03 Juli 2008

Cewek Ambulans Memburu Panggilan

Sirene itu menjerit-jerit di tengah guyuran hujan lebat. Sebuah ambulans terjepit di kemacetan lalu lintas Jakarta sore itu. Klakson pun dinyalakkan untuk mendapatkan celah jalan. Suratinah harus memacu mobilnya ke lokasi tabrakan kereta api di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Suratinah seorang wanita berumur 26 tahun. Mobil ambulans yang dikemudikan boleh dibilang selalu berjalan zigzag menerobos kemacetan. "Degdegan kalau ada panggilan darurat," katanya. Sudah dua tahun Suratinah menjadi sopir ambulans Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118 Jakarta.
Suratinah juga dijuluki pilot. Ia salah satu pilot dari 25 cewek di sana. Sebelum diangkat menjadi sopir, Suratinah yang bergabung dalam Tim 118 pada 1998 itu lebih dulu menjadi kru ambulans.
Hasrat menjadi sopir terus menggelora semenjak ikut pendidikan mengemudi (defense driving). Memasuki awal 2003, barulah lembaga tempatnya bekerja mengizinkan wanita menjadi "pilot ambulans". "Kami ingin perempuan sama dengan pria," kata Asti Puspitarini, juru bicara 118. Gaji mereka sekitar Rp 900 ribu per bulan.
Kisah kepiawaian mereka diperlihatkan ketika mantan presiden Abdurrahman Wahid jatuh sakit di kantor Pengurus Besar NU di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Tiga mobil ambulans Tim 118 meluncur, termasuk yang dikemudikan Suratinah.
Suratinah yang pertama tiba. Setelah memberi pertolongan singkat, pasien yang kerap dipanggil Gus Dur itu langsung dilarikan ke RS Cipto Mangunkusumo. Waktu itu Gus Dur tidak sampai menjalani rawat inap. "Beliau mengucapkan terima kasih," kenang Suratinah yang mengaku sempat bersalaman dengan Gus Dur.
Ambulans 118 sudah dikenal. Paramediknya digembleng oleh ahli-ahli pertolongan asal Jepang dan Amerika Serikat. Setiap tiga bulan mereka memperoleh pendidikan tambahan, seperti penanganan korban berpenyakit jantung dan bencana alam.
Menurut Any Sumarny, sopir cewek lainnya, kemacetan di Jakarta menjadi kendala paling merepotkan. Peraturan mengharuskan sopir Tim 118 tiba di lokasi paling lama 10 menit sejak perintah diterima. Gara-gara macet, waktu tempuh bisa molor 20 menit.
"Begitu tahu sopirnya cewek, baru diberi jalan," ujar Any mengisahkan pengalamannya di jalan menerima simpati orang.
Ungkapan simpati juga datang saat tiba di rumah sakit. Satpam langsung membantu dengan memberi aba-aba tatkala ambulansnya hendak parkir.
Any merasa, cewek menjadi sopir ambulans masih dipandang sebelah mata. Keluarga pasien, kata Any mencontohkan, awalnya meragukan kemampuannya. Keraguan itu membuat Any bersemangat menunjukkan kebolehannya menyetir. "Kalau sudah begini baru pada mengacungkan jempol," ujar lulusan Akademi Perawat Departemen Kesehatan Jakarta ini.


oleh: SS KURNIAWAN
KORAN TEMPO
Sabtu, 3 September 2005

Tidak ada komentar: