06 Februari 2011

PENYELAMAT

Terbakarnya Kapal Motor Penyeberangan (KMF) Laut Teduh II di Selat Sunda menambah panjang daftar kecelakaan transportasi di Indonesia. Sedikitnya 28 orang tewas dalam kecelakaan yang terjadi Jumat (28) dini hari pekan lalu itu.
Sejatinya, kabar terbakarnya kapal feri yang mengangkut sekitar 400 penumpang tersebut sampai ke tim penyelamat yang ada di darat. Tapi, mereka tak bisa berbuat banyak karena tidak memiliki peralatan yang bisa menjangkau ke lokasi dalam waktu cepat.
Akhirnya, penyelamatan ratusan penumpang yang terjun ke laut bebas terutama hanya berpangku pada sesama kapal feri yang lewat saja. Untung, kecelakaan itu terjadi di Selat Sunda yang sibuk dengan lalu lalang kapal-kapal penyeberangan dari Merak ke Bakauheni dan sebaliknya selama 24 jam.
Tapi, tentu ceritanya akan lain kalau kita punya tim penyelamat perairan dan peralatan sekelas Coast Guard, Amerika Serikat. Bisa jadi, korban yang tewas tidak sebanyak itu. Dan, KMF Laut Teduh II dibekali peralatan pemadam kebakaran yang memadai.
Tapi, mesin pembunuh tak hanya ada di lautan. Tapi juga, di jalan- jalan di Indonesia. Dengan perilaku pengendara yang tidak disiplin dan ugal-ugalan, jalan-jalan di negara kita bisa menjadi mesin pembunuh yang sangat mematikan.
Celakanya, pemerintah khususnya pemerintah daerah tidak semua yang menyiapkan ambulans gawat darurat lengkap dengan paramedis yang memiliki kemampuan penanganan pra-rumah sakit.
Baru Pemerintah DKI Jakarta saja yang punya fasilitas emergensi ini. Tapi, jumlah unitnya masih terbatas sehingga tidak bisa melayani semua panggilan gawat darurat dari seluruh penjuru ibukota. Apalagi, belum banyak warga Jakarta yang tahu keberadaan ambulans tersebut.
Dengan perilaku orang kita yang tidak disiplin dan cuek bebek dengan keselamatan diri sendiri maupun orang lain, tampaknya tak mudah mengurangi angka kecelakaan transportasi di Indonesia. Contoh, dugaan sementara sumber api yang menyebabkan KMF Laut Teduh gosong berasal dari salah satu bus yang tidak mematikan mesin sewaktu berada di perut kapal.
Jadi, pemerintah pusat dan daerah harus mengambil langkah antisipatif dengan menyiapkan lembaga penyelamat yang handal dengan peralatan yang memadai. Dengan begitu, paling tidak bisa menekan jumlah korban tewas maupun yang luka-luka makin parah.

(Tajuk Harian KONTAN, 4 Februari 2011)

SERANGAN ASMA

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, tahun 2009 lalu, jumlah penderita asma di seluruh dunia mencapai 300 juta orang. Sebanyak 12 juta di antaranya berasal dari Indonesia termasuk Jakarta.
Tak heran, belakangan ini, panggilan yang masuk ke kami tak sedikit dari penderita asma. Contoh, sewaktu saya masih bertugas di Alarm Centre, suatu hari lewat tengah malam, ada telepon masuk yang meminta kami mengirim unit ke sebuah rumah kos di bilangan Jakarta Timur.
Salah satu penghuninya, seorang wanita mendadak kena serangan asma akut. Obat hirup sudah tak mempan lagi. Sang penelpon yang tak lain kekasih perempuan malang itu sejatinya sedang tidak satu lokasi dengan gadis pujaannya itu.
Lantaran wanita itu sudah susah untuk berbicara dan hanya bisa mengirim pesan ke pacarnya, terpaksa lelaki tersebut yang menelpon ke kantor kami. Dengan panik pria itu meminta kami segera mengirim unit ke kos pacarnya. Bahkan, dia meminta kami tidak menutup telepon untuk terus mengabari kondisi terbaru.
Kami pun mengirim dua unit terdekat ke lokasi. Sampai di sana, tidak ada satu orang pun yang membukakan pintu, meski unit di lapangan sudah menggedor gerbang dan memanggil beberapa kali. Terpaksa, sirene ambulans menyalak. Baru, pemilik kos-kosan terbangun dan membukakan pintu.
Panggilan lainnya saat saya sudah kembali ke lapangan. Datangnya juga malam hari dari seorang ibu di daerah Jakarta Selatan yang juga mengalami serangan asma akut.
Saya dan rekan pun meluncur ke lokasi. Setelah melakukan pertolongan pertama, kami segera mengarahkan ambulans ke rumahsakit terdekat. Rupanya, bantuan oksigen tidak juga meredakan serangan asma ibu itu.
Sepanjang jalan, ibu itu gelisah. Semua posisi, baik tidur maupun duduk, tak nyaman. Tapi ternyata, Tuhan memberi jalan untuk saya. Saya mencoba menenangkan ibu itu dengan merangkulnya dari belakang. Ibu itu kemudian duduk dengan kepala merunduk di lengan saya. Hasilnya, serangan asma mereda.
Meski tangan saya pegal bukan kepalang, saya senang serangan asma ibu itu mereda. Ibu itu pun mengucapkan terima kasih dengan menganggukkan kepala dan memegang tangan saya sewaktu di rumahsakit. Maklum, nafasnya yang sesak membuat dia tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun.

malam di kunciran