ada yang di pos polisi, pemadam kebakaran, atau rumahsakit.
Makanya, kami menyambut baik rencana Ketua Desk Pemberantasan Terorisme Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Ansyaad Mbai yang ingin menyatukan polisi, ambulans, dan pemadam kebakaran ke dalam satuan khusus (Tabloid KONTAN, Minggu IV Juli 2009).
Sehingga kami bisa mendapat kabar cepat kalau terjadi ledakan bom atau bencana lainnya. Apalagi kalau kami juga dibuatkan pos sendiri sehingga tidak perlu menumpang lagi. Soalnya, tidak semua orang di tempat yang kami tumpangi senang dengan kehadiran kami.

Jadi, kami tunggu realisasinya Pak!

sore di kunciran

15 Juli 2009

AGD ACEH

Berita ini saya kutip dari Kantor Berita Antara, Rabu (15/7).
Bulan depan, Pemerintah Nangroe Aceh Darussalam bakal segera meluncurkan pelayanan ambulans terpadu. Tujuannya, untuk meningkatkan pelayanan akses kesehatan bagi masyarakat di provinsi yang punya julukan Sembari Mekkah tersebut.
Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan, pelayanan ambulans terpadu itu akan dimulai di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dulu sebagai pilot proyek. Setelah itu baru kota dan kabupaten lainnya.
Nantinya, layanan ambulans terpadu ini akan dikelola Unit Pelaksana Teknis Dinas di bawah Dinas Kesehatan Aceh, dengan mengandalkan sekitar 50 unit ambulans. Bakal ada call center khusus yang bisa dihubungi selama 24 jam penuh.

Setelah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Aceh, daerah mana lagi yang mau menyusul?­ Ya, semoga sejumlah daerah yang sudah melakukan studi banding ke AGD DKI segera menyusul Aceh membentuk ambulans gawat darurat terpadu.

malam di kunciran

26 Juni 2009

QUCIK WIN

Wah ini kabar baik juga buat kami di AGD.
Polda Metro Jaya yang menggandeng PT Jasa Raharja dan Dinas Kehatan DKI menggelar Program Quick Win. Yakni, korban kecelakaan lalu lintas yang dirujuk ke rumahsakit bisa segera ditangani tanpa perlu membayar biaya administrasi.
"Ini dalam rangka peningkatan pelayanan polisi terhadap masyarakat khususnya pengguna jalan raya," kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Condro Kirono seperti dikutip detik.com, Kamis (25/6).
Ada lima rumahsakit yang menjadi rujukan, yaitu Rumahsakit Islam, Rumahsakit Fatmawati, Rumahsakit Koja, Rumahsakit Sumber Waras, dan Rumahsakit UKI.Data Polda Metro Jaya menyebut, saban tahun korban kecelakaan lalu lintas di Jakarta mencapai 6.963 orang. Sebanyak 1.169 di antaranya meninggal dunia.
Kalau program ini berjalan mulus tentu akan mempermudah tugas kami juga di AGD. Maklum, tidak jarang korban kecelakaan lalulintas yang kami bawa ditolak rumahsakit, atau tidak mendapat penanganan segera.

Terima kasih Pak Polisi!

siang di kunciran

15 Mei 2009

BISNIS AMBULANS

Awal Mei lalu, kami mendapat order untuk mengantar pasien ke luar kota. Lantaran mesti melakoni perjalanan jauh, ambulans mesti balik kandang dulu untuk menjalani pengecekan mesin mobil dan peralatan medis. Sekaligus menjemput petugas bengkel yang bakal ikut serta dalam perjalanan tersebut.
Itu semua sudah menjadi prosedur tetap AGD DKI. Tentu kami tidak ingin sesuatu terjadi di tengah jalan. Ambulans mogok, misalnya. Nah, Begitu semua persiapan beres baru unit meluncur ke rumah pasien.
Tapi, unit belum tiba di lokasi, keluarga pasien menelpon ke Bela dan mengabarkan ada ambulans lain yang bukan dari AGD DKI datang. Keluarga mengaku, mereka tidak memesan ambulans lain kecuali AGD DKI.
Kalau mengacu pada pengakuan keluarga yang tidak menelepon ambulans lain, kami tidak habis pikir dari mana ambulans itu mendapat order. Orang dalam AGD DKI? Saya tidak mau menuding tanpa bukti.
Bisnis ambulans memang sempat bergairah saat kami menjalani masa transisi dari Yayasan AGD 118 ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Saat itu, kami menghentikan sementara layanan ke luar kota. Peluang bisnis ini yang kemudian menyulut munculnya perusahaan-perusahaan baru ambulans.
Tapi, tak sampai setahun mereka menikmati legitnya bisnis layanan ambulan ke luar kota. Pasalnya, pertengahan tahun lalu AGD DKI kembali melayani order ke luar kota. Bukannya sombong, tentu saja konsumen kembali ke kami. Nama besar dan pengalaman menjadi alasan konsumen. Apalagi, paramedis kami sudah dibekali beragam pelatihan kegawatdaruratan.
Makanya, saya agak heran ketika membaca tulisan di sebuah tabloid ekonomi ibukota yang menulis peluang bisnis rental ambulans masih terbuka lebar. Mereka mewawancarai dua orang yang “sukses” terjun ke bisnis ambulans. Mereka menawarkan tarif Rp 300.000 untuk dalam kota Jakarta dan Rp 600.000 untuk ke Bogor.
Dengan harga yang mereka tawarkan, sejatinya rental ambulans bukan bisnis yang menggiurkan. Coba tengok tarif AGD DKI. Dalam kota hanya dipungut Rp 200.000, sedang ke Bogor Rp 500.000. Yang perlu dicatat, kami menggunakan mobil merek KIA dan Hyundai yang memiliki kabin yang lapang.
Kemudian, harga tersebut sudah termasuk dua tenaga paramedis bukan perawat dan semua peralatan yang ada di mobil, mulai dari oksigen sampai cairan infus. Ambulans lain, dengan harga yang mereka tawarkan fasilitas yang diberikan sebatas ambulans saja. Mau tambah perawat atau oksigen tentu tambah biaya.
Armada AGD DKI juga banyak, total ada sekitar 30-an dengan 300-an paramedis. Sebanyak 25 di antaranya ada di lapangan yang menempati titik-titik strategis di ibukota. Sisanya, standby di Bela. Dan, kami membuka layanan 24 jam.
Jadi, apa bisnis ambulans tertutama di Jakarta masih menggiurkan?


malam di kunciran

26 April 2009

BULE JUGA TAHU

Tak menyangka juga, orang bule yang bekerja di Jakarta alias ekspatriat mengetahui keberadaan AGD DKI. La, warga ibukota yang sudah menetap bertahun-tahun saja belum tentu tahu.
Ceritanya, siang itu seperti biasa dering telepon menyalak di ruang Alarm Centre. Kebetulan saya yang mengangkat. Dari seberang terdengar suara seorang laki-laki dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Pria bule yang tinggal di sebuah apartemen di kawasan Jakarta Selatan itu meminta kami mengirim ambulans, lantaran sang istri yang katanya baru saja menenggak obat sedang tidak sadarkan diri.
Begitu pembicaraan selesai, karuan saja saya dibantu teman lainnya mengontak teman-teman di lapangan untuk segera meluncur ke lokasi. Kami mengirim tiga ambulans yang lokasinya tidak jauh dari apartemen si bule tinggal.
Kami dapat laporan dari lapangan, kalau ketiga ambulans yang kami kirim terjebak macet. Tapi, untungnya tiga mobil yang sampai hampir bersamaan di lokasi berhasil melakukan pertolongan pertama, tanpa terjadi sesuatu yang buruk.
Mengirim lebih dari satu ambulans sudah menjadi standar kami untuk menolong korban yang kondisinya gawat darurat. Bukan karena yang akan kami tolong adalah warga negara asing. Ini berlaku juga untuk warga Indonesia.
Tapi lepas dari semua itu, saya bangga ada ekspatriat yang tahu keberadaan kami.


sore di kunciran

19 April 2009

EMANSIPASI WANITA


Hari Kartini identik dengan emansipasi wanita. Tapi, sebagian kaum Adam menggugat emansipasi kaum Hawa. Kata mereka: tidak semua pekerjaan yang selama ini menjadi monopoli para lelaki dilakukan perempuan. Ambil contoh, membetulkan genteng yang pecah atau mengganti ban mobil yang bocor.
Tapi, kami, para srikandi Ambulans Gawat Darurat (AGD) Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta biasa melakukan itu. Mengganti ban ambulans yang bocor, misalnya. Makanya, soal beginian masuk juga, lo, dalam materi pelatihan dasar kami sebagai seorang paramedis. Habis siapa lagi yang mau mengganti terutama saat yang bertugas dua-duanya, baik pilot maupun kru, adalah wanita.
Ya, sejak 2002 lalu paramedis perempuan di AGD DKI—dulu bernama AGD 118—mendobrak dominasi laki-laki sebagai pilot, begitu biasa kami menyebut sopir ambulans.
Kami sebagai paramedis perempuan juga mesti siap menggotong korban tanpa bantuan orang lain. Contoh, saya pernah membawa turun pasien dengan tubuh gempal dan berat di atas 100 kilogram dengan tandu dari lantai dua melewati anak tangga. Hanya saya dan partner.
Yang lebih parah dari itu juga pernah. Waktu itu saya juga membawa turun pasien dengan tandu dari lantai empat melalui anak tangga. Ini juga hanya saya dan partner. Untungnya waktu itu rekan kerja saya laki-laki.
Tapi, pernah, lo, dua rekan sesama paramedis perempuan melakoni tugas membawa pasien dengan tandu menuruni anak tangga.
Di sini, para srikandi AGD DKI memang harus punya tenaga sekuat laki-laki. Karena urusannya bukan cuma menggotong korban dengan tandu juga. Kadang kami juga mesti menghadapi pasien yang penyakit jiwanya sedang kambuh dan mengamuk. Seperti yang pernah saya alami. Untungnya, waktu itu keluarga dan tetangga korban ikut membantu.

Ini yang kami sebut emansipasi total.

Selamat HARI KARTINI

malam di kunciran

05 April 2009

GAKIN PALSU

Orang sering bilang, kalau mau hidup di Jakarta harus pasang muka badak alias tidak tahu malu. Tapi, bukan berarti malu-maluin atau nggak tahu malu, lo. Contohnya, orang kaya yang mengaku-ngaku miskin supaya mendapat fasilitas kesehatan gratis.
Nggak tahu bagaimana ceritanya, ada segelintir orang berduit yang bisa mengantongi kartu gakin atawa keluarga miskin. Sehingga mereka bisa menikmati fasilitas kesehatan gratis termasuk layanan ambulans, yang semestinya menjadi hak orang melarat.
Contohnya, bulan lalu kami mendapat order untuk membawa pasien “gakin” dari sebuah rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan di rumah sakit lainnya yang lebih lengkap peralatannya. Tapi apa lacur, ternyata pasien itu berasal dari ruang perawatan kelas satu, yang tentu saja hanya orang yang punya duit saja yang bisa “bermalam” di sana.
Pantesan perawat di rumahsakit itu meminta kami untuk tetap memungut biaya atas pasien itu. Tapi apa daya, kami terpaksa memberi layanan ambulans secara cuma-cuma karena dia mengantongi kartu gakin.
Nah, gara-gara kami tidak memungut biaya sepeser pun, kru yang bertugas membawa pasien tersebut protes ke saya, yang waktu itu sedang bertugas sebagai penanggungjawab alarm centre. Kata mereka: “Masak gratis? keluarganya yang membuntuti di belakang saja menumpang dua mobil mewah”.
Pasien itu bukan satu-satunya gakin palsu. Ketika bertugas di lapangan suatu siang tahun lalu, saya juga pernah membawa pasien gakin palsu. Entah kenapa orang berduit itu bisa menggenggam kartu gakin. Padahal, anaknya saja membawa mobil sedan mewah.
Ini jelas tidak adil. Warga miskin ibukota yang betul-betul melarat saja banyak yang tidak memiliki kartu gakin. Sampai-sampai ada kasus bayi yang baru lahir disandera rumahsakit lantaran orang tuanya yang tidak punya duit tidak bisa membayar biaya persalinan.


Dunia memang makin edan!

malam di kunciran.

29 Maret 2009

SITU GINTUNG

Jumat (27/2) lalu merupakan hari yang sangat-sangat melelahkan. Meski tidak sedang bertugas di lapangan lantaran sejak awal Maret ini mesti balik ke kandang alias Bela, bertugas sebagai penanggung jawab Alarm Center hari itu betul-betul melelahkan.
Soalnya, Tragedi Situ Gintung yang melumat ratusan rumah dan menelan puluhan korban jiwa benar-benar menyita perhatian. Hampir seluruh unit yang hari itu berjumlah 17 ambulans berangkat ke lokasi kejadian di daerah Cirendeu, Tangerang Selatan.
Lagi sibuk-sibuknya mengkoordinasi unit-unit yang ada di Situ Gintung, tiba-tiba ada telepon dari direktur. Katanya, Menteri Kesehatan baru saja telepon kalau Rumahsakit Cipto Mangunkusumo mendapat ancaman bom.
Ibu Menteri meminta AGD DKI untuk menempatkan beberapa ambulans di rumahsakit pelat merah itu untuk berjaga-jaga. Akhirnya, saya terpaksa menarik sebagian unit yang ada di Situ Gintung untuk mengarah ke Rumahsakit Cipto.
Kesibukan makin menjadi setelah Plaza Senayan juga mendapat teror bom. Kami pun mengirim unit ke sana untuk berjaga-jaga. Belum lagi, semua suku dinas kesehatan wilayah dan polisi terus saja memanggil di radio untuk minta perkembangan terakhir di Situ Gintung.Puih, benar-benar melelahkan. Tapi, senang banget karena bisa membantu sesama. Hanya, kami minta maaf lantaran banyak menolak permintaan dari masyarakat. Maklum, hari itu semua unit habis, meski kami sudah mengerahkan unit cadangan yang ada di Bela.


malam di kunciran

04 Maret 2009

LUPA INGATAN

Bulan lalu dalam tempo dua hari saya dan sejumlah rekan menangani empat pasien yang mendadak lupa ingatan atau pura-pura lupa ingatan. Pura-pura? Bisa jadi kalau melihat mimik mereka.
Yang pertama, saat menolong korban kecelakaan tunggal di daerah Jakarta Selatan. Ketika sedang menangani pengendara sepeda motor yang terjatuh itu tiba-tiba dia tersadar. Terus ngomong, “Di mana saya? Kenapa saya bisa begini?”.
Kedua, juga saat menolong korban kecelakaan tunggal juga di daerah Jakarta Selatan. Ketika sedang menangani pengendara dan penumpang sepeda motor yang terjatuh itu, mereka berdua adalah sepasang kekasih, tiba-tiba si cowok ngomong ke si cewek, “Siapa kamu?”. Ee, si cewek juga ngomong sebaliknya ke si cowok, “Siapa kamu?”.
Ketiga, saat menolong seorang Bapak yang menabrak pintu kaca di sebuah kantor pemerintahan di Jakarta Selatan. Dahi bapak malang itu robek cukup panjang sehingga mengeluarkan darah yang lumayan banyak. Nah, saat sedang saya obati, bapak itu ngomong, “Di mana saya? Kenapa saya bisa begini?”.
Jadi, lupa ingatan atau pura-pura lupa ingatan?


malam di kunciran

19 Februari 2009

WAJAH RUMAHSAKIT (3)


Kami di AGD terutama saya sangat berharap DPR segera mensahkan RUU Rumahsakit. Tentu dampak calon belid ini sangat besar. Sebab, kami tak jarang membawa pasien gawat darurat dan gakin ke rumahsakit untuk mendapat penanganan dan perawatan lebih lanjut.
Bukan sekali dua kali pasien-pasien yang kami bawa tersebut ditolak rumahsakit, meski mereka harus mendapat penanganan segera. Contoh yang saya dan teman alami tahun lalu. Waktu itu kami membawa pasien gakin yang tinggal di Jakarta Selatan ke sebuah rumahsakit di bilangan Jakarta Timur.
Pasien itu sudah beberapa kali menjalani rawat inap di sana. Tentu dengan fasilitas kartu gakin. Cuma, saat itu pasien malang itu ditolak rumahsakit tersebut. Alasannya, tidak ada kamar. Kami menerima alasan tersebut, tapi paling tidak pihak UGD rumahsakit itu menangani pasien tersebut dulu sehingga kondisinya stabil.
Dengan begitu kami bisa membawa pasien tersebut ke rumahsakit lain. Maklum, peralatan kami terbatas. Tapi, apa lacur, pihak UGD tidak melakukan tindakan apapun.
Kesal, akhirnya saya menelepon Dinas Kesehatan DKI. Mendapat laporan dari saya otoritas rumahsakit di Jakarta ini pun menegur rumahsakit tersebut. Tak lama kemudian, petugas UGD rumahsakit itu menangani pasien yang kami bawa. Bahkan, mendapat kamar untuk rawat inap segala.
Itu pengalaman saya. Rekan kerja saya lebih parah lagi. Waktu itu mereka membawa pasien gawat darurat ke sebuah rumahsakit di kawasan Jakarta Selatan. Sampai di UGD tak satupun perawat atau dokter yang menangani pasien itu. Bahkan, mereka cuek saja waktu teman saya mengebrak-gebrak brankar atau tempat tidur pasien. Gila bener!
Tapi, jujur saya mengatakan, tidak semua rumahsakit punya perilaku buruk seperti itu. Ada juga lo rumahsakit yang cepat tanggap menangani pasien gawat darurat. Mereka bahkan member kami insentif kalau membawa pasien ke rumahsakit tersebut. Kalau si pasien mesti menjalani rontgen, kami dikasih insentif lagi. T. O. P. B. G. T kan? Alias top banget bukan?


malam di kunciran

WAJAH RUMAHSAKIT (2)

Bisa jadi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Rumahsakit sampai sekarang masih mangkrak di Departemen Kesehatan kalau saja – tiga tahun yang lalu – enam rumahsakit tidak menolak Muhammad Zulfikri, bayi umur seminggu yang orangtuanya miskin.
Berkat kasus itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, yang waktu itu geram bukan kepalang, memerintahkan bawahannya mengebut kelahiran RUU Rumahsakit. Habis, “Saya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap keenam rumahsakit itu. Bahaya sekali kalau caranya seperti ini,” kata dia.
Akhirnya, setelah lewat proses harmonisasi yang panjang di Departemen Hukum dan HAM, calon beleid tersebut melenggang ke Senayan, tempat wakil rakyat bermarkas, pada 2 Juli lalu. Menteri Siti Fadilah sendiri yang menyerahkan RUU Rumahsakit yang terdiri dari 15 Bab dan 58 pasal.
Menteri Kesehatan bilang, calon aturan ini sangat prorakyat kecil. Sebab, setiap rumahsakit wajib memiliki fungsi sosial. Ambil satu contoh, memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu. Kemudian, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, dan pelayanan bagi korban bencana alam.
Sekarang ini kan, ungkap Fadilah, kalau mau masuk rumahsakit, orang harus bayar uang muka dulu, termasuk korban gawat darurat. Kalau tidak, ya, tak dilayani. “Dengan adanya RUU Rumahsakit, orang harus ditolong dulu, baru tanya duit,” tandas dia.
Nah, bila rumahsakit tidak mau melakoni fungsi sosial itu, dia bisa kena sanksi. RUU Rumahsakit menyebut, menolak pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga menyebabkan kematian atau cacat diancam hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 1 miliar.
Selain itu, RUU Rumahsakit juga mewajibkan setiap rumahsakit menyediakan kamar kelas tiga. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) usul rumahsakit swasta harus memiliki minimal 25% dari jumlah kamar keseluruhan. “Kalau Rumahsakit Umum Daerah kelas tiganya harus gratis,” seru Ribka Tjiptaning, Anggota Komisi IX dari Fraksi PDI Perjuangan.
Usulan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) malah lebih tinggi lagi, kalau perlu sampai 30% dari kamar di rumahsakit adalah kelas tiga. “Bisa jadi mereka tak bisa mendapat untung dari sini, tapi kan bisa mengambil untung besar dari sisanya yang 70%,” ujar Chairul Anwar, anggota Komisi IX dari Fraksi PKS.
Tapi, dibahas saja belum, calon beleid tersebut sudah mendapat penolakan dari sejumlah rumahsakit, utamanya swasta. Rumahsakit Pondok Indah, misalnya. Mereka minta fungsi sosial disamakan saja dengan corporate social responsibility (CSR). Jadi, “Itu lebih baik ada dalam peraturan pemerintah, bukan undang-undang,” kata CEO Pondok Indah Health Care Group Hermansyur Kartowisastro.
Mereka juga protes soal aturan main pidana dan denda. Memang, “Menolak itu dilarang. Tapi, kalau dikaitkan dengan hasil, ya, jadi sulit. Contoh, karena kamarnya tidak ada, lalu pasien bilang dia ditolak bagaimana? Kan repot?” kilah Hermansyur lagi.
Siloam Hospitals juga minta kejelasan soal pasal tersebut. Soalnya, pengertian menolak itu sangat luas. “Menolak karena kami memang enggak mau menangani, atau memang karena kami enggak punya kemampuan? Atau, karena di sini memang penuh dan kami enggak bisa menampung lagi?” ujar Agus Tanjung, Chief Operating Officer Siloam Hospitals.
Usulan rumahsakit swasta kudu menyediakan kamar kelas tiga minimal 25% juga mendapat protes keras. “Kami akan mati. Bagaimana kami bisa bertahan? Kalau kami hancur, bukannya kesehatan justru makin hancur?” tandas Hermasyah. “Kecuali kami rumahsakit nonprofit,” timpal CEO Siloam Hospitals Pitono Yap.
Untuk yang satu ini, rumahsakit swasta mendapat dukungan dari Departemen Kesehatan. “Angka itu dapat dari mana? Yang penting, mereka harus menyediakan. Soal berapa persennya tidak terlalu penting,” kata Kepala Biro Hukum Departemen Kesehatan Budi Sampurna. Saat ini rumahsakit swasta cuma wajib memiliki kamar kelas tiga sebesar 10%.
Dukungan juga mengalir dari Perhimpunan Rumahsakit Indonesia (Persi). “Rumahsakit yang 100% tidak ada kelas tiga saja bisa rugi, apalagi bila diwajibkan menyediakan 25%. Biar saja rumahsakit berkembang dan mengatur sendiri. Jangan diatur dalam bentuk angka karena akan membatasi gerak mereka,” pinta Ketua Persi Adib A. Yahya.
Tak usah heran kalau kemudian sejumlah rumahsakit swasta besar melobi fraksi-fraksi yang ada di DPR. Tujuannya, membatalkan pasal yang merugikan bisnis rumahsakit swasta. “Ada beberapa rumahsakit swasta yang datang ke kami (Fraksi PKS),” ungkap Chairul.
Anehnya, Chairul menyatakan, ketika rumahsakit swasta diminta menjalankan fungsi sosial, mereka buru-buru bilang bahwa mereka adalah industri. Tapi, sewaktu minta keringanan pajak, dengan cepat mengatakan mereka adalah lembaga sosial.
Hermansyur menolak kalau upaya mereka itu dibilang lobi. “Kalau lobi itu kan kesannya enggak baik. Kami lebih kepada upaya mengajukan keberatan,” kilah dia. Adapun Persi mengaku terang-terangan memang sedang melobi DPR. Tapi, “Dalam hal supaya pajak rumahsakit tidak terlalu berat,” kata Adib.
Terlepas dari pro kontra tersebut, Komisi IX DPR dan Departemen Kesehatan, Rabu (3/9) pekan lalu, sudah setuju bakal mengebut penggodokan RUU Rumahsakit. “Kami sepakat untuk menyelesaikannya pada akhir tahun ini,” ujar Ribka, yang juga menjabat Ketua Komisi IX.


(S.S. Kurniawan, Ali Imron H., Anastasia Lilin Yuliantina - Tabloid KONTAN Edisi September 2008)

08 Februari 2009

KALAH LENGKAP

Mendekati ujung Januari lalu, unit yang saya awaki bersama seorang teman mendapat panggilan darurat. Ada pekerja proyek menara jangkung di kawasan Kuningan yang terjatuh.
Untung saja, hari itu, menjelang malam, Jakarta sedang tidak beraktivitas. Sehingga, kami bisa memacu ambulans kami dengan kecepatan maksimal dan tiba di lokasi kejadian dalam hitungan belasan menit saja.
Rupanya, korban yang terjatuh itu mengalami luka cukup serius di bagian punggung. Setelah memasang peralatan khusus patah tulang termasuk penyangga leher ke pria paruh baya yang malang itu, kami langsung tancap gas menuju rumahsakit di daerah Jakarta Pusat.
Sampai di UGD rumahsakit tersebut korban langsung ditangani oleh dokter dan perawat jaga. Tapi, kami tidak bisa langsung cabut dari situ untuk kembali ke pos di kantor Wali Kota Jakarta Selatan. Soalnya, ternyata, UGD rumahsakit itu tidak punya papan penyangga punggung.
Busyet. Rumahsakit sebesar itu tidak punya alat begituan. Kalah lengkap dengan ambulans AGD DKI. Jadilah kami menunggu padahal jam kerja sudah lewat. Satu jam, dua jam, tiga jam kami menunggu. Mendekati jam 10 malam baru kami bisa meninggalkan rumahsakit itu.
Saya bilang ke dokter jaga UGD sambil becanda sebelum pergi, “Dok siapa yang bayar uang lembur kami?”. Sambil tersenyum dia menjawab: “Yang di Atas nanti yang membayar semuanya”. Ah, dokter jago sekali menenangkan hati kami.


malam di kunciran

27 Januari 2009

MEMALUKAN/MENGGELIKAN

Kalau kembali ke lapangan jadi ingat kejadian dua tahun lalu yang memalukan sekaligus menggelikan kalau mengingatnya. Suatu siang di 2006, kami sedang dalam perjalanan menuju Bela untuk memperbaiki AC ambulans yang kurang dingin.
Di tengah perjalanan di daerah Kemayoran ada kecelakaan lalulintas. Kami pun menghentikan ambulans dan segera memberi pertolongan. Rupanya, salah satu korban mengalami luka cukup parah sehingga perlu segera di bawa ke rumahsakit.
Tapi, di tengah perjalanan menuju rumahsakit terdekat, mendadak kepala saya puyeng tujuh keliling dan perut mual. Memang, hari itu saya memaksakan diri untuk masuk lantaran badan sedang tidak dalam kondisi prima.
Sambil terus memberikan pertolangan pertama kepada korban, saya melawan rasa sakit itu terutama mual. Namun, pertahanan saya jebol juga. Saya sudah tidak kuat lagi dan minta teman untuk menghentikan laju ambulans.
Sontak saya langsung keluar dan hueks, isi perut pun keluar berhamburan. Dengan muka merah menahan malu sekaligus sakit saya kemudian minta maaf kepada korban kecelakaan lantaran sejatinya saya sedang tidak enak badan. Untungnya, dia mau mengerti.
Memalukan dan menggelikan kalau mengingatnya. He…he…he…


sore di kunciran

23 Januari 2009

BACK TO LAPANGAN

Setelah empat bulan mendekam di Bela, sejak awal Januari lalu akhirnya saya kembali bertugas di lapangan. Ambulans menjadi rumah kedua saya. Tempat berlindung di saat panas terik dan hujan badai. Juga, tempat tidur saat kantuk menyergap terutama saat dinas malam.
Maklum, kami tak punya kantor cabang selain Bela. Jadilah kami menumpang, entah itu di pos polisi, kantor pemadam kebakaran, rumahsakit, atau kantor wali kota. Ada yang berbaik hati memberikan ruangan, seperti Rumahsakit Harapan Bunda dan PT Jalan Lingkarluar Jakarta.
Ada juga yang sekadar memberikan lahan parkirnya buat ambulans kami. Tapi, bagi kami itu sudah lebih dari cukup. Yang penting kami juga boleh menumpang ke kamar mandi saat panggilan alam datang.
Cuma, ada juga lo yang setengah hati memberikan kami tempat alias tidak ikhlas. Ya, begitulah nasib hidup menumpang tak punya kantor kecuali Bela seorang.
Tapi, sebagian di antara kami yang mendapat jodoh dari hidup menumpang dan berpindah-pindah tersebut . Kebanyakan sih dengan petugas pemadam kebakaran.
Saya masih betugas di wilayah selatan Jakarta yang punya lima pos: kolam renang Senayan, pos polisi Pancoran, kantor Wali Kota Jakarta Selatan, kantor Pemadam kebakaran Lebak Bulus, dan kantor PT Jalan Lingkarluar Jakarta.


tengah malam di kunciran

15 Januari 2009

TELEPON NYASAR

Selain telepon iseng, banyak juga, lo, telepon nyasar yang masuk ke operator AGD. Tak jarang suara di seberang sana mengira kami adalah kantor pemadam kebakaran. Mereka minta kami segera mengirim mobil blamwier karena di daerahnya terjadi kebakaran.
Tapi, kami tetap merespon telepon tersebut setelah memberi penjelasan kalau nomor yang mereka hubungi bukan kantor pemadam kebakaran. Kami akan mencatat lokasi terjadinya kebakaran. Kemudian, kami akan mengontak kantor pemadam kebakaran.
Lalu, banyak juga yang mengira kami juga melayani ambulans jenazah. Sering sekali telepon beginian masuk. Tapi, lagi-lagi kami merespon telepon itu, tentunya, setelah memberi penjelasan kami cuma melayani pasien hidup saja.
Kebetulan kami memang sudah mengantisipasi untuk menghadapi telepon yang butuh ambulans jenazah. Sejumlah nomor perusahaan yang menyediakan layanan ini sudah kami pegang. Jadi, kami tinggal memberitahu ke yang membutuhkan saja.


malam di kunciran

02 Januari 2009

WAJAH RUMAHSAKIT

Ini salah satu kisah yang bikin saya mengelus dada sewaktu bertugas sebagai operator AGD. Desember lalu, suara telepon di seberang meminta satu unit ambulans untuk membawa anggota keluarganya yang sakit ke sebuah rumahsakit di daerah Jakarta Barat. Kami pun segera meluncurkan ambulans ke sana.
Saya pun mengontak rumahsakit tersebut lantaran pihak keluarga menginginkan anggota keluarganya yang sakit itu dirawat di sana. Tujuannya, memberitahu pihak rumahsakit bahwa akan ada pasien yang mengarah ke rumah sakit tersebut yang dibawa ambulans kami.
Apa lacur, jawaban seorang wanita di ujung telepon ini sangat ketus. Sambil setengah berteriak, dia bilang, sudah tidak ada kamar lagi. Perempuan itu meminta kami untuk membawa pasien itu ke rumahsakit lain saja.
Saya dan semua operator di AGD sudah biasa mendapat semprotan semacam itu. Maklum, kami sering membawa pasien Gakin alias keluarga miskin. Makanya, banyak rumahsakit yang menolak dengan alasan kamar sudah penuh.
Mungkin staf rumahsakit tersebut mengira kami membawa pasien Gakin. Tapi, saya tidak bisa memenuhi permintaan rumahsakit itu karena keluarga pasien ingin anggota keluarganya yang sakit dirawat di sana.
Cerita teman yang bertugas membawa pasien tersebut, perawat jaga di Instalasi Gawat Darurat rumahsakit itu langsung pasang muka asem begitu ambulans tiba. Tapi, begitu tahu kalau pihak keluarga ingin agar anggota keluarganya yang sakit itu dirawat di kamar VIP baru mereka pasang muka manis.
Ya, beginilah salah satu wajah rumahsakit di Indonesia. Hanya bersahabat bagi kalangan yang berduit saja.


sore di kunciran