03 Juli 2008

Pilot Ambulans Zig-zag

Awal Februari 2006. Jakarta yang sedang diguyur hujan lebat baru saja disergap malam. Sebuah ambulans dengan sirene menjerit-jerit terperangkap macetnya kendaraan yang mengular di kawasan Klender. Ada penderita diabetes plus hipertensi yang sedang koma, yang menanti kedatangan mobil itu segera.
Lima belas menit menembus lalu lintas yang tersendat, akhirnya tiba juga ambulans itu di rumah pasien. Keluarga yang panik langsung menyeret Karti Sari Indah, 27 tahun, pembawa ambulans yang baru saja turun dari mobil. Begitu juga dengan rekannya yang sedang mengambil kotak obat dan peralatan medis.
Petra--demikian Karti Sari Indah biasa dipanggil--dan mitranya langsung melakukan penanganan darurat sebelum pasien diangkut ke mobil. Jarum infus ditancapkan di lengan pasien yang sudah tak sadarkan diri itu. Masker oksigen dipasang di hidung dan mulut. Selesai. Baru si pasien dibawa ke ambulans.
Perempuan itu segera memacu mobil yang dia sopiri menuju OMC Medical Center, rumah sakit paling dekat. Penanganan gawat darurat diteruskan rekannya selama perjalanan. "Puji Tuhan, begitu sampai OMC, pasien sadar, bahkan sudah bisa ngomong," katanya.
Itu pengalaman Petra yang paling berkesan selama tiga tahun melakoni pekerjaan sebagai sopir ambulans. Persisnya, di Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118 Jakarta. "Saya tidak bakal pernah lupa dan bangga banget kalau disuruh cerita soal itu," ujar perempuan kelahiran 24 November itu.
Paling berkesan? Ya. Tapi soal menyelamatkan nyawa, itu bukan yang pertama dilakukan Petra. Masih banyak lagi. Misalnya, waktu baru hitungan hari menjadi sopir, sudah mesti membawa korban kecelakaan lalu lintas yang koma akibat luka di bagian kepala. Darah segar terus mengucur dari mulut pasien.
Kejadiannya di depan kantor Kepolisian Sektor Duren Sawit. Setelah memberikan pertolongan pertama, Petra pun tancap gas di Jalan Kali Malang, yang kebetulan ramai tapi lancar, menuju Rumah Sakit UKI. "Saya bawa mobil zig-zag guna menyalip mobil lain, lupa kalau baru jadi sopir," ujarnya. Tapi selamat sampai tujuan.
Baru dua hari mengemudi ambulans, mobil itu menyeruduk boks telepon umum. Saat itu dia sedang memarkirkan ambulansnya. Untung, kata Petra, tidak sedang membawa pasien. Peristiwa buruk, misalnya, korban sampai meninggal di mobilnya, juga belum pernah terjadi.
Arifin Panigoro, bos perusahaan minyak Medco, pernah juga diangkut ambulans yang disopiri Petra. Politikus yang sekarang aktif di Partai Demokrasi Pembaruan itu dipindahkan ke MMC, Kuningan, dari Rumah Sakit UKI, setelah sempat dirawat di sana karena mengalami kecelakaan. Tapi Petra bukan sekadar sopir-pilot--begitu sopir ambulans disebut. Dia juga lihai menangani korban gawat darurat. Soalnya, profesi utamanya tetap paramedis, yang sudah dijalani sejak 1997 sewaktu bergabung dengan 118 Jakarta. Hebatnya, dia termasuk generasi pertama paramedis perempuan.
Karier paramedisnya diawali dengan menjadi kru ambulans, yang mendampingi pilot. Posisi sopir sudah diincar Petra, walau belum bisa menyetir sama sekali. "Karena dapat uang tunjangan," katanya, yang sekarang digaji Rp 1,5 juta per bulan. Selain itu, dia ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa.
Kesempatan itu datang juga tiga tahun lalu. Petra lantas masuk pendidikan mengemudi selama sebulan. Dia digembleng teori dan praktek. Sang ibu menentang habis pekerjaan barunya. Tapi begitu melihat dia sempat nongol di televisi sedang menolong orang, ibunda malah bangga.
Pilot ambulans wanita memang mendobrak dominasi laki-laki selama ini. Di 118 Jakarta, sekat cowok dan cewek sudah dicopot sejak tiga tahun lalu. Tapi bagi banyak orang, posisi ini hanya cocok dipegang pria. Separuh orang atau keluarga pasien yang ditemuinya masih memandang sebelah mata sopir ambulans wanita. Pernah sampai ada yang marah-marah. "Mereka bilang, pantesan telat, sopirnya perempuan," kata Petra. Padahal, "Saya cuma butuh sepuluh menit sampai ke lokasi."
Petra mengaku hanya bisa sabar menghadapi hal-hal semacam itu. Biasanya, dia membuktikan kecekatannya mengemudi sewaktu membawa pasien. Orang-orang yang tadi mencemooh biasanya melongo begitu tahu dia bisa nyetir cepat, tapi aman. Yang tadi memaki, langsung meminta maaf.
Tapi, menurut Petra, banyak juga yang memuji. Bila sedang membawa mobil, hampir semua orang melihat ke arahnya. Mungkin heran, bisa juga berdecak kagum. "Ada yang mengacungkan dua jempol ke arah saya," ujar komandan unit yang sehari-hari bertugas di wilayah timur Jakarta itu.
Kekaguman itu justru pernah berbuah cinta. Petra mengaku pernah menjalin kasih dengan seseorang yang kagum dengan pekerjaannya. Perkenalan berawal ketika dia sedang menjaga kampanye sebuah partai pada 2004. Pria itu salah satu panitia penyelenggara. Tapi, "Akhirnya bubar," katanya tersenyum.
Pemegang gelar paramedis tiga ini--sudah melahap tak kurang dari 10 pelatihan-toh, masih tetap panik kalau membawa pasien gawat darurat, meski sudah tiga tahun membawa ambulans. "Takut ada apa-apa," ujar wanita, yang pernah dikirim ke Aceh membantu korban bencana tsunami itu.
Kemacetan masih menjadi hambatan utama mengemudikan ambulans di Jakarta. Yang lain, masih kurang pedulinya warga Ibu Kota, yang kerap kali dengan sengaja menghalang-halangi laju ambulans. Sirene sudah meraung-raung, toh mereka cuek bebek.
Padahal, "Kalau kami sampai membunyikan sirene, berarti bawa korban yang perlu penanganan segera rumah sakit," kata Petra, yang jebolan Akademi Keperawatan Sismadi, Jakarta. Menurut dia, menjadi sopir ambulans bukan untuk gagah-gagahan, tapi buat menolong orang.

oleh: STEPANUS S KURNIAWAN
KORAN TEMPO
Sabtu, 23 September 2006

Tidak ada komentar: