07 Juli 2008

Berpacu Melawan Macet

Di negara maju, waktu bagi ambulans untuk merespons panggilan darurat berkisar 4-6 menit. Di Jakarta yang lalu lintasnya kacau dan macet, ambulans paling cepat datang 30 menit setelah dipanggil. Kita hanya bisa berdoa semoga pasien bertahan hidup hingga ambulans tiba.
Kemacetan lalu lintas memang menjadi penghambat utama bagi ambulans. Semua petugas ambulans di Jakarta tahu benar masalah itu. Simak saja pengalaman mereka.
Ludy Hardiyant (27), petugas ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta, pernah mendapat tugas menjemput pasien yang kritis di Duren Sawit, Jakarta Timur. Ketika itu, dia sedang berjaga di Kampung Rambutan yang waktu tempuhnya dari Duren Sawit sekitar 30 menit dalam keadaan normal.
”Saya langsung tancap gas. Tetapi, ambulans saya terjebak di tengah kemacetan,” kata dia. Akibatnya, Ludy baru tiba di tempat pasien satu jam kemudian. Pasien langsung diangkut ke rumah sakit, tetapi meninggal sebelum mendapat perawatan.
Japistar (38), petugas ambulans lain, bahkan gagal mengevakuasi pasien yang mengalami sesak napas tahun 1999. Ketika itu dia ditugaskan menjemput pasien di Cengkareng, Tangerang. Dalam perjalanan menuju rumah pasien, ambulans yang dia kendarai dihadang kemacetan parah. Ambulans yang berangkat pukul 10.00 baru tiba di rumah pasien satu jam kemudian.
Ketika ambulans tiba, nyawa pasien telah melayang. Dokter yang memeriksa menyatakan, pasien meninggal sekitar 10 menit sebelum ambulans datang. ”Kami kecewa. Kalau saja lalu lintas lancar, setidaknya kami bisa memberi pertolongan pertama atau membawa pasien ke rumah sakit biar cepat ditangani dokter,” ujar Japistar.
Untuk menyiasati kemacetan, Ambulans Gawat Darurat 118 pernah mengerahkan tim ambulans sepeda motor yang bisa menembus kemacetan. Prosedurnya, paramedis akan meluncur dengan sepeda motor lebih dulu ke rumah pasien untuk memberi pertolongan pertama. Setelah itu, mobil ambulans menyusul untuk mengevakuasi pasien.
”Dua tahun lalu, ada 10 ambulans sepeda motor yang bersiaga di lima wilayah DKI. Sekarang sepeda motornya enggak tahu ke mana,” kata Aryono Djuned, Ketua Yayasan Ambulan Gawat Darurat Terpadu 118.
Yang lain ke pinggir
Secara normatif, ambulans mendapat prioritas utama dalam menggunakan jalan. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan menyebutkan, ”Pemakai jalan wajib mendahulukan mobil pemadam kebakaran dan ambulans yang sedang bertugas.”
Prioritas selanjutnya adalah kendaraan untuk menolong korban kecelakaan lalu lintas, kendaraan kepala negara atau tamu negara, iring-iringan mobil pengantar jenazah, dan kendaraan yang mengangkut barang- barang khusus.
Di Indonesia, aturan normatif sering tidak nyambung dengan kondisi di lapangan. Entah tidak paham aturan atau terlalu egois, banyak pengendara tidak mau memberi jalan untuk ambulans meski petugasnya menyalakan lampu warna merah yang berputar-putar (rotator) menyilaukan dan membunyikan sirene.
Octaria (28) pernah dibuat jengkel oleh pengemudi egois. ”Saya pernah dipepet dua truk kontainer ketika membawa pasien. Untung saya tidak panik. Kalau saya panik, keluarga pasien ikut panik. Wah, bisa gawat,” ujar petugas ambulans yang beroperasi di wilayah Jakarta Utara itu.
Jalan-jalan di wilayah itu memang sering disesaki kendaraan berat, seperti truk, kontainer, dan trailer. Octaria harus cekatan dalam mengemudikan ambulans.
Pengalaman lebih buruk dialami keluarga Janu Utomo (76), pengguna layanan ambulans gawat darurat di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Teguh Ostentrik, adik ipar Janu, menceritakan, Janu mendadak sakit pada 1 Juni lalu. Keluarga Janu segera memanggil ambulans gawat darurat untuk membawa Janu ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) di Jakarta Selatan.
Di dalam ambulans, Janu ditemani istrinya, Retno Indarti (65), dan anaknya, Krisanti Indriani. Ambulans tersebut dikemudikan Januari Purwoko ditemani perawat Risa Citra Dewi. Saat mobil melintas di Jalan Sisingamangaraja, dekat Masjid Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sekitar pukul 02.45, ambulans ditabrak Honda Jazz. Bagian samping kanan belakang ambulans hancur, sedangkan bagian depan mobil Honda Jazz rusak.
”Kakak ipar saya terlempar sampai 30 meter. Dia akhirnya meninggal di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSPP akibat kepala bagian belakang pecah. Retno luka parah dan masih kritis sampai sekarang,” kata Teguh ketika dihubungi Kamis (26/6). Penumpang ambulans lainnya juga mengalami luka-luka. Januari memar, bibir Krisanti sobek, dan wajah perawat Risa luka dan memar.
Belakangan diketahui, mobil Honda Jazz itu dikemudikan Putri Rizki Indriasari. Di dalam mobil itu juga ada Nuri, salah seorang personel band Shaden. Karena Nuri seorang selebriti, kejadian itu pun mendapat sorotan media infotainment. Dalam konferensi pers, Nuri malah menyalahkan ambulans. Katanya, ambulans yang menabrak Honda Jazz.
Teguh benar-benar dongkol mendengar tudingan itu. ”Kami tidak terima dengan konferensi pers yang digelar Nuri. Yang benar, kami ditabrak bukan menabrak,” ujarnya. Bagaimanapun, kata dia, ambulans yang membawa orang sakit harus diprioritaskan ketimbang kendaraan pribadi dan umum.
Selain kemacetan dan sikap egois pengemudi kendaraan, petugas ambulans kadang terhambat karena petugas rumah sakit, bahkan polisi, tak mengerti prosedur kerja ambulans. Ludy menceritakan, ketika dia tergopoh- gopoh untuk mengevakuasi korban ledakan bom di Kedubes Australia tahun 2004, ambulansnya malah dicegat polisi. Setelah berdebat, akhirnya ambulansnya diperbolehkan masuk.
Masalah tidak berhenti di sini. Ketika Ludy mengangkut korban selamat ke rumah sakit, petugas rumah sakit justru mengarahkan ambulans itu ke kamar mayat, bukan ke IGD.


oleh: Budi Suwarna/Lusiana Indriasari/Ilham Khoiri
KOMPAS
Minggu, 29 Juni 2008

Tidak ada komentar: