07 Juli 2008

Darurat! Darurat!

Ambulans Gawat Darurat atau AGD 118 di Jakarta keadaannya benar-benar darurat. Dari 92 mobil ambulans, hanya 25 ambulans yang bisa jalan. Itu pun sering mogok. Paramedis dituntut bisa menyelamatkan pasien sekaligus menjadi montir bagi ambulans yang bermasalah di jalan.
Kondisi ini ironis karena AGD 118 milik Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta ini menjadi andalan masyarakat dalam hal layanan darurat. Maklum, dibandingkan dengan institusi lain, AGD 118 memiliki ambulans paling banyak. Rumah sakit, misalnya, rata-rata memiliki dua unit ambulans saja.
Dengan sarana serba darurat inilah para petugas ambulans bekerja. Tentu saja banyak pengalaman tidak enak yang mereka alami akibat kondisi ambulans yang buruk.
Umairoh (31) atau akrab disapa Umi, paramedis AGD 118, misalnya, pernah menghadapi kenyataan ban ambulansnya pecah ketika membawa pasien gawat di daerah Pluit, Jakarta Utara.
Perempuan itu segera menepikan kendaraan ambulans. Dia kemudian turun dan mengganti ban. Sementara temannya yang lain berjuang memberi napas buatan kepada pasien yang sedang megap-megap.
”Tidak ada yang membantu. Semuanya dikerjakan sendiri,” kata Umi. Setiap kali bertugas, Umi dan paramedis lainnya juga harus mengecek sendiri kondisi kendaraan, seperti busi, aki, oli, dan minyak rem.
Ludy Hardiyant (27) juga pernah kelabakan menangani pasien kritis di ambulans. Ketika pasien butuh oksigen, alat bantu pernapasan tidak bisa digunakan karena selangnya bocor. ”Sepanjang jalan, saya hanya bisa berdoa, semoga dia (pasien) bisa bertahan hidup,” kenangnya.
Sejak dibentuk pada 1973, kondisi AGD 118 semakin kritis. Dulu AGD 118 dikelola Yayasan AGD 118. Karena konflik internal, AGD 118 akhirnya diambil alih Dinkes DKI Jakarta.
Ketika diserahkan ke Dinkes DKI Jakarta tahun 2006, masih ada 33 ambulans yang bisa jalan. Dua tahun kemudian, pada tahun 2008, jumlah ambulans yang bisa beroperasi tinggal 25 ambulans. Setelah tidak lagi mengelola, Yayasan AGD 118 kini hanya memberi pelatihan kegawatdaruratan.
Rongsokan
Puluhan ambulans yang rusak itu teronggok di halaman markas AGD 118 di Sunter, Jakarta Utara. Mobil bercat putih-hijau yang dulu dibeli dengan harga Rp 300 juta-Rp 600 juta itu sebagian bahkan sudah menjadi rongsokan.
Kerusakan ambulans bermacam-macam. Sebagian besar ambulans itu bannya bocor. Beberapa lagi sudah tidak ada bannya. Ambulans yang lain bodinya penyok dan berkarat, kacanya pecah, dan rotator rusak, dan lain-lain.
”Kami sudah mengajukan anggaran ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi dananya belum turun,” kata Muji Artono, Koordinator Pelayanan AGD 118.
Menurut John Marbun, Kepala Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), badan yang dibentuk Dinkes DKI Jakarta untuk mengelola AGD 118, anggaran yang disediakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk AGD 118 setiap tahunnya Rp 4 miliar. Sementara itu, pendapatan dari operasional ambulans yang bisa dikumpulkan AGD 118 sebesar Rp 3,8 miliar.
Pasien yang ingin menggunakan jasa layanan AGD 118 dikenai biaya bervariasi, tergantung jarak. Untuk jarak paling dekat, biaya ambulans minimal Rp 200.000.
Karena tidak dirawat, ambulans yang masih ”sehat” satu per satu menjadi rusak. Agar tetap beroperasi, perbaikan dilakukan dengan cara kanibal. Mobil yang sudah rusak diambil onderdilnya lalu dipasang di mobil lain yang masih ”sehat”. ”Jadi mobil yang rusak semakin rusak,” kata Arsyad, mekanik ambulans.
Gedung berlantai tiga yang digunakan sebagai markas ambulans tidak kalah memprihatinkan. Gedung yang dipakai sejak tahun 1980-an ini tidak terawat. Catnya banyak yang mengelupas. Debu dibiarkan menempel di mana- mana dan lantainya kusam. Sebagian besar WC di gedung itu juga mampet.
Kondisi darurat semakin tampak di ruang Alarm Room. Tidak tampak kesibukan luar biasa di ruangan yang berfungsi menerima panggilan darurat itu. Ternyata sambungan telepon di ruangan tersebut tidak bisa berfungsi optimal.
Salah satu saluran telepon bahkan sudah dicabut karena menunggak tagihan. Sementara itu, saluran telepon lain rusak. ”Di sini hanya ada enam saluran telepon,” kata Umi, paramedis yang juga menjadi penanggung jawab Alarm Room. Dua tahun lalu masih terpasang enam belas saluran telepon.
Tidak semua panggilan yang masuk ke Alarm Room benar-benar butuh ambulans. Umi bercerita, banyak telepon iseng ke AGD 118. Dalam sehari, rata-rata jumlah telepon iseng ini mencapai 100 panggilan. ”Ada yang minta kenalan atau iseng ngerjain teman dengan memanggil ambulans,” kata Umi.
AGD 118 babak belur kekurangan dana. Dengan dana terbatas, ambulans ini melayani sekitar 11 juta penduduk Jakarta. Karena kondisinya tidak prima, mobil ambulans terseok-seok menyusuri wilayah Jakarta yang luasnya mencapai 661,52 kilometer persegi.
Jakarta terbagi menjadi lima wilayah. Setiap wilayah hanya mampu dilayani lima ambulans karena hanya tersedia 25 ambulans yang operasional. Ambulans ini siaga di kantor wali kota, pos polisi, pemadam kebakaran, rumah sakit, dan puskesmas. Idealnya untuk seluruh Jakarta harus ada 200 ambulans.
Karena segalanya serba darurat, jangan heran apabila ambulans baru datang setelah pasien megap-megap. Di Jakarta, waktu bagi ambulans merespons panggilan darurat minimal 30 menit. Bahkan seringkali ambulans baru datang setelah lebih dari satu jam.
”Padahal penanganan kegawatdaruratan di lokasi kejadian adalah kuncinya. Pasien bisa selamat atau terhindar dari cacat bila secepatnya mendapat pertolongan pertama,” kata Aryono Djuned Pusponegoro, Ketua Yayasan Ambulans Gawat Darurat Terpadu 118.
Ambulans adalah sesuatu yang vital. Berdasarkan statistik kedokteran, 50 persen kematian pasien terjadi sebelum tiba di rumah sakit (pre-hospital).
Tahun 1999-2004, data kecelakaan di kepolisian mencatat, korban kecelakaan yang tewas sebanyak 1.753 orang, sedangkan data kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mencatat, jumlah korban kecelakaan yang tewas sebanyak 6.778 orang.
”Artinya, ketika polisi datang ke lokasi kejadian, sebagian korban kecelakaan masih hidup. Pada saat dievakuasi, korban hidup tadi sudah mati,” tutur Aryono.
Selain AGD 118 milik pemerintah, ada institusi lain yang memiliki ambulans, seperti rumah sakit, yayasan, dan organisasi swasta. Siloam Hospitals Karawaci, Tangerang, misalnya, memiliki dua mobil ambulans yang benar-benar komplet fasilitasnya, seperti alat monitor pasien, alat pacu jantung, dan ventilator. Rumah sakit ini juga memiliki dua ambulans helikopter. Tentunya dengan biaya selangit.Nah, bagi yang tidak mampu, di Jakarta juga ada fasilitas ambulans gratis yang disediakan Rumah Zakat. Lembaga tersebut memiliki tiga ambulans yang operasionalnya dibiayai dana zakat masyarakat.


oleh: Lusiana Indriasari/Budi Suwarna/ Ilham Khoiri
KOMPAS
Minggu, 29 Juni 2008

Tidak ada komentar: