19 Februari 2009

WAJAH RUMAHSAKIT (2)

Bisa jadi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Rumahsakit sampai sekarang masih mangkrak di Departemen Kesehatan kalau saja – tiga tahun yang lalu – enam rumahsakit tidak menolak Muhammad Zulfikri, bayi umur seminggu yang orangtuanya miskin.
Berkat kasus itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, yang waktu itu geram bukan kepalang, memerintahkan bawahannya mengebut kelahiran RUU Rumahsakit. Habis, “Saya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap keenam rumahsakit itu. Bahaya sekali kalau caranya seperti ini,” kata dia.
Akhirnya, setelah lewat proses harmonisasi yang panjang di Departemen Hukum dan HAM, calon beleid tersebut melenggang ke Senayan, tempat wakil rakyat bermarkas, pada 2 Juli lalu. Menteri Siti Fadilah sendiri yang menyerahkan RUU Rumahsakit yang terdiri dari 15 Bab dan 58 pasal.
Menteri Kesehatan bilang, calon aturan ini sangat prorakyat kecil. Sebab, setiap rumahsakit wajib memiliki fungsi sosial. Ambil satu contoh, memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu. Kemudian, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, dan pelayanan bagi korban bencana alam.
Sekarang ini kan, ungkap Fadilah, kalau mau masuk rumahsakit, orang harus bayar uang muka dulu, termasuk korban gawat darurat. Kalau tidak, ya, tak dilayani. “Dengan adanya RUU Rumahsakit, orang harus ditolong dulu, baru tanya duit,” tandas dia.
Nah, bila rumahsakit tidak mau melakoni fungsi sosial itu, dia bisa kena sanksi. RUU Rumahsakit menyebut, menolak pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga menyebabkan kematian atau cacat diancam hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 1 miliar.
Selain itu, RUU Rumahsakit juga mewajibkan setiap rumahsakit menyediakan kamar kelas tiga. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) usul rumahsakit swasta harus memiliki minimal 25% dari jumlah kamar keseluruhan. “Kalau Rumahsakit Umum Daerah kelas tiganya harus gratis,” seru Ribka Tjiptaning, Anggota Komisi IX dari Fraksi PDI Perjuangan.
Usulan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) malah lebih tinggi lagi, kalau perlu sampai 30% dari kamar di rumahsakit adalah kelas tiga. “Bisa jadi mereka tak bisa mendapat untung dari sini, tapi kan bisa mengambil untung besar dari sisanya yang 70%,” ujar Chairul Anwar, anggota Komisi IX dari Fraksi PKS.
Tapi, dibahas saja belum, calon beleid tersebut sudah mendapat penolakan dari sejumlah rumahsakit, utamanya swasta. Rumahsakit Pondok Indah, misalnya. Mereka minta fungsi sosial disamakan saja dengan corporate social responsibility (CSR). Jadi, “Itu lebih baik ada dalam peraturan pemerintah, bukan undang-undang,” kata CEO Pondok Indah Health Care Group Hermansyur Kartowisastro.
Mereka juga protes soal aturan main pidana dan denda. Memang, “Menolak itu dilarang. Tapi, kalau dikaitkan dengan hasil, ya, jadi sulit. Contoh, karena kamarnya tidak ada, lalu pasien bilang dia ditolak bagaimana? Kan repot?” kilah Hermansyur lagi.
Siloam Hospitals juga minta kejelasan soal pasal tersebut. Soalnya, pengertian menolak itu sangat luas. “Menolak karena kami memang enggak mau menangani, atau memang karena kami enggak punya kemampuan? Atau, karena di sini memang penuh dan kami enggak bisa menampung lagi?” ujar Agus Tanjung, Chief Operating Officer Siloam Hospitals.
Usulan rumahsakit swasta kudu menyediakan kamar kelas tiga minimal 25% juga mendapat protes keras. “Kami akan mati. Bagaimana kami bisa bertahan? Kalau kami hancur, bukannya kesehatan justru makin hancur?” tandas Hermasyah. “Kecuali kami rumahsakit nonprofit,” timpal CEO Siloam Hospitals Pitono Yap.
Untuk yang satu ini, rumahsakit swasta mendapat dukungan dari Departemen Kesehatan. “Angka itu dapat dari mana? Yang penting, mereka harus menyediakan. Soal berapa persennya tidak terlalu penting,” kata Kepala Biro Hukum Departemen Kesehatan Budi Sampurna. Saat ini rumahsakit swasta cuma wajib memiliki kamar kelas tiga sebesar 10%.
Dukungan juga mengalir dari Perhimpunan Rumahsakit Indonesia (Persi). “Rumahsakit yang 100% tidak ada kelas tiga saja bisa rugi, apalagi bila diwajibkan menyediakan 25%. Biar saja rumahsakit berkembang dan mengatur sendiri. Jangan diatur dalam bentuk angka karena akan membatasi gerak mereka,” pinta Ketua Persi Adib A. Yahya.
Tak usah heran kalau kemudian sejumlah rumahsakit swasta besar melobi fraksi-fraksi yang ada di DPR. Tujuannya, membatalkan pasal yang merugikan bisnis rumahsakit swasta. “Ada beberapa rumahsakit swasta yang datang ke kami (Fraksi PKS),” ungkap Chairul.
Anehnya, Chairul menyatakan, ketika rumahsakit swasta diminta menjalankan fungsi sosial, mereka buru-buru bilang bahwa mereka adalah industri. Tapi, sewaktu minta keringanan pajak, dengan cepat mengatakan mereka adalah lembaga sosial.
Hermansyur menolak kalau upaya mereka itu dibilang lobi. “Kalau lobi itu kan kesannya enggak baik. Kami lebih kepada upaya mengajukan keberatan,” kilah dia. Adapun Persi mengaku terang-terangan memang sedang melobi DPR. Tapi, “Dalam hal supaya pajak rumahsakit tidak terlalu berat,” kata Adib.
Terlepas dari pro kontra tersebut, Komisi IX DPR dan Departemen Kesehatan, Rabu (3/9) pekan lalu, sudah setuju bakal mengebut penggodokan RUU Rumahsakit. “Kami sepakat untuk menyelesaikannya pada akhir tahun ini,” ujar Ribka, yang juga menjabat Ketua Komisi IX.


(S.S. Kurniawan, Ali Imron H., Anastasia Lilin Yuliantina - Tabloid KONTAN Edisi September 2008)

1 komentar:

EKO RAHARJO mengatakan...

Pelayanan Prima telah menjadi keniscayaan dalam setiap aktifitas pelayanan. Untuk itu dibutuhkan peningkatan keahlian dan perubahan pola pelayanan agar mampu mewujudkan sebuah aktifitas komunikasi pelayanan yang cermat, memuaskan dan menguntungkan.
Info Pelatihan Pelayanan Prima
Solo Inn Hotel Surakarta
Kamis, 7 Mei 2009
Pukul 09.00-15.00 wib
Info Lengkap silahkan kunjungi :
www.forumkuliah.wordpress.com
atau telp ke 081548341129 (eko)