28 September 2009

RUMAHSAKIT LAPANGAN

GEMPA dahsyat berkekuatan 7,3 skala Richter yang mengguncang wilayah selatan Jawa Barat dan sekitarnya hampir sebulan berlalu. Pemerintah juga sudah mencabut masa tanggap darurat sejak 16 September lalu.
Tapi, ratusan petugas medis masih berjibaku membantu korban lindu yang sebagian masih tinggal di tenda-tenda pengungsian. Puluhan di antara petugas medis itu adalah tenaga kesehatan sukarela dari berbagai lembaga.
Salah satunya adalah petugas medis dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DKI Jakarta yang ditempatkan di rumahsakit lapangan Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung. "Kami diminta Pemerintah Jawa Barat karena mereka kekurangan tenaga medis," kata Prasetio, paramedis ambulans Gawat Darurat Dinkes Jakarta.
Tugas mereka tak hanya memberikan pelayanan kesehatan di rumahsakit darurat yang didirikan Departemen Kesehatan (Depkes). Mereka juga menyambangi tenda-tenda pengungsian yang tersebar di 10 desa di Pengalengan.
Pemerintah setempat menetapkan kejadian luar biasa di daerah itu lantaran seminggu setelah gempa daerah itu diserang diare. "Sekarang keluhan pengungsi hanya batuk, pilek, dan panas, akibat tinggal di tenda dengan udara yang dingin," terang Prasetio.
Depkes mencatat, gempa yang berpusat di Samudera Hindia, sekitar 142 kilometer arah barat Kota Tasikmalaya, menyebabkan 370 orang luka berat dan 1.098 luka ringan. "Jumlah korban rawat jalan di pos kesehatan sebanyak 29.856 orang," kata Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Depkes Rustam Pakaya.
Selain itu, Depkes juga menempatkan tenaga pemantau dan tim kesehatan psikososial, termasuk juga mendistribusikan tujuh ton makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) dan 10 ton obat-obatan dan bahan habis pakai.
Tapi, menurut Prasetio, rumahsakit lapangan tak cuma menangani korban gempa saja. Mereka juga mengobati korban kecelakaan lalu lintas yang banyak terjadi selama Lebaran.
Rumahsakit lapangan itu harus melayani perawatan korban kecelakaan setelah Puskesmas Pengalengan runtuh digoyang gempa. Cuma, "Karena peralatan di rumahsakit lapangan terbatas, kami terpaksa mengevakuasi pasien yang terluka parah ke rumahsakit di Kota Bandung," ujar Prasetio.
Rencananya, Depkes tetap menempatkan rumahsakit lapangan dan puluhan pos kesehatan di kawasan itu hingga pembangunan puskesmas yang ambruk tuntas.

(SS Kurniawan, Harian KONTAN, 26 September 2009)

16 September 2009

WAJAH RUMAHSAKIT (4)

Dalam keadaan darurat, fasilitas kesehatan termasuk rumahsakit, baik milik Pemerintah maupun swasta, tidak boleh lagi menolak pasien. Apalagi, jika mereka meminta uang muka terlebih dahulu baru kemudian menangani pasien yang butuh pertolongan segera tersebut.
Itulah perintah Undang-Undang (UU) tentang Kesehatan yang baru, yang kemarin (14/9) disahkan DPR. UU ini mewajibkan semua fasilitas pelayanan kesehatan memberikan layanan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
Ketua Komisi Kesehatan (IX) DPR Ribka Tjiptaning menyatakan, revisi UU Nomor 23 Tahun 2002 tersebut memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. "Sekaligus menjamin semua warga negara bisa memperoleh kesehatan yang layak," katanya.
Nah, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien bisa diancam pidana paling lama dua tahun dan denda Rp 200 juta. Kalau akibat tak ada pertolongan medis pasien sampai mengalami cacat atau meninggal, mereka bisa terjerat hukuman penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar.
UU Kesehatan yang baru juga menjamin hak-hak setiap orang mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau. "Tidak ada ruang untuk menahan pasien karena dia tidak mampu membayar biaya," ujar Ribka.
Yang tidak kalah penting, Ribka menambahkan, setiap orang juga berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya, termasuk tindakan serta pengobatan, yang telah maupun yang akan mereka terima.
Direktur Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta John Marbun bilang, lembaganya akan sangat terbantu dengan kehadiran UU Kesehatan yang baru. "Sebab, masih ada penolakan atau penanganan yang tidak segera darirumahsakitterhadap pasien dalam kondisi gawat darurat yang selama ini kami bawa," kata dia.

(Fitri Nur Arifenie, SS Kurniawan, Harian KONTAN, 15 September 2009)

13 September 2009

ADA-ADA SAJA

Selama bertugas di Alarm Centre, begitu kami biasa menyebut layanan call centre AGD DKI, banyak permintaan yang aneh-aneh. Contoh, suatu hari kami mendapat permintaan untuk memindahkan pasien dari rumahsakit di bilangan Jakarta Pusat ke rumahsakit di kawasan Jakarta Utara.
Begitu unit sampai, pasien yang mengaku bermukim lama di Eropa menolak dibawa dengan ambulans kami. Alasannya, tempat tidur dorong milik kami kecil tidak sesuai dengan standar Eropa. Padahal tubuh si pasien ukurannya sama dengan orang Indonesia kebanyakan. Dan, brankar alias tempat tidur dorong ambulans kami masih cukup lebar untuk dia.
Toh, lantaran si pasien bersikukuh tempat tidur dorong tidak sesuai standar Eropa, akhirnya dia batal menggunakan ambulans kami. Saya sendiri tidak habis pikir, orang itu mau pesan ambulans ke mana. Sebab, semua brankar ambulans di Indonesia ukurannya sama. Memang, AGD DKI tidak mengacu standar ambulans Eropa, melainkan Jepang dan Amerika Serikat.
Ada kisah lain lagi yang bikin kami tertawa geli juga. Belum lama ini ada seorang perempuan yang ingin menggunakan layanan jasa kami. Tapi, katanya harga yang kami tawarkan sebesar Rp 200.000 terlalu mahal. Ya sudah, akhirnya kami minta orang itu menelpon jasa ambulans lainnya yang memberikan layanan yang sama dengan kami.
Tidak berapa lama, wanita itu kembali menelepon dan akhirnya jadi memakai jasa kami dengan harga Rp 200.000. Soalnya, ambulans lainnya yang dia telepon mematok tarif Rp 3 juta.
Bukannya sombong, sampai saat ini AGD DKI memang yang paling murah soal harga. Yang lainnya paling murah memberi harga Rp 300.000 untuk dalam kota Jakarta. Itu pun baru ambulans saja belum termasuk jasa paramedis, oksigen, infus, dan lainnya.


malam di kunciran