30 Oktober 2008

RESIKO TUGAS

Setiap pekerjaan selalu ada resiko. Bahkan, resiko yang berujung pada kematian sekalipun. Tak terkecuali paramedik. Resiko ini selalu mengintip saban kali kami menjalani tugas. Apa yang saya alami hanya salah satu contoh saja.
Kejadiannya sewaktu kami menolong korban luka dalam kecelaakaan kereta api di Stasiun Kebayoran Lama, pada Maret 2006 lalu. Jumlah korban yang banyak, sedang ambulans yang tiba di lokasi baru tiga unit, memaksa kami mengangkut lebih dari satu pasien dalam satu mobil.
Tapi, ketika ambulans akan bergerak menuju rumahsakit terdekat, seorang korban berbuat ulah. Dia berteriak lantang sambil menuduh semua korban akan dimintai duit begitu tiba di rumahsakit. Kontan saja, pernyataan itu menyulut kemarahan orang-orang yang ada di lokasi kecelakaan. Puluhan orang langsung mengepung ambulans kami.
Untung saja, seorang teman langsung bertindak cepat. Dengan berteriak keras bak petir di siang bolong, dia bilang pertolongan yang kami berikan cuma-cuma alias gratis. Dan, meminta korban yang memfitnah kami untuk turun kalau tidak mau dibantu.
Korban lain yang sudah ada di dalam mobil kompak membenarkan pernyataan teman saya tadi, kalau ambulans ini memberikan pelayanan gratis. Mendengar itu, orang-orang yang tadi mengepung ambulans kami berangsur-angsur membubarkan diri dan memberi jalan.
Nasib saya masih lebih baik. Dua kawan lainnya mesti babak belur lantaran digebukin sewaktu hendak menolong korban kecelakaan di sekitar Pasar Senin. Sudah bonyok, dompet, sepatu dan hape lenyap. Gilanya lagi, massa yang beringas nyaris saja membakar ambulans. Beruntung, ada pegawai Pemda DKI yang melintas dan langsung menyelamatkan ambulans.
Teman yang bertugas mengantar pasien dari sebuah rumahsakit di Jakarta Timur ke rumahsakit lainnya di daerah yang sama harus dapat makian plus tamparan dari keluarga pasien. Alasannya, ambulans yang teman saya bawa lelet. Padahal, jarak yang jauh plus macet ditempuh dalam tempo 15 menit dan pasien juga tidak dalam kondisi gawat.
Tapi, ini semua resiko yang mesti kami tanggung, meski nyawa menjadi taruhan. Hanya, yang saya sesalkan semua itu terjadi lantaran mereka tidak tahu apa yang telah, akan dan terus kami perbuat untuk menolong orang. Tanpa pamrih. Tanpa pamrih.


siang di kunciran

28 Oktober 2008

SEBUAH MUKJIZAT

Ini yang biasa disebut orang mukjizat. Kejadian persisnya kapan? Saya lupa. Tapi yang pasti di medium 2006 lalu. Seperti biasa, pekerjaan diawali dari dering telpon yang berasal dari Bela. Perintahnya, meluncur ke rumahsakit di kawasan Jakarta Selatan untuk membawa pasien jantung yang sedang tak sadarkan diri ke rumah sakit khusus jantung.
Begitu tiba di rumah sakit, dokter yang merawat meminta kami untuk segera membawa pasien tersebut. Tapi, permintaan tersebut kami tolak lantaran keluarga korban masih mengurus administrasi kepindahan. Kelihatannya si dokter khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk karena pasien sudah tak sadarkan diri, pikir saya waktu itu.
Setelah keluarga menyelesaikan urusan administrasi, pasien yang tidak sadarkan diri itu kami bawa ke ambulans. Saya langsung memasukkan selang oksigen ke lubang hidung pasien dengan kadar yang lebih tinggi ketimbang yang diberikan pihak rumahsakit.
Mukjizat. Puji Tuhan. Tak lama setelah ambulans kami meluncur, pasien lelaki paruh baya itu tersadar. Bahkan, sempat mengucapkan terima kasih ketika kami akan meninggalkan rumah sakit khusus jantung yang akan melakukan perawatan lanjutan pasien tersebut. Terima kasih Tuhan.
Cerita ini cuma salah satu contoh mukjizat yang terjadi ketika saya bertugas. Masih ada lagi. Dan banyak lagi mukjizat lain yang dialami teman-teman rekan seprofesi saya. Tentu sebuah kebanggaan bisa menolong orang, apalagi sampai menyelamatkan nyawa seseorang.


sore di kunciran

21 Oktober 2008

KONDISI MERAH

Suatu siang di 2008, saya mendapat perintah untuk segera meluncur ke sebuah rumahsakit di kawasan Jakarta Selatan. Ada tugas untuk membawa pasien bayi dengan kondisi “merah” alias gawat dari rumahsakit tersebut ke rumahsakit lain di daerah Jakarta Timur.
Soalnya, dokter di rumahsakit itu sudah angkat tangan. Tapi, anehnya mereka tidak melakukan tindakan apapun terhadap si bayi yang memang keadaannya sudah kritis sebelum di bawah ke rumahsakit tersebut.
Sang dokter malah menganggap kami nekad lantaran berani membawa si orok ke rumahsakit yang jaraknya lumayan jauh. Sebab, bukan tidak mungkin nyawa sang bayi melayang dalam perjalanan. Ya, paling tidak kami berusaha untuk menyelamatkan si jabang bayi, pikir saya waktu itu. Lagian, sudah menjadi tugas kami membawa korban dalam kondisi gawat sesuai nama institusi: Ambulans Gawat Darurat.
Karena itu, kami menjelaskan resiko buruk yang mungkin terjadi lebih dulu kepada keluarga pasien. Cuma, selama perjalanan kami akan terus melakukan pertolongan pertama . Dan, mereka menerima dan siap menghadapi kenyataan pahit itu.
Tak lama kemudian, ambulans langsung melesat menembus jalan di ibukota yang sedang padat merayap. Tapi, di tengah perjalanan kondisi sang bayi makin memburuk. Kami lantas menyarankan ke keluarga untuk membawa si orok ke rumah sakit terdekat.
Tapi, Tuhan berkehendak lain. Tak lama setelah mendapat pertolongan di rumahsakit tersebut, si bayi menghembuskan nafas terakhirnya. Saya langsung lemas, ikut larut dalam kesedihan keluarga sang bayi. Yang bikin saya berbesar hati, kami sudah berusaha sekuat tenaga menyelamatkan nyawa orok malang itu.


sore di kunciran