06 November 2008

ANAK ANGKAT

Saya berusaha sekuat mungkin menahan supaya air mata ini tidak jatuh. Soalnya, kata-kata yang meluncur dari mulut ibu itu betul-betul membuat saya terharu. “Put, mau tidak menjadi anak angkat saya?,” katanya mantap suatu siang di 2006.
Perempuan paruh baya yang hampir membuat saya menangis haru itu adalah orang yang sering kami antar dengan ambulans untuk berobat rutin ke rumah sakit. Entah kenapa, si ibu lebih senang kalau saya yang mendampinginya sewaktu kontrol. Setiap kali ingin ke rumah sakit, dia selalu meminta ambulans yang diawaki saya.
Ibu tadi tinggal sendiri di sebuah rumah besar dan mewah di daerah Jakarta Selatan. Anak-anaknya sudah menikah dan memilih tidak tinggal satu atap lagi dengan bunda mereka. Mungkin merasa kesepian, dia meminta saya menjadi anak angkatnya. Tapi, saya tidak tahu atau bertanya ke ibu itu: kenapa memilih saya?
Tugas membawa saya harus masuk kandang. Maksudnya, BELA. Saya kena giliran naik ke operator. Bekerja di balik meja, menerima telepon yang masuk. Jadi, tak bisa lagi memenuhi permintaan ibu tadi untuk mendampinginya kala cek up rutin ke rumah sakit.
Begitu kembali ke lapangan, saya tidak pernah lagi mendapat perintah dari BELA untuk mengantar ibu tersebut control rutin. Bisa jadi, dia sudah betul-betul sembuh. Tapi, tawaran menjadi anak angkat itu masih membekas sampai sekarang.


sore di kunciran

Tidak ada komentar: