03 Juli 2008

Halo Motor Ambulans 118...

Mendung kelam menggelayut di langit Jakarta. Hari baru saja beranjak sore. Zaenuji, 25 tahun, asyik mengembuskan asap rokok filternya di pos polisi sambil nangkring di atas jok motor dinasnya yang terparkir di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan, tempat biasa mangkal.
Suara radio panggil di pinggang kemudian membuyarkan lamunannya. "Semua Ninja (kode untuk motor ambulans) segera merapat, ada 33L (tabrakan antarkereta) di Pasar Minggu," kata suara wanita di seberang radio panggil. Yang dimaksud adalah tabrakan antarkereta listrik Jakarta-Bogor pada 30 Juni lalu.
Zaenuji langsung memacu Kawasaki Ninjanya. Dia bukan polisi, apalagi tukang ojek. Ia adalah paramedis bermotor milik Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118. Mereka menyebutnya motor ambulans. Suara sirenenya menjerit-jerit. Sesekali meliuk-liuk di celah-celah mobil yang berjalan merayap di Jalan Raya Pasar Minggu.
Sepuluh menit kemudian, Zaenuji tiba di lokasi kejadian. "Pemandangannya sangat mengerikan," katanya. Apalagi ketika melihat korban Siti Mas'amah alias Bunga Citra Lestari. Ia terbujur tanpa kedua kaki, putus hingga pangkal paha. Sesekali merintih kesakitan.
Zaenuji langsung menancapkan jarum infus dan memasang alat bantu oksigen. Lantas dia membalut luka yang menganga di pangkal paha dengan kain untuk membendung darah yang masih mengucur deras. Bunga dibawa dengan mobil bak terbuka ke Rumah Sakit Pasar Rebo karena unit mobil belum tiba. Bunga bisa ditolong waktu itu, meski akhirnya maut menjemput tujuh hari kemudian.
Tim medis bermotor ini memang menjadi alternatif untuk menolong korban-korban yang membutuhkan bantuan kesehatan segera, semisal korban kecelakaan itu. Menurut Aryono D. Pusponegoro, ketua sekaligus pendiri Yayasan Ambulans 118, kehadiran unit motor merupakan solusi menghadapi kemacetan, terutama pada jam sibuk.
"Standar kami 10 menit sudah harus sampai ke lokasi kejadian karena pasien kondisi gawat darurat masih bisa diselamatkan dalam hitungan waktu itu," kata Aryono kepada Tempo. "Unit mobil kami sangat sulit mencapainya kalau Jakarta lagi macet-macetnya," ujarnya.
Motor ambulans, kata guru besar Universitas Indonesia itu, pertama kali menghiasi jalan-jalan di kota metropolitan ini pada 1997. Indonesia yang memelopori kehadiran unit gawat darurat roda dua ini di dunia. Tapi hanya hitungan bulan beroperasi. Sebab, kekurangan tenaga paramedis.
Baru pada akhir 2003 motor ambulans kembali melayani masyarakat Jakarta. Motor mereka, yang merupakan sumbangan dari sebuah perusahaan itu, baru 12 unit. Sebanyak 10 unit disebar di lima wilayah Jakarta. Sisanya berjaga-jaga di kantor pusat Ambulans 118 di kawasan Sunter, Jakarta Utara.
Sebetulnya untuk Jakarta belum cukup dengan jumlah motor itu. "Idealnya sih Jakarta butuh 50 motor, tapi uang untuk membelinya dari mana?" kata Aryono.
Aryono menjelaskan, kru motor ambulans harus sudah menyandang Paramedik 3, atau sudah melewati berbagai pelatihan, seperti jantung dan bencana alam. Terakhir, penyelamatan korban dalam situasi perang. "Paling tidak butuh waktu tiga tahun untuk melahap semua pelatihan itu," ujarnya.
Peralatan yang dibawa motor ambulans sudah standar gawat darurat internasional. Contohnya tabung oksigen dan alat bantu jalan pernapasan, infus dan cairannya, obat-obatan jantung, termasuk alat suntiknya dan penyangga leher, juga kotak gawat darurat, antara lain gunting, perban, dan alkohol.
Setiap hari, rata-rata motor ambulans melayani 10 panggilan, sedangkan unit mobil 75 panggilan. Rendahnya permintaan karena belum semua orang tahu soal layanan gawat darurat ini. Akibatnya, ambulans ini banyak ngejogrok alias nganggur di pos-pos mereka.
Sejumlah penduduk Jakarta yang ditemui Tempo malah mengaku tidak tahu adanya layanan ini. "Apa mereka akan datang kalau kami panggil?" tanya Adi, seorang karyawan swasta, mengomentari keberadaan yayasan yang didirikan Ikatan Ahli Bedah Indonesia pada 1970-an itu.


oleh: SS KURNIAWAN
KORAN TEMPO
Sabtu, 3 Desember 2005

Tidak ada komentar: