07 Juli 2008

Nasib Karyawan Ambulans

Kehidupan para personel ambulans sama daruratnya dengan pelayanan yang mereka berikan. Selain belum menerima gaji selama enam bulan, mereka juga tidak mendapat tunjangan apa pun, termasuk tunjangan kesehatan.
Ada yang begitu miskinnya sehingga tidak sanggup membayar layanan kesehatan ketika sakit. Simaklah cerita Nita (28), paramedis di Ambulans Gawat Darurat (AGD) 118. Ia terpaksa mengaku sebagai gelandangan demi mendapat pengobatan gratis.
Suatu ketika, suami Nita sakit. Karena mereka tidak memiliki tunjangan kesehatan, Nita berharap sakit suaminya dapat dibiayai pemerintah melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK-Gakin).
Program milik Dinas Kesehatan DKI Jakarta ini mensyaratkan, penerima JPK-Gakin harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta. Padahal, Nita dan suaminya berdomisili di Depok, Jawa Barat. ” Saya minta surat keterangan miskin ke RT/RW di Jakarta mengaku sebagai gelandangan,” tutur Nita.
Nasib Japistar (38) setali tiga uang. Karena gajinya belum dibayar, dia terpaksa mengandalkan gaji Raida, istrinya, yang bekerja sebagai suster di sebuah rumah sakit di Bekasi.
Japistar mengaku, penghasilannya sebulan sekitar Rp 2,179 juta. Uang itu tidak cukup untuk menghidupi istri dan tiga anaknya. ”Kami selalu berkeringat dingin, pusing (karena gaji tidak cukup),” kata laki-laki yang telah bekerja sebagai petugas AGD 118 sejak tahun 1988.
Saking hematnya, Japistar sampai tidak bisa membeli baju. ”Baju seragam putih yang saya pakai ini hanya satu. Kalau pulang, langsung dicuci agar bisa dipakai besoknya,” tambah dia.
Kalau Japistar masih punya pemasukan, lain lagi dengan Octaria (28). Kebetulan Octaria dan suaminya sama-sama bekerja di AGD 118. Karena dana pemerintah belum turun untuk pembayaran honor mereka, Octaria dan suaminya sama sekali tidak punya uang untuk menghidupi keluarga.
Sekarang Octaria sedang hamil. Untuk berhemat, ia mengurangi jatah minum susu yang biasanya tiga kali sehari menjadi satu kali sehari. Karena tidak ada penghasilan, ekonomi keluarga Octaria pun menjadi tanggungan orangtua.
Nasib Arsyad (50), karyawan bagian mekanik AGD 118, mungkin lebih apes dibandingkan dengan teman-temannya. Pasalnya, istrinya hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak punya penghasilan. Untuk membiayai hidup istri dan tiga anaknya, Arsyad terpaksa berutang kepada tetangga, teman, dan orangtua. Kadang dia juga mencari tambahan dengan bekerja sambilan di bengkel.Bagaimana bisa berkonsentrasi menyelamatkan orang bila keluarga sendiri saja tidak mampu diselamatkan.


oleh: Budi Suwarna/Lusiana Indriasari/Ilham Khoiri
KOMPAS
Minggu, 29 Juni 2008

Tidak ada komentar: