03 Juli 2008

Malaikat Penolong di Jalan

Pagi yang terik tiga bulan lalu. Maruloh dan seorang rekannya sesama paramedis sedang dalam perjalanan menuju kantor mereka setelah menghadiri rapat di Jakarta Convention Center.
Lewat di depan Plaza Senayan, Jakarta Selatan, mereka menyaksikan orang berkerumun. Di trotoar, sesosok laki-laki muda tergeletak berlumuran darah. Di sebelahnya sebuah sepeda motor tergolek dan ringsek. Laki-laki tadi baru mengalami kecelakaan.
Tanpa pikir panjang, Maruloh dan rekannya menghentikan ambulans mereka dan bergegas mendekat. Setelah mengenakan perlengkapan perlindungan diri, kedua orang itu dengan cekatan memeriksa kondisi korban.
Korban diketahui mendapat luka terbuka di kepala, telinga mengeluarkan darah, muntah, dan pingsan. "Berdasarkan fakta ini, saya menduga tulang leher korban patah," ujarnya.
Pertolongan gawat darurat segera diberikan. Leher korban diberi penyangga, pasokan oksigen dialirkan, dan semua luka terbuka ditutup. Tak sampai 10 menit, setelah korban dinilai cukup stabil, Maruloh melarikan laki-laki malang tadi ke Rumah Sakit Pertamina.
Setelah dirawat beberapa jam, kabar baik datang, nyawa laki-laki tadi bisa diselamatkan. Mendengar itu, Maruloh bersyukur dan bergegas menuju kantornya di Sunter, Jakarta Utara, tanpa meminta bayaran. "Korban kecelakaan lalu lintas akan kami tangani secara gratis," kata dia.
Itulah sebagian tugas mulia yang diemban paramedis Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118. Profesi paramedis serupa tapi tak sama dengan perawat. Sementara perawat bertugas merawat pasien yang telah ditangani dokter, paramedis bertugas memberi pertolongan pertama pasien gawat darurat, dan membawanya ke rumah sakit.
Maruloh menuturkan paramedis juga awalnya seorang perawat. Setelah selesai menempuh pendidikan di akademi keperawatan atau sekolah perawat kesehatan, calon paramedis mendapat pendidikan selama dua bulan di Yayasan. Materinya terutama mengenai penanganan pasien gawat darurat.
Lepas dari pendidikan tersebut, seorang paramedis dinilai siap memberi pertolongan pertama bagi korban kecelakaan, stroke, serangan jantung, sesak napas, bahkan membantu kelahiran.
Biaya yang dibebankan Yayasan kepada pemohon ambulans hanya Rp 200 ribu untuk satu kali hantaran di wilayah DKI Jakarta. Bahkan, kata dia, untuk warga yang bisa menunjukkan surat keterangan tidak mampu, pelayanan ambulans diberikan gratis. Semua biaya warga miskin ditanggung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Oleh Yayasan, Maruloh, yang telah memegang jabatan sebagai Wakil Komandan Wilayah Jakarta Selatan, digaji Rp 1,25 juta setiap bulan. Pendapatan ini bisa bertambah jika ada lembur, perjalanan dinas ke luar kota, memberi pelatihan penanganan gawat darurat, atau tip dari pasien.
Yayasan membagi jam kerja paramedis ke dalam dua shift sehari semalam. Masing-masing mendapat jatah selama 12 jam. Dalam kesehariannya, paramedis tidak berkantor, tapi mangkal di pos-pos ambulans, yang disebar di lima wilayah DKI Jakarta.
Khusus untuk Jakarta Selatan, kata dia, pos ambulans antara lain ada di Jalan Fatmawati, Tanjung Barat, Kuningan, dan Kantor Wali Kota Jakarta Selatan. Biasanya mereka juga bergabung dengan aparat kepolisian dan petugas pemadam kebakaran dalam sistem penanganan gawat darurat terpadu.
Sembilan tahun bekerja sebagai paramedis, Maruloh telah menjelajahi banyak wilayah bencana. Beberapa di antaranya wilayah gempa bumi di Bam, Iran, tsunami di Aceh, dan gempa bumi di Yogyakarta. "Di daerah bencana, tugas kami menyisir lokasi bencana dan mengevakuasi korban," ujar laki-laki 29 tahun ini.
Tentu saja tidak cuma pengalaman manis yang dikecap paramedis. Lima tahun lalu contohnya, Maruloh pernah gagal menyelamatkan nyawa seorang pasien gagal jantung. Ada kemungkinan penyebabnya, kata dia, adalah keterlambatan penanganan.
Seharusnya, sesuai dengan standar yang ditetapkan Yayasan, paramedis maksimal telah tiba di lokasi dalam 8-10 menit. Tapi ketika itu, Maruloh tengah berada di Rumah Sakit Graha Medika, Jakarta Barat. Sedangkan pasien berada di Ciledug, Tangerang. Butuh waktu 30 menit untuk tiba di sana.
Tiba di lokasi, ia menemukan kondisi korban sudah sangat payah. Upaya mengaktifkan kembali detak jantung telah dicoba dengan berbagai cara dan alat. Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain, nyawa pasien tersebut tidak dapat diselamatkan. "Saya cukup terpukul dengan kejadian itu," ucap Maruloh.
Maruloh mengaku cukup mantap dengan profesinya saat ini. Tidak ada keinginannya untuk beralih profesi atau pindah ke tempat lain. Malah, untuk meningkatkan potensi diri, ia kini meneruskan kuliah sarjana jurusan manajemen rumah sakit.
Cuma, ia punya sedikit keluhan mengenai kondisi pos yang kurang memadai. "Sebaiknya ada tempat istirahat dan MCK yang baik," ujarnya lagi.


oleh: EFRI RITONGA
KORAN TEMPO
Minggu, 23 Juli 2006

Tidak ada komentar: