19 Februari 2009

WAJAH RUMAHSAKIT (3)


Kami di AGD terutama saya sangat berharap DPR segera mensahkan RUU Rumahsakit. Tentu dampak calon belid ini sangat besar. Sebab, kami tak jarang membawa pasien gawat darurat dan gakin ke rumahsakit untuk mendapat penanganan dan perawatan lebih lanjut.
Bukan sekali dua kali pasien-pasien yang kami bawa tersebut ditolak rumahsakit, meski mereka harus mendapat penanganan segera. Contoh yang saya dan teman alami tahun lalu. Waktu itu kami membawa pasien gakin yang tinggal di Jakarta Selatan ke sebuah rumahsakit di bilangan Jakarta Timur.
Pasien itu sudah beberapa kali menjalani rawat inap di sana. Tentu dengan fasilitas kartu gakin. Cuma, saat itu pasien malang itu ditolak rumahsakit tersebut. Alasannya, tidak ada kamar. Kami menerima alasan tersebut, tapi paling tidak pihak UGD rumahsakit itu menangani pasien tersebut dulu sehingga kondisinya stabil.
Dengan begitu kami bisa membawa pasien tersebut ke rumahsakit lain. Maklum, peralatan kami terbatas. Tapi, apa lacur, pihak UGD tidak melakukan tindakan apapun.
Kesal, akhirnya saya menelepon Dinas Kesehatan DKI. Mendapat laporan dari saya otoritas rumahsakit di Jakarta ini pun menegur rumahsakit tersebut. Tak lama kemudian, petugas UGD rumahsakit itu menangani pasien yang kami bawa. Bahkan, mendapat kamar untuk rawat inap segala.
Itu pengalaman saya. Rekan kerja saya lebih parah lagi. Waktu itu mereka membawa pasien gawat darurat ke sebuah rumahsakit di kawasan Jakarta Selatan. Sampai di UGD tak satupun perawat atau dokter yang menangani pasien itu. Bahkan, mereka cuek saja waktu teman saya mengebrak-gebrak brankar atau tempat tidur pasien. Gila bener!
Tapi, jujur saya mengatakan, tidak semua rumahsakit punya perilaku buruk seperti itu. Ada juga lo rumahsakit yang cepat tanggap menangani pasien gawat darurat. Mereka bahkan member kami insentif kalau membawa pasien ke rumahsakit tersebut. Kalau si pasien mesti menjalani rontgen, kami dikasih insentif lagi. T. O. P. B. G. T kan? Alias top banget bukan?


malam di kunciran

WAJAH RUMAHSAKIT (2)

Bisa jadi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Rumahsakit sampai sekarang masih mangkrak di Departemen Kesehatan kalau saja – tiga tahun yang lalu – enam rumahsakit tidak menolak Muhammad Zulfikri, bayi umur seminggu yang orangtuanya miskin.
Berkat kasus itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, yang waktu itu geram bukan kepalang, memerintahkan bawahannya mengebut kelahiran RUU Rumahsakit. Habis, “Saya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap keenam rumahsakit itu. Bahaya sekali kalau caranya seperti ini,” kata dia.
Akhirnya, setelah lewat proses harmonisasi yang panjang di Departemen Hukum dan HAM, calon beleid tersebut melenggang ke Senayan, tempat wakil rakyat bermarkas, pada 2 Juli lalu. Menteri Siti Fadilah sendiri yang menyerahkan RUU Rumahsakit yang terdiri dari 15 Bab dan 58 pasal.
Menteri Kesehatan bilang, calon aturan ini sangat prorakyat kecil. Sebab, setiap rumahsakit wajib memiliki fungsi sosial. Ambil satu contoh, memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu. Kemudian, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, dan pelayanan bagi korban bencana alam.
Sekarang ini kan, ungkap Fadilah, kalau mau masuk rumahsakit, orang harus bayar uang muka dulu, termasuk korban gawat darurat. Kalau tidak, ya, tak dilayani. “Dengan adanya RUU Rumahsakit, orang harus ditolong dulu, baru tanya duit,” tandas dia.
Nah, bila rumahsakit tidak mau melakoni fungsi sosial itu, dia bisa kena sanksi. RUU Rumahsakit menyebut, menolak pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga menyebabkan kematian atau cacat diancam hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 1 miliar.
Selain itu, RUU Rumahsakit juga mewajibkan setiap rumahsakit menyediakan kamar kelas tiga. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) usul rumahsakit swasta harus memiliki minimal 25% dari jumlah kamar keseluruhan. “Kalau Rumahsakit Umum Daerah kelas tiganya harus gratis,” seru Ribka Tjiptaning, Anggota Komisi IX dari Fraksi PDI Perjuangan.
Usulan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) malah lebih tinggi lagi, kalau perlu sampai 30% dari kamar di rumahsakit adalah kelas tiga. “Bisa jadi mereka tak bisa mendapat untung dari sini, tapi kan bisa mengambil untung besar dari sisanya yang 70%,” ujar Chairul Anwar, anggota Komisi IX dari Fraksi PKS.
Tapi, dibahas saja belum, calon beleid tersebut sudah mendapat penolakan dari sejumlah rumahsakit, utamanya swasta. Rumahsakit Pondok Indah, misalnya. Mereka minta fungsi sosial disamakan saja dengan corporate social responsibility (CSR). Jadi, “Itu lebih baik ada dalam peraturan pemerintah, bukan undang-undang,” kata CEO Pondok Indah Health Care Group Hermansyur Kartowisastro.
Mereka juga protes soal aturan main pidana dan denda. Memang, “Menolak itu dilarang. Tapi, kalau dikaitkan dengan hasil, ya, jadi sulit. Contoh, karena kamarnya tidak ada, lalu pasien bilang dia ditolak bagaimana? Kan repot?” kilah Hermansyur lagi.
Siloam Hospitals juga minta kejelasan soal pasal tersebut. Soalnya, pengertian menolak itu sangat luas. “Menolak karena kami memang enggak mau menangani, atau memang karena kami enggak punya kemampuan? Atau, karena di sini memang penuh dan kami enggak bisa menampung lagi?” ujar Agus Tanjung, Chief Operating Officer Siloam Hospitals.
Usulan rumahsakit swasta kudu menyediakan kamar kelas tiga minimal 25% juga mendapat protes keras. “Kami akan mati. Bagaimana kami bisa bertahan? Kalau kami hancur, bukannya kesehatan justru makin hancur?” tandas Hermasyah. “Kecuali kami rumahsakit nonprofit,” timpal CEO Siloam Hospitals Pitono Yap.
Untuk yang satu ini, rumahsakit swasta mendapat dukungan dari Departemen Kesehatan. “Angka itu dapat dari mana? Yang penting, mereka harus menyediakan. Soal berapa persennya tidak terlalu penting,” kata Kepala Biro Hukum Departemen Kesehatan Budi Sampurna. Saat ini rumahsakit swasta cuma wajib memiliki kamar kelas tiga sebesar 10%.
Dukungan juga mengalir dari Perhimpunan Rumahsakit Indonesia (Persi). “Rumahsakit yang 100% tidak ada kelas tiga saja bisa rugi, apalagi bila diwajibkan menyediakan 25%. Biar saja rumahsakit berkembang dan mengatur sendiri. Jangan diatur dalam bentuk angka karena akan membatasi gerak mereka,” pinta Ketua Persi Adib A. Yahya.
Tak usah heran kalau kemudian sejumlah rumahsakit swasta besar melobi fraksi-fraksi yang ada di DPR. Tujuannya, membatalkan pasal yang merugikan bisnis rumahsakit swasta. “Ada beberapa rumahsakit swasta yang datang ke kami (Fraksi PKS),” ungkap Chairul.
Anehnya, Chairul menyatakan, ketika rumahsakit swasta diminta menjalankan fungsi sosial, mereka buru-buru bilang bahwa mereka adalah industri. Tapi, sewaktu minta keringanan pajak, dengan cepat mengatakan mereka adalah lembaga sosial.
Hermansyur menolak kalau upaya mereka itu dibilang lobi. “Kalau lobi itu kan kesannya enggak baik. Kami lebih kepada upaya mengajukan keberatan,” kilah dia. Adapun Persi mengaku terang-terangan memang sedang melobi DPR. Tapi, “Dalam hal supaya pajak rumahsakit tidak terlalu berat,” kata Adib.
Terlepas dari pro kontra tersebut, Komisi IX DPR dan Departemen Kesehatan, Rabu (3/9) pekan lalu, sudah setuju bakal mengebut penggodokan RUU Rumahsakit. “Kami sepakat untuk menyelesaikannya pada akhir tahun ini,” ujar Ribka, yang juga menjabat Ketua Komisi IX.


(S.S. Kurniawan, Ali Imron H., Anastasia Lilin Yuliantina - Tabloid KONTAN Edisi September 2008)

08 Februari 2009

KALAH LENGKAP

Mendekati ujung Januari lalu, unit yang saya awaki bersama seorang teman mendapat panggilan darurat. Ada pekerja proyek menara jangkung di kawasan Kuningan yang terjatuh.
Untung saja, hari itu, menjelang malam, Jakarta sedang tidak beraktivitas. Sehingga, kami bisa memacu ambulans kami dengan kecepatan maksimal dan tiba di lokasi kejadian dalam hitungan belasan menit saja.
Rupanya, korban yang terjatuh itu mengalami luka cukup serius di bagian punggung. Setelah memasang peralatan khusus patah tulang termasuk penyangga leher ke pria paruh baya yang malang itu, kami langsung tancap gas menuju rumahsakit di daerah Jakarta Pusat.
Sampai di UGD rumahsakit tersebut korban langsung ditangani oleh dokter dan perawat jaga. Tapi, kami tidak bisa langsung cabut dari situ untuk kembali ke pos di kantor Wali Kota Jakarta Selatan. Soalnya, ternyata, UGD rumahsakit itu tidak punya papan penyangga punggung.
Busyet. Rumahsakit sebesar itu tidak punya alat begituan. Kalah lengkap dengan ambulans AGD DKI. Jadilah kami menunggu padahal jam kerja sudah lewat. Satu jam, dua jam, tiga jam kami menunggu. Mendekati jam 10 malam baru kami bisa meninggalkan rumahsakit itu.
Saya bilang ke dokter jaga UGD sambil becanda sebelum pergi, “Dok siapa yang bayar uang lembur kami?”. Sambil tersenyum dia menjawab: “Yang di Atas nanti yang membayar semuanya”. Ah, dokter jago sekali menenangkan hati kami.


malam di kunciran