11 Desember 2008

PANGGILAN PALSU

Pekerjaan yang paling menyebalkan sewaktu duduk di kursi operator adalah menerima telepon dari orang iseng. Biasanya, telepon yang beginian datangnya lepas tengah malam. Tak cuma jadi monopoli orang dewasa saja, sesekali suara telepon iseng di ujung sana juga berasal dari anak-anak.
Hanya, pernah ada telepon masuk yang ujung-ujungnya menipu kami mentah-mentah. Suatu siang di bulan November 2008, ada telepon datang dari seseorang yang mengaku staf klinik di bilangan Depok. Dia bilang ingin memindahkan perawatan anggota keluarganya dari klinik tersebut ke sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat.
Seperti biasa, sebelum meluncurkan unit ke sana kami mencari letak pasti klinik itu lewat peta elektronik. Tujuannya, untuk memudahkan unit mencapai titik sasaran. Kami juga mengontak rumah sakit tersebut untuk memastikan pasien sudah mendapat ruangan di sana.
Tapi, anehnya alamat klinik itu tidak terdapat di peta. Tapi, yang buat kami yakin mengirim unit ke sana lantaran rumah sakit membenarkan staf klinik itu sudah memesan kamar buat anggota keluarganya. Lagian, kami pikir mungkin peta belum meng-update keberadaan klinik tersebut.
Jadilah, ambulans kami yang sehari-hari nge-pos di kawasan Jakarta Selatan meluncur ke sana. Dan, betul saja yang kami khawatirkan terjadi. Ternyata klinik itu fiktif. Unit kami sudah mengubek-ubek alamat tersebut selama satu jam dan tanya-tanya ke warga sekitar tapi tidak ketemu juga.
Karuan saja saya dibuat gondok. Maklum, saya adalah penanggung jawab untuk regu operator yang dinas hari itu. Buruan saja saya kontak nomor telepon orang itu. Tapi ternyata, tidak nyambung-nyambung. Rupanya, lagi-lagi dia memberikan nomor palsu. Gila benar! Orang itu benar-benar niat dan mempersiapkan scenario untuk mengerjai kami.
Saya tidak habis pikir dengan orang iseng tersebut. Andai saja siang itu ada panggilan gawat darurat dan unit yang tersisa adalah ambulans yang menuju klinik fiktif itu. Bagaimana? Sebab, bisa saja nyawa orang lain melayang gara-gara kami ditipu mentah-mentah.


siang di kunciran

08 Desember 2008

OPERATOR AGD DKI


Sudah tiga bulan ini saya duduk di kursi operator. Istilahnya, naik ke Bela. Tugasnya, menerima telepon yang masuk dan menjawab suara di ujung telepon sana yang membutuhkan unit Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (AGD DKI).
Ya, semua paramedis di AGD mendapat giliran bertugas sebagai operator. Biasanya, sekitar tiga bulan. Tugas ini memang harus dilakoni paramedis. Sebab, kami tidak sekadar menerima telepon dan meneruskannya ke unit-unit ambulans yang sedang berjaga.
Operator juga memberikan panduan-panduan. Semisal, kalau ada panggilan darurat kecelakaan lalu lintas dengan korban parah. Kami akan memberikan meminta penelpon untuk tidak memindahkan korban sampai ambulan tiba di lokasi.
Soalnya, kalau ternyata korban mengalami patah leher, upaya pemindahan yang tidak benar bisa menyebabkan kematian. Itu sebabnya, tugas operator mesti dijalani seorang paramedis yang juga akan memandu penelpon melakukan pertolangan pertama kepada korban.
Operator AGD DKI siaga 24 jam penuh. Tinggal tekan 118 saja. Nomor ini bisa diakses gratis, baik melalui telepon rumah maupun genggam yang memakai kartu keluaran Telkomsel. Atau, kami bisa dihubungi di nomor: 021-65303118.
AGD DKI Selamat Pagi, Siang dan Malam...


malam di kunciran

04 Desember 2008

CINTA PROFESI

Ini salah satu kisah pahit yang pernah saya bersama sekitar 300 rekan kerja lainnya sewaktu menjadi paramedis Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Kami pernah sempat tidak mendapat gaji selama enam bulan berturut-turut, sepanjang Januari sampai Juni di 2007 dan 2008.
Kejadian tahun lalu kami sangat mafhum. Ketika itu kami sedang masa transisi setelah lepas dari Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118. Hebatnya, selama enam bulan itu kami tidak memiliki pemimpin lantaran Dinas Kesehatan belum betul-betul mengambil alih pengelolaan Ambulans Gawat Darurat. Tapi, operasional tetap jalan seperti biasa.
Sedang yang tahun ini, awalnya kami maklum alasan penundaan pembayaran gaji karena anggaran yang belum turun dari Pemerintah DKI. Kejadian yang sama juga dialami pegawai harian lepas dan kontrak di dinas-dinas lainnya seperti Dinas Pemadam Kebakaran. Biasanya, bulan ketiga akan menerima rapelan dari Januari.
Tapi ternyata, bulan ketiga, keempat, kelima dan keenam lewat, rapelan yang dijanjikan tak kunjung datang. Harapan itu datang setelah Liputan Enam Siang SCTV memuat wawancara salah satu rekan kami yang menyatakan paramedis Ambulans Gawat Darurat DKI Jakarta belum menerima gaji selama enam bulan. Dan, benar saja gaji pun turun.
Meski gaji selalu datang terlambat, tak banyak dari kami yang mundur dari Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI. Paling hanya segelintir orang saja. Bahkan, ada yang menolak tawaran gaji tiga sampai empat kali lipat asal mau bekerja di tempat lain. Mungkin, kami sudah terlalu cinta dengan profesi ini.


malam di kunciran

24 November 2008

MUSUH UTAMA

Kemacetan menjadi musuh utama sewaktu kami menjalani tugas. Yang kedua, pengguna jalan raya yang enggan memberi kami jalan. Ini bukan sekali dua kali saya alami. Makanya, maaf-maaf saja kalau sering keluar kata-kata tidak menggenakkan dari mulut saya. Hehehe.
Tapi, saya terpaksa melakukan itu, mungkin juga teman-teman seprofesi lainnya. Sebab, ini menyangkut nyawa orang lain. Dan sebetulnya, sangat keterlaluan bagi siapa saja yang dengan sengaja menghalang-halangi atau tidak mau minggir ketika ambulans dengan suara sirene yang meraung-raung ada di belakangnya.
Seperti yang pernah saya alami ketika akan menjemput pasien dalam kondisi merah di sebuah perumahan di bilangan Jakarta Selatan. Waktu itu ada pengendara motor yang tidak mau minggir, malah dengan santainya berjalan pelan. Sirene sudah menjerit-jerit ditambah klason yang ikut menyalak, tapi bikers itu tetap cuek.
Begitu ada kesempatan menyalip itu motor, rekan saya yang membawa ambulans langsung memepetnya. Saya langsung buka kaca sambil berteriak marah. Setelah itu ambulans langsung tancap gas. Nguing…nguing…nguing…
Tapi, di lain kesempatan pernah ambulans yang saya awaki terpaksa menyenggol pantat motor lantaran ndablek tidak mau memberi kami jalan. Ketika itu, sedang lampu merah, tapi ada sedikit ruang buat kami lewat dengan memakai sebagian badan trotoar. Tapi, biker itu dengan cuek-nya tidak mau meminggirkan motornya padahal ada ruang cukup luas di sebelah kanannya.

Asal tahu saja, kami tidak akan pernah meminta jalan apalagi sok-sokan dengan menyalakan sirene bila keadaannya tidak gawat darurat. Ini sudah menjadi prosedur tetap Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Lagian, Peraturan Pemerintah Nomor 43/1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan menyebut, pemakai jalan wajib mendahulukan mobil pemadam kebakaran dan ambulans yang sedang bertugas.

sore di kunciran

12 November 2008

TANGIS BAYI

Tangis bayi yang baru berumur dua hari itu pecah di dalam ambulans yang saya awaki di medio 2006 lalu. Ini sebuah mukjizat sebab sudah dua hari orok tidak pernah menangis.
Begitu lahir di sebuah rumahsakit di bilangan Jakarta Timur memang bayi itu sempat menangis. Tapi, setelah itu dia terdiam. Makanya, dokter yang merawatnya memerintahkan orok malang tersebut dirawat secara intensif di ruangan ICU.
Tapi, tak ada tempat lagi buat si bayi di ICU rumahsakit itu. Terpaksa, orang tuanya harus memindahkan dia ke rumahsakit lain, juga di daerah Jakarta Timur. Karena itu, mereka mengontak Ambulans 118 untuk membantu pemindahan anaknya.
Jujur, saya bersama rekan sempat tidak enak hati meminta biaya ke orang tua bayi tersebut lantaran jarak rumahsakit yang dituju hanya sepelemparan batu. Paling lima menit juga sampai. Makanya, saya bilang baik-baik ke orang tua baik kalau sebetulnya kami tidak ingin memungut biaya sepeser pun. Cuma, lantaran tugas ini atas perintah kantor kami tidak bisa mengelak. Mereka pun memahami perasaan kami.
Setelah semua urusan administrasi beres, ambulans pun meluncur ke rumahsakit tujuan. Tak lama kemudian mukjiizat itu terjadi, sang bayi menangis hebat. Kami sempat dibuat terbengong-bengong melihat keajaiban ini.
Mukjizat ini yang membawa bayi itu cukup menjalani perawatan di ruang biasa. Tidak perlu sampai di ICU segala. Mungkin ini jawaban Tuhan atas perasaan saya dan rekan yang sempat tidak enak hati itu karena jarak yang pendek tapi tetap ditarik biaya.
Si orang tua bayi memang mesti keluar ongkos ambulans, tapi mereka tidak perlu lagi mengeluarkan biaya yang berlipat-lipat lagi untuk perawatan anaknya di ruang ICU.
Sebelum kami meninggalkan rumahsakit tersebut, ayah sang bayi mengucapkan banyak-banyak terima kasih ke kami. Bahkan, dia meminta kami untuk memberi nama pada anaknya. Tapi, permintaan ini kami tolak. Dalam hati saya hanya bisa berbisik:
Terima Kasih Tuhan.


malam di kunciran

10 November 2008

TABRAKAN MAUT

Masih ingat kejadian mobil Honda Jazz yang ditumpangi seorang penyanyi muda menghajar ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta di Jalan Sisingamangaraja, Jakarta, awal Juni lalu. Peristiwa ini ramai diberitakan infotaiment ketika itu.
Jujur, kasus kecelakaan tersebut menjadi salah satu alasan saya melahirkan blog
Catatan Harian Paramedis. Kalau saja warga Jakarta atau orang lain yang kebetulan sedang berada di daerah khusus ibukota ini tahu keberadaan kami, tugas kami, pastilah kejadian tabrakan maut itu tidak terjadi.
Begitu juga dengan peristiwa yang saya alami tahun ini, hanya beberapa pekan sebelum tabrakan yang akhirnya menewaskan pasien yang sedang dibawa ambulans naas tersebut.
Di suatu siang, ambulans yang saya awaki diseruduk motor dari samping ketika membawa pasien yang butuh penanganan segera di rumah. Sirene sudah meraung-raung dan lampu mobil depan menyala—ini tanda kami sedang mengangkut pasien dalam kondisi merah—bahkan polisi sudah meminta mobil dan motor berhenti untuk memberi kesempatan ambulans lewat. Tapi, kenyataannya masih juga ada orang yang nekad sampai-sampai menabrak ambulans kami.
Sebelumnya, ambulans yang saya awaki nyaris saja dihajar mobil yang melaju kencang di jalur busway. Waktu itu, ambulans saya sedang memutar arah untuk menjemput pasien. Setelah menengok kanan-kiri dan tak ada gelagat busway mau lewat, kami pun tancap gas. Tiba-tiba datang dari arah kiri mobil. Kalau saja si sopir tidak cekatan, pastilah: brak…. Sedan itu menghantam kami.
Jadi, Beri Ambulans Gawat Darurat Jalan!


sore di kunciran

06 November 2008

ANAK ANGKAT

Saya berusaha sekuat mungkin menahan supaya air mata ini tidak jatuh. Soalnya, kata-kata yang meluncur dari mulut ibu itu betul-betul membuat saya terharu. “Put, mau tidak menjadi anak angkat saya?,” katanya mantap suatu siang di 2006.
Perempuan paruh baya yang hampir membuat saya menangis haru itu adalah orang yang sering kami antar dengan ambulans untuk berobat rutin ke rumah sakit. Entah kenapa, si ibu lebih senang kalau saya yang mendampinginya sewaktu kontrol. Setiap kali ingin ke rumah sakit, dia selalu meminta ambulans yang diawaki saya.
Ibu tadi tinggal sendiri di sebuah rumah besar dan mewah di daerah Jakarta Selatan. Anak-anaknya sudah menikah dan memilih tidak tinggal satu atap lagi dengan bunda mereka. Mungkin merasa kesepian, dia meminta saya menjadi anak angkatnya. Tapi, saya tidak tahu atau bertanya ke ibu itu: kenapa memilih saya?
Tugas membawa saya harus masuk kandang. Maksudnya, BELA. Saya kena giliran naik ke operator. Bekerja di balik meja, menerima telepon yang masuk. Jadi, tak bisa lagi memenuhi permintaan ibu tadi untuk mendampinginya kala cek up rutin ke rumah sakit.
Begitu kembali ke lapangan, saya tidak pernah lagi mendapat perintah dari BELA untuk mengantar ibu tersebut control rutin. Bisa jadi, dia sudah betul-betul sembuh. Tapi, tawaran menjadi anak angkat itu masih membekas sampai sekarang.


sore di kunciran

30 Oktober 2008

RESIKO TUGAS

Setiap pekerjaan selalu ada resiko. Bahkan, resiko yang berujung pada kematian sekalipun. Tak terkecuali paramedik. Resiko ini selalu mengintip saban kali kami menjalani tugas. Apa yang saya alami hanya salah satu contoh saja.
Kejadiannya sewaktu kami menolong korban luka dalam kecelaakaan kereta api di Stasiun Kebayoran Lama, pada Maret 2006 lalu. Jumlah korban yang banyak, sedang ambulans yang tiba di lokasi baru tiga unit, memaksa kami mengangkut lebih dari satu pasien dalam satu mobil.
Tapi, ketika ambulans akan bergerak menuju rumahsakit terdekat, seorang korban berbuat ulah. Dia berteriak lantang sambil menuduh semua korban akan dimintai duit begitu tiba di rumahsakit. Kontan saja, pernyataan itu menyulut kemarahan orang-orang yang ada di lokasi kecelakaan. Puluhan orang langsung mengepung ambulans kami.
Untung saja, seorang teman langsung bertindak cepat. Dengan berteriak keras bak petir di siang bolong, dia bilang pertolongan yang kami berikan cuma-cuma alias gratis. Dan, meminta korban yang memfitnah kami untuk turun kalau tidak mau dibantu.
Korban lain yang sudah ada di dalam mobil kompak membenarkan pernyataan teman saya tadi, kalau ambulans ini memberikan pelayanan gratis. Mendengar itu, orang-orang yang tadi mengepung ambulans kami berangsur-angsur membubarkan diri dan memberi jalan.
Nasib saya masih lebih baik. Dua kawan lainnya mesti babak belur lantaran digebukin sewaktu hendak menolong korban kecelakaan di sekitar Pasar Senin. Sudah bonyok, dompet, sepatu dan hape lenyap. Gilanya lagi, massa yang beringas nyaris saja membakar ambulans. Beruntung, ada pegawai Pemda DKI yang melintas dan langsung menyelamatkan ambulans.
Teman yang bertugas mengantar pasien dari sebuah rumahsakit di Jakarta Timur ke rumahsakit lainnya di daerah yang sama harus dapat makian plus tamparan dari keluarga pasien. Alasannya, ambulans yang teman saya bawa lelet. Padahal, jarak yang jauh plus macet ditempuh dalam tempo 15 menit dan pasien juga tidak dalam kondisi gawat.
Tapi, ini semua resiko yang mesti kami tanggung, meski nyawa menjadi taruhan. Hanya, yang saya sesalkan semua itu terjadi lantaran mereka tidak tahu apa yang telah, akan dan terus kami perbuat untuk menolong orang. Tanpa pamrih. Tanpa pamrih.


siang di kunciran

28 Oktober 2008

SEBUAH MUKJIZAT

Ini yang biasa disebut orang mukjizat. Kejadian persisnya kapan? Saya lupa. Tapi yang pasti di medium 2006 lalu. Seperti biasa, pekerjaan diawali dari dering telpon yang berasal dari Bela. Perintahnya, meluncur ke rumahsakit di kawasan Jakarta Selatan untuk membawa pasien jantung yang sedang tak sadarkan diri ke rumah sakit khusus jantung.
Begitu tiba di rumah sakit, dokter yang merawat meminta kami untuk segera membawa pasien tersebut. Tapi, permintaan tersebut kami tolak lantaran keluarga korban masih mengurus administrasi kepindahan. Kelihatannya si dokter khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk karena pasien sudah tak sadarkan diri, pikir saya waktu itu.
Setelah keluarga menyelesaikan urusan administrasi, pasien yang tidak sadarkan diri itu kami bawa ke ambulans. Saya langsung memasukkan selang oksigen ke lubang hidung pasien dengan kadar yang lebih tinggi ketimbang yang diberikan pihak rumahsakit.
Mukjizat. Puji Tuhan. Tak lama setelah ambulans kami meluncur, pasien lelaki paruh baya itu tersadar. Bahkan, sempat mengucapkan terima kasih ketika kami akan meninggalkan rumah sakit khusus jantung yang akan melakukan perawatan lanjutan pasien tersebut. Terima kasih Tuhan.
Cerita ini cuma salah satu contoh mukjizat yang terjadi ketika saya bertugas. Masih ada lagi. Dan banyak lagi mukjizat lain yang dialami teman-teman rekan seprofesi saya. Tentu sebuah kebanggaan bisa menolong orang, apalagi sampai menyelamatkan nyawa seseorang.


sore di kunciran

21 Oktober 2008

KONDISI MERAH

Suatu siang di 2008, saya mendapat perintah untuk segera meluncur ke sebuah rumahsakit di kawasan Jakarta Selatan. Ada tugas untuk membawa pasien bayi dengan kondisi “merah” alias gawat dari rumahsakit tersebut ke rumahsakit lain di daerah Jakarta Timur.
Soalnya, dokter di rumahsakit itu sudah angkat tangan. Tapi, anehnya mereka tidak melakukan tindakan apapun terhadap si bayi yang memang keadaannya sudah kritis sebelum di bawah ke rumahsakit tersebut.
Sang dokter malah menganggap kami nekad lantaran berani membawa si orok ke rumahsakit yang jaraknya lumayan jauh. Sebab, bukan tidak mungkin nyawa sang bayi melayang dalam perjalanan. Ya, paling tidak kami berusaha untuk menyelamatkan si jabang bayi, pikir saya waktu itu. Lagian, sudah menjadi tugas kami membawa korban dalam kondisi gawat sesuai nama institusi: Ambulans Gawat Darurat.
Karena itu, kami menjelaskan resiko buruk yang mungkin terjadi lebih dulu kepada keluarga pasien. Cuma, selama perjalanan kami akan terus melakukan pertolongan pertama . Dan, mereka menerima dan siap menghadapi kenyataan pahit itu.
Tak lama kemudian, ambulans langsung melesat menembus jalan di ibukota yang sedang padat merayap. Tapi, di tengah perjalanan kondisi sang bayi makin memburuk. Kami lantas menyarankan ke keluarga untuk membawa si orok ke rumah sakit terdekat.
Tapi, Tuhan berkehendak lain. Tak lama setelah mendapat pertolongan di rumahsakit tersebut, si bayi menghembuskan nafas terakhirnya. Saya langsung lemas, ikut larut dalam kesedihan keluarga sang bayi. Yang bikin saya berbesar hati, kami sudah berusaha sekuat tenaga menyelamatkan nyawa orok malang itu.


sore di kunciran

19 September 2008

MAYDAY... MAYDAY

Tugas sebagai paramedis tak selalu harus dilakoni saat jam kerja saja. Kami juga mesti siap merelakan hari libur begitu panggilan darurat datang. Contoh, waktu bencana tsunami menyapu Aceh dan gempa bumi meluluh-lantakkan Jogjakarta.
Itu juga yang terjadi pada saya sewaktu dua kereta listrik bertabrakan di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 30 Juni 2005 lalu. Banyaknya jumlah korban luka yang masuk ke Unit Gawat Darurat membuat Rumahsakit Pasar Rebo kewalahan.
BELA meminta saya meluncur segera ke Rumahsakit Pasar Rebo untuk membantu menangani para korban. Kebetulan kos saya letaknya di belakang rumah sakit milik Pemerintah DKI Jakarta ini. Sebagian rekan yang semestinya bertugas membawa korban luka dari lokasi kejadian ke rumahsakit juga diminta tetap bertahan di Rumahsakit Pasar Rebo untuk membantu penanganan korban.

Cuma, tidak selamanya panggilan darurat yang datang untuk merampas hari libur kami, lo. Justru lebih banyak yang bikin kami happy. Menjaga konser penyanyi ternama asal luar negeri, misalnya. Sudah nonton pertunjukan gratis, dapat uang lelah lagi.

Tapi intinya, kami mesti siap menjalani perintah yang datang, apapun jenis panggilan yang datang, meski merenggut hari libur. Terutama panggilan darurat. Mayday... mayday... mayday

malam di kunciran

05 September 2008

WAJAH JAKARTA

Tak melulu panggilan darurat yang datang. Contohnya, suatu siang di 2006. Ketika itu saya sedang berjaga di Pos Polisi Lalu Lintas Pancoran. Perintah dari BELA, kami mesti segera meluncur ke daerah di Jakarta Selatan untuk membawa pasien yang sedang menderita penyakit gula ke rumah sakit. Tapi, orang ini tidak butuh penanganan segera.
Toh, bukan berarti kami menjalani tugas ini dengan santai. Buktinya, saya minta tolong teman yang waktu itu bertugas membawa ambulans motor dan kebetulan sedang ngepos bareng kami di Pancoran. Tujuannya, untuk membantu membuka jalan lantaran jalanan di Jakarta siang itu padat merayap.
Tidak lama kemudian, kami tiba di lokasi. Apa lacur, pemandangan yang memilukan ada di depan mata. Seorang bapak tergolek lemah di kamarnya dengan luka membusuk akibat penyakit gula. Bau pesing juga menyeruak di sana. Tampaknya, keluarga tidak terlalu merawat bapak itu.
Sikap tidak peduli keluarga si bapak juga kelihatan waktu kami berusaha memindahkannya ke tempat tidur dorong. Tidak ada satu pun yang membantu. Soal tidak ada yang membantu kami sih sudah terbiasa. Tapi, yang bikin saya miris, mereka hanya melihat dari kejahuan. Mendekat ke pintu pun tidak.
Tak mau ambil pusing, kami pun segera membawa bapak itu ke dalam ambulans. Sejurus kemudian, kami tancap gas menuju rumah sakit, tetap dengan kawalan motor ambulans. Wuss….. Berharap salah satu wajah Jakarta ini tidak lagi saya jumpai dalam tugas-tugas mendatang.


malam di kunciran

01 September 2008

KERINGAT JAGUNG

Hari-hari awal bekerja sebagai kru Ambulans 118 cuma diisi kegiatan ngobrol, makan dan tidur di pos. Soalnya, tak ada satu pun panggilan yang mampir dari BELA. Maklum, belum banyak warga Jakarta yang tahu keberadaan kami, meski sering wara-wiri di jalan-jalan ibukota. Ini buntut minimnya sosialisasi, baik itu dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta sebagai pemilik, dan Yayasan Ambulans Gawat darurat 118 sebagai pengelola.
Sampai kemudian, di suatu siang, telepon genggam saya menyalak dengan nyaring sehingga membuyarkan lamunan. Nomor yang tertera: BELA. Suara di ujung telepon memberi perintah yang isinya, kami harus segera meluncur ke daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Sebab, ada korban yang terjatuh dari atap rumah yang butuh pertolongan cepat. Istilahnya, on call, kalau kami mendapat panggilan gawat darurat semacam ini.
Karuan saja, kami langsung tancap gas ke lokasi. Sirene mobil kami bikin meraung-raung supaya kendaraan yang ada di depan kami minggir untuk sesaat. Untung saja, jalanan ibukota tak terlalu macet sehingga kami sampai di lokasi dengan cepat. Korban yang bekerja sebagai tukang bangunan ketika itu sudah tergolek lemah dengan kondisi kaki patah. Setelah melakukan pertolongan pertama, kami langsung membawanya ke ambulans.
Belum juga mesin mobil dihidupkan, kerabat korban meminta kami mengarahkan ambulans ke dukun patah tulang yang juga masih berada di bilangan Jakarta Selatan, bukan ke rumah sakit. Apesnya, jalan menuju ke sana padat merayap. Sampai-sampai tak ada ruang untuk menyalip kendaraan di depan yang mengular panjang. Sirene yang menjerit keras tidak membantu sama sekali.
Keringat segede biji jagung pun mengucur deras. Rasa panik menyergap. Maklum, ini pengalaman pertama membawa pasien dan langsung yang kondisinya gawat. Untungnya, ada motor patroli polisi lewat. Bapak polisi yang baik itu membantu kami menembus kemacetan siang itu. Mobil-mobil yang tadinya enggan sedikit menyingkir, akhirnya memberi ruang buat kami. Ambulans pun meluncur dengan mulus.

malam di kunciran

11 Juli 2008

PENDIDIKAN DASAR

Setelah melewati serangkaian tes termasuk ujian mengemudi di simulator milik Direktorat Lalu Lintas Mabes Polri, akhirnya, pada Oktober 2004 saya bergabung dengan Ambulans Gawat Darurat 118—sekarang Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Tapi, belum resmi lantaran masih ada satu ujian lagi yang mesti dilewati: Pendidikan Dasar.
Dikdas-- begitu Pendidikan Dasar populer disebut--merupakan tahapan ujian untuk mendapatkan brevet paramedis. Awalnya, saya mesti mengikuti kelas pengenalan Ambulans 118 dan kegawat daruratan selama sepekan lebih di kantor Ambulans 118 yang terletak di kawasan Sunter Jakarta Pusat--kami menyebutnya BELA.
Setelah itu, Dikdas lanjutan digelar di kaki bukit Gunung Salak selama tiga hari. Ini mirip perpeloncoan sewaktu masa kuliah di Akademi Keperawatan dulu. Habis, ada acara marah-marahan segala, selain tentunya hukuman fisik. Tapi, tujuan utamanya adalah menggembleng mental dan fisik kami. Sebab nantinya, kami tidak hanya bertugas di seputaran Jakarta saja. Kami juga harus siap dikirim ke daerah lain sewaktu bencana meluluh-lantakkan wilayah tersebut.
Dan, terbukti sewaktu tsunami melumat Aceh dan gempa bumi memporak-podandakan Jogjakarta, Ambulans 118 mengirim paramedis ke lokasi bencana. Itu sebabnya, ketika Dikdas di kawasan Bogor tersebut ada acara mengevakuasi korban yang jatuh ke jurang.
Saya pun lolos dari tahapan akhir ini dan berhak menyandang gelar paramedis. Dikdas menjadi modal awal saya mengemban tugas sebagai kru Ambulans 118. Saya resmi mulai melakoni profesi ini menjelang tutup tahun 2004. Dan, bertugas di wilayah Jakarta Selatan yang waktu itu punya enam pos: Pos Polisi Pancoran, Kantor Walikota Jakarta Selatan, Kantor Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Selatan, Kantor PT Jalan Lingkarluar Jakarta, Pos Polisi Tanjung Barang dan Pos Polisi Kuningan.
Saban dua pekan sekali kami rotasi untuk menempati pos-pos tersebut. Dengan kekuatan enam mobil dan satu motor ambulans kami menanti panggilan.

Hallo Ambulans 118….

sore di kunciran

10 Juli 2008

OM SWASTIASTU

Saya sengaja membuka blog yang baru saja tampil perdana pada 3 Juli lalu di jagad maya dengan sejumlah artikel. Tulisan di tiga harian tersohor yang bercerita tentang sosok Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang dulu dan sampai sekarang popular dengan sebutan Ambulans 118. Juga sosok paramedis yang bekerja di layanan emergency tersebut.
Tujuannya, untuk memperkuat apa yang saya tulis berikutnya adalah benar adanya. Sebab, selanjutnya yang tergores dalam blog bertajuk Catatan Harian Paramedis adalah kisah pribadi saya ketika melakoni profesi sebagai Paramedis Ambulans 118 sejak Desember 2004 lalu. Ada kejadian yang bikin saya bangga, marah, terharu bahkan menangis sekalipun. Hanya saja, saya tidak tahu persis kapan tanggal pastinya lantaran semuanya hanya tersimpan dalam memori otak saja.

Berharap, siapapun yang membaca catatan harian saya ini menjadi tahu dan paham akan adanya profesi paramedis di tengah-tengah kesibukannya beraktifitas. Nama tempat dan lembaga yang menjadi bagian dalam tulisan saya, sengaja tidak disebut. Supaya tidak ada anggapan saya menyerang atau membuka aib mereka. Selamat membaca.

malam di kunciran

08 Juli 2008

Layanan Ambulan Gratis Hanya untuk Keluarga Miskin

KEHADIRAN ambulans penting buat melayani masyarakat yang kena musibah. Sayangnya, belum banyak warga Jakarta yang tahu bahwa Ambulans Gawat Darurat (AGD) Dinas Kesehatan DKI Jakarta memberikan pelayanan cuma-cuma buat korban kecelakaan, bencana, dan warga masyarakat miskin.
Memang tak semua pengguna ambulans bisa mendapat layanan gratis 100%. Sebab, manajemen juga butuh duit buat menggaji karyawannya. Asal tahu saja, pasukan siap siaga DKI yang beranggotakan 272 orang ini terdiri dari 6 pegawai negeri sipil (PNS) dan 266 non PNS. Mereka berperan sebagai tenaga perawat, tenaga administrasi, dan lainnya.
Bagi warga yang benar-benar miskin atau korban kecelakaan dan bencana, korps AGD siap menolong tanpa pungutan biaya. “Terutama bagi orang miskin, korban kecelakaan, atau bencana, biaya operasionalnya mendapatkan subsidi Pemda DKI Jakarta, makanya gratis,” kata Direktur AGD Dinas Kesehatan DKI Jhon Marbun.
Layanan yang masuk kategori gratis itu antara lain diperuntukkan bagi korban banjir. Ambulans 118 siaga mengangkut korban tenggelam ke rumah sakit. Korps gawat darurat juga siaga menolong korban yang terpanggang api akibat kebakaran. Bagi masyarakat miskin, mereka cukup mengeluarkan kartu keterangan tak mampu.
Bagi warga yang mampu, sesuai Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2006, ongkosnya "sewa" ambulans cuma Rp 200.000 sekali jalan. Kalau keluar wilayah DKI, ada tambahan biaya sesuai jarak. Pasien mendapat semua fasilitas yang ada di ambulans, termasuk penanganan pertama oleh paramedis.
Lantaran keuangan AGD 118 seret, Dinas Kesehatan DKI Jakarta berkeinginan menaikkan tarif tadi menjadi Rp 400.000 -Rp 500.000. Hanya saja, usulan ini belum berlaku lantaran masih harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov DKI).
Cuma, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta mengingatkan, agarAGD Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengenakan tarif yang transparan. “ Bisa saja dibikin tarif seperti taksi yang dihitung berdasarkan jarak. Kalau tak jelas, petugas bisa bermain di jalan,” katanya.
Ongkos AGD 118 memang terbilang murah ketimbang memakai jasa ambulans rumah sakit yang tarifnya bisa meroket belipat-lipat. Untuk memakai mobilnya saja, minimal Rp 400.000. Bila ditambah penggunaan oksigen, tambah lagi minimal Rp 200.000. Terus, kalau didamping paramedis, makin gede lagi biayanya.
Agar warga terlayani dengan baik, AGD DKI juga minta agar warga turut mengawasi petugasnya. Makanya, manajemen juga membuka diri menerima kritik. “Masyarakat butuh pelayanan yang baik, kami wajib menerapkan sistem manajemen mutu. Siapa yang berbuat jelek, laporkan saja” kata Jhon.


oleh: Handiman, Hikmah Yanti
KONTAN
1 Juli 2008

Ambulans, Hadir di Detik-Detik yang Menentukan

RAUNGAN bunyi sirine ambulans selama ini memang menjadi penanda adanya kondisi darurat. Wajar bila semua mobil kudu menyingkir dari jalan untuk melempangkan laju ambulans. Soalnya, di dalam ambulans boleh jadi ada penumpang dalam kondisi kritis dan membutuhkan pertolongan segera.
Tentu, kondisi ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, entah itu akibat kecelakaan lalu lintas, kebakaran, sakit, dan sebab gawat lainnya. Kesigapan dalam memberikan pertolongan pertama seringkali menjadi kunci utama menyelamatkan nyawa korban. Makanya, tak sedikit orang yang sontak memanggil layanan ambulans gawat darurat (AGD).
Selain ambulans dari rumah sakit terdekat, korban atau keluarga bisa memanggil layanan ambulans milik Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang lebih populer dengan sebutan Ambulans 118. Kehadiran tim medis ini menjadi tumpuan tatkala ada korban yang tengah membutuhkan pertolongan pertama. Sebelum tiba di rumah sakit, di dalam ambulan, tim medis akan memberikan pertolongan pertama.
Jasa pertolongan pertama ini akan menolong korban di tempat kejadian sekaligus mengantarnya ke rumah sakit. Petugas medis ini akan menolong si korban meredakan rasa sakitnya. Jika ada orang sesak nafas, pasien akan mendapatkan pertolongan oksigen dalam ambulans. Kalau kelewat parah, petugas akan melakukan pernafasan buatan.
Kondisi ini tak bisa dilakukan di mobil pribadi lantaran keluarga korban keburu panik duluan. Makanya, bila melongok isi ambulan, peralatannya beragam. Di sana ini tersedia berbagai peralatan standar yakni infus berikut jarum, oksigen, penopang leher, serta perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K).
Tak hanya itu, korps ambulans gawat darurat juga wajib disertai tim medis yang bertugas memberikan pertolongan pertama. Mereka umumnya mahir karena sudah ikut mendapat serangkaian pelatihan dan mengantongi sertifikat untuk menangani pasien kritis. “Tenaga medis di ambulans gawat darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta minimal lulusan diploma tiga keperawatan,” kata Direktur AGD Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Jhon Marbun.
Tenaga medis ambulans juga sudah mengecap ilmu penanganan basic life support atau bantuan hidup pasien, basic trauma dan lainnya dari berbagai rumah sakit terkemuka seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Tak heran, mereka juga cukup piawai menangani pasien gawat yang terkena serangan jantung, trauma, dan lainnya.
Untuk pasien nontrauma, seperti pasien dengan keluhan stroke, gagal ginjal, dan penyakit jantung, perlengkapan seperti elektrokardiografi atau EKG juga tersedia. Untuk pasien traumatik seperti korban kecelakaan, jatuh dari pohon atau tertabrak mobil, "Perlengkapan lengkap wajib tersedia," ujar Jose Rizal Jurnalis, Ketua Presidium Medical Emergency Rescue Committe (MER-C), organisasi sosial gawat darurat dan medis.
Saking pentingnya, korps ini berhak menjadi raja jalanan ketika menjalankan tugasnya. Hak istimewa ini dijamin lewat Undang-Undang Nomor 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 43/1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan. Selain ambulans, mobil yang berhak menjadi raja jalanan cuma pemadam kebakaran, kepolisian, dan tamu negara. "Masalahnya kemacetan di Jakarta sering menjadi biang keterlambatan si ambulans ke rumah sakit," ujar Rizal.
Nah supaya tak lelet, AGD 118 milik DKI juga bekerjasama dengan seluruh rumah sakit di DKI. Bahkan, ambulans ini juga nongkrong di pos pemadam kebakaran dan pos polisi supaya awak ambulans selalu siaga. Maklum, kebutuhan ambulans seringkali meroket sehingga stoknya kosong di rumah sakit. “AGD Dinas Kesehatan DKI Jakarta beroperasi 24 jam penuh. Hari libur pun kami harus beroperasi,” kata Jhon.
Bila Anda membutuhkan pertolongan, prosedurnya tak ribet. Keluarga atau korban bisa menelepon alarm centre di rumah sakit terdekat. Bila ingin menggunakan layanan AGD Dinas Kesehatan DKI tinggal menelepon di 65303118. Telepon di 118 saja juga bisa, tapi kadangkala ada gangguan. Dari alarm centre ini, petugas akan menyambungkan ke petugas paling dekat ke lokasi korban. “Asal tak terjebak macet, tim bisa tiba dengan cepat datang,” kata Jhon.
Lantaran pemerintah kudu mengembang misi sosial, tarif AGD 118 murah meriah. Saking murahnya, peminat cukup membeludak. Padahal, dari 90-an mobil yang ada, cuma 30 unit saja yang bisa bergentayangan di jalanan. Selebihnya, 60 mobil lagi rusak. Makanya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta punya tugas berat untuk mengembalikan kekuatan armadanya.


oleh: Handiman, Hikmah Yanti, A. Syalaby Ichsan
KONTAN
1 Juli 2008

07 Juli 2008

Mobilnya Jangan Ikut Sakit Dong!

Bagi masyarakat kelas menengah-bawah, ambulans gawat darurat dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta sangatlah membantu. Saat kepepet layanan ambulans, warga akan teringat jalur telepon 118 yang sudah dikenal. Sayangnya, tak semua pelanggan dapat ambulans yang memadai.
M Supriyadi (17), pemuda yang tinggal di Kalideres, Jakarta Barat, punya pengalaman baik. Akhir tahun 2007, bagian pergelangan kaki kirinya patah akibat terlindas truk di kawasan Jatake, Tangerang. Saat kebingungan, ada teman menyarankan agar memanggil ambulans.
Ritawati, ibu pemuda itu, segera menelepon 118 untuk meminta pertolongan ambulans. Setelah menunggu sekitar satu jam, ambulans tiba dan membawa Supriyadi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Pemuda ini pun memperoleh pengobatan.
Dia bersyukur karena akhirnya mendapat pertolongan dan pertolongan diberikan gratis. ”Saya diminta memberi fotokopi surat keterangan tidak mampu atau kartu keluarga miskin (gakin). Itu sangat membantu,” kata Supriyadi.
Pasangan Ana Sutiana (38) dan Sudarman (42), keluarga kelas bawah di Petojo Utara, Jakarta Barat, juga langganan ambulans. Anak perempuan pasangan ini, Vivi Nurhayati (10), menderita hidrosefalus yang menyebabkan kepalanya membesar. Penyakit yang diderita sejak usia dua bulan itu mengharuskan bocah itu kontrol bolak-balik ke rumah sakit.
Saat Vivi berusia enam tahun dan kepalanya semakin membesar, Ana tak kuat lagi berobat dengan angkot. Bayangkan saja, berat bocah yang sekarang berusia 10 tahun itu mencapai 40 kilogram. Dia pun mencoba menggunakan ambulans 118 dan ditolong.
”Saya pakai surat keterangan tak mampu, jadi mendapat layanan ambulans gratis. Kalau mau berangkat, tinggal telepon. Selesai kontrol, telepon lagi,” kata Ana.
Tak semua masyarakat memperoleh layanan baik. Sebagian dari mereka mengeluh karena ambulans yang menjemput ternyata rusak. Perjalanan menjadi menyiksa.
Contohnya keluarga Ida Thimour (57), warga Depok. Awal Januari lalu, Ida pernah meminta pertolongan ambulans gawat darurat untuk membawa ibunya, Hermina Sihombing (79), dari Rumah Sakit Tebet, Jakarta Selatan, menuju rumahnya di Depok. Untuk itu, dia dikenai biaya Rp 500.000.
Sayang, ambulans yang datang tidak punya AC dan mesinnya suka ngadat. Perjalanan dari rumah sakit ke rumah pun memakan waktu dua jam dan itu harus ditempuh dalam udara panas akibat AC mati. ”Ibu saya yang sakit osteoporosis dan saraf kejepit menjadi tambah kepayahan,” kata Ida.
Ida berharap ambulans gawat darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta mau berbenah diri. Masih banyak masyarakat yang belum punya kendaraan sendiri sehingga membutuhkan pertolongan ambulans.”Sebaiknya berilah pelayanan memadai dengan mobil bagus dan waktu yang cepat. Masak orang sakit diangkut pakai mobil yang sakit juga. Nanti tambah parah dong penyakit orang itu,” kata Ida.


oleh: Ilham Khoiri
KOMPAS
Minggu, 29 Juni 2008

Berpacu Melawan Macet

Di negara maju, waktu bagi ambulans untuk merespons panggilan darurat berkisar 4-6 menit. Di Jakarta yang lalu lintasnya kacau dan macet, ambulans paling cepat datang 30 menit setelah dipanggil. Kita hanya bisa berdoa semoga pasien bertahan hidup hingga ambulans tiba.
Kemacetan lalu lintas memang menjadi penghambat utama bagi ambulans. Semua petugas ambulans di Jakarta tahu benar masalah itu. Simak saja pengalaman mereka.
Ludy Hardiyant (27), petugas ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta, pernah mendapat tugas menjemput pasien yang kritis di Duren Sawit, Jakarta Timur. Ketika itu, dia sedang berjaga di Kampung Rambutan yang waktu tempuhnya dari Duren Sawit sekitar 30 menit dalam keadaan normal.
”Saya langsung tancap gas. Tetapi, ambulans saya terjebak di tengah kemacetan,” kata dia. Akibatnya, Ludy baru tiba di tempat pasien satu jam kemudian. Pasien langsung diangkut ke rumah sakit, tetapi meninggal sebelum mendapat perawatan.
Japistar (38), petugas ambulans lain, bahkan gagal mengevakuasi pasien yang mengalami sesak napas tahun 1999. Ketika itu dia ditugaskan menjemput pasien di Cengkareng, Tangerang. Dalam perjalanan menuju rumah pasien, ambulans yang dia kendarai dihadang kemacetan parah. Ambulans yang berangkat pukul 10.00 baru tiba di rumah pasien satu jam kemudian.
Ketika ambulans tiba, nyawa pasien telah melayang. Dokter yang memeriksa menyatakan, pasien meninggal sekitar 10 menit sebelum ambulans datang. ”Kami kecewa. Kalau saja lalu lintas lancar, setidaknya kami bisa memberi pertolongan pertama atau membawa pasien ke rumah sakit biar cepat ditangani dokter,” ujar Japistar.
Untuk menyiasati kemacetan, Ambulans Gawat Darurat 118 pernah mengerahkan tim ambulans sepeda motor yang bisa menembus kemacetan. Prosedurnya, paramedis akan meluncur dengan sepeda motor lebih dulu ke rumah pasien untuk memberi pertolongan pertama. Setelah itu, mobil ambulans menyusul untuk mengevakuasi pasien.
”Dua tahun lalu, ada 10 ambulans sepeda motor yang bersiaga di lima wilayah DKI. Sekarang sepeda motornya enggak tahu ke mana,” kata Aryono Djuned, Ketua Yayasan Ambulan Gawat Darurat Terpadu 118.
Yang lain ke pinggir
Secara normatif, ambulans mendapat prioritas utama dalam menggunakan jalan. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan menyebutkan, ”Pemakai jalan wajib mendahulukan mobil pemadam kebakaran dan ambulans yang sedang bertugas.”
Prioritas selanjutnya adalah kendaraan untuk menolong korban kecelakaan lalu lintas, kendaraan kepala negara atau tamu negara, iring-iringan mobil pengantar jenazah, dan kendaraan yang mengangkut barang- barang khusus.
Di Indonesia, aturan normatif sering tidak nyambung dengan kondisi di lapangan. Entah tidak paham aturan atau terlalu egois, banyak pengendara tidak mau memberi jalan untuk ambulans meski petugasnya menyalakan lampu warna merah yang berputar-putar (rotator) menyilaukan dan membunyikan sirene.
Octaria (28) pernah dibuat jengkel oleh pengemudi egois. ”Saya pernah dipepet dua truk kontainer ketika membawa pasien. Untung saya tidak panik. Kalau saya panik, keluarga pasien ikut panik. Wah, bisa gawat,” ujar petugas ambulans yang beroperasi di wilayah Jakarta Utara itu.
Jalan-jalan di wilayah itu memang sering disesaki kendaraan berat, seperti truk, kontainer, dan trailer. Octaria harus cekatan dalam mengemudikan ambulans.
Pengalaman lebih buruk dialami keluarga Janu Utomo (76), pengguna layanan ambulans gawat darurat di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Teguh Ostentrik, adik ipar Janu, menceritakan, Janu mendadak sakit pada 1 Juni lalu. Keluarga Janu segera memanggil ambulans gawat darurat untuk membawa Janu ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) di Jakarta Selatan.
Di dalam ambulans, Janu ditemani istrinya, Retno Indarti (65), dan anaknya, Krisanti Indriani. Ambulans tersebut dikemudikan Januari Purwoko ditemani perawat Risa Citra Dewi. Saat mobil melintas di Jalan Sisingamangaraja, dekat Masjid Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sekitar pukul 02.45, ambulans ditabrak Honda Jazz. Bagian samping kanan belakang ambulans hancur, sedangkan bagian depan mobil Honda Jazz rusak.
”Kakak ipar saya terlempar sampai 30 meter. Dia akhirnya meninggal di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSPP akibat kepala bagian belakang pecah. Retno luka parah dan masih kritis sampai sekarang,” kata Teguh ketika dihubungi Kamis (26/6). Penumpang ambulans lainnya juga mengalami luka-luka. Januari memar, bibir Krisanti sobek, dan wajah perawat Risa luka dan memar.
Belakangan diketahui, mobil Honda Jazz itu dikemudikan Putri Rizki Indriasari. Di dalam mobil itu juga ada Nuri, salah seorang personel band Shaden. Karena Nuri seorang selebriti, kejadian itu pun mendapat sorotan media infotainment. Dalam konferensi pers, Nuri malah menyalahkan ambulans. Katanya, ambulans yang menabrak Honda Jazz.
Teguh benar-benar dongkol mendengar tudingan itu. ”Kami tidak terima dengan konferensi pers yang digelar Nuri. Yang benar, kami ditabrak bukan menabrak,” ujarnya. Bagaimanapun, kata dia, ambulans yang membawa orang sakit harus diprioritaskan ketimbang kendaraan pribadi dan umum.
Selain kemacetan dan sikap egois pengemudi kendaraan, petugas ambulans kadang terhambat karena petugas rumah sakit, bahkan polisi, tak mengerti prosedur kerja ambulans. Ludy menceritakan, ketika dia tergopoh- gopoh untuk mengevakuasi korban ledakan bom di Kedubes Australia tahun 2004, ambulansnya malah dicegat polisi. Setelah berdebat, akhirnya ambulansnya diperbolehkan masuk.
Masalah tidak berhenti di sini. Ketika Ludy mengangkut korban selamat ke rumah sakit, petugas rumah sakit justru mengarahkan ambulans itu ke kamar mayat, bukan ke IGD.


oleh: Budi Suwarna/Lusiana Indriasari/Ilham Khoiri
KOMPAS
Minggu, 29 Juni 2008

Nasib Karyawan Ambulans

Kehidupan para personel ambulans sama daruratnya dengan pelayanan yang mereka berikan. Selain belum menerima gaji selama enam bulan, mereka juga tidak mendapat tunjangan apa pun, termasuk tunjangan kesehatan.
Ada yang begitu miskinnya sehingga tidak sanggup membayar layanan kesehatan ketika sakit. Simaklah cerita Nita (28), paramedis di Ambulans Gawat Darurat (AGD) 118. Ia terpaksa mengaku sebagai gelandangan demi mendapat pengobatan gratis.
Suatu ketika, suami Nita sakit. Karena mereka tidak memiliki tunjangan kesehatan, Nita berharap sakit suaminya dapat dibiayai pemerintah melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK-Gakin).
Program milik Dinas Kesehatan DKI Jakarta ini mensyaratkan, penerima JPK-Gakin harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta. Padahal, Nita dan suaminya berdomisili di Depok, Jawa Barat. ” Saya minta surat keterangan miskin ke RT/RW di Jakarta mengaku sebagai gelandangan,” tutur Nita.
Nasib Japistar (38) setali tiga uang. Karena gajinya belum dibayar, dia terpaksa mengandalkan gaji Raida, istrinya, yang bekerja sebagai suster di sebuah rumah sakit di Bekasi.
Japistar mengaku, penghasilannya sebulan sekitar Rp 2,179 juta. Uang itu tidak cukup untuk menghidupi istri dan tiga anaknya. ”Kami selalu berkeringat dingin, pusing (karena gaji tidak cukup),” kata laki-laki yang telah bekerja sebagai petugas AGD 118 sejak tahun 1988.
Saking hematnya, Japistar sampai tidak bisa membeli baju. ”Baju seragam putih yang saya pakai ini hanya satu. Kalau pulang, langsung dicuci agar bisa dipakai besoknya,” tambah dia.
Kalau Japistar masih punya pemasukan, lain lagi dengan Octaria (28). Kebetulan Octaria dan suaminya sama-sama bekerja di AGD 118. Karena dana pemerintah belum turun untuk pembayaran honor mereka, Octaria dan suaminya sama sekali tidak punya uang untuk menghidupi keluarga.
Sekarang Octaria sedang hamil. Untuk berhemat, ia mengurangi jatah minum susu yang biasanya tiga kali sehari menjadi satu kali sehari. Karena tidak ada penghasilan, ekonomi keluarga Octaria pun menjadi tanggungan orangtua.
Nasib Arsyad (50), karyawan bagian mekanik AGD 118, mungkin lebih apes dibandingkan dengan teman-temannya. Pasalnya, istrinya hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak punya penghasilan. Untuk membiayai hidup istri dan tiga anaknya, Arsyad terpaksa berutang kepada tetangga, teman, dan orangtua. Kadang dia juga mencari tambahan dengan bekerja sambilan di bengkel.Bagaimana bisa berkonsentrasi menyelamatkan orang bila keluarga sendiri saja tidak mampu diselamatkan.


oleh: Budi Suwarna/Lusiana Indriasari/Ilham Khoiri
KOMPAS
Minggu, 29 Juni 2008

Darurat! Darurat!

Ambulans Gawat Darurat atau AGD 118 di Jakarta keadaannya benar-benar darurat. Dari 92 mobil ambulans, hanya 25 ambulans yang bisa jalan. Itu pun sering mogok. Paramedis dituntut bisa menyelamatkan pasien sekaligus menjadi montir bagi ambulans yang bermasalah di jalan.
Kondisi ini ironis karena AGD 118 milik Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta ini menjadi andalan masyarakat dalam hal layanan darurat. Maklum, dibandingkan dengan institusi lain, AGD 118 memiliki ambulans paling banyak. Rumah sakit, misalnya, rata-rata memiliki dua unit ambulans saja.
Dengan sarana serba darurat inilah para petugas ambulans bekerja. Tentu saja banyak pengalaman tidak enak yang mereka alami akibat kondisi ambulans yang buruk.
Umairoh (31) atau akrab disapa Umi, paramedis AGD 118, misalnya, pernah menghadapi kenyataan ban ambulansnya pecah ketika membawa pasien gawat di daerah Pluit, Jakarta Utara.
Perempuan itu segera menepikan kendaraan ambulans. Dia kemudian turun dan mengganti ban. Sementara temannya yang lain berjuang memberi napas buatan kepada pasien yang sedang megap-megap.
”Tidak ada yang membantu. Semuanya dikerjakan sendiri,” kata Umi. Setiap kali bertugas, Umi dan paramedis lainnya juga harus mengecek sendiri kondisi kendaraan, seperti busi, aki, oli, dan minyak rem.
Ludy Hardiyant (27) juga pernah kelabakan menangani pasien kritis di ambulans. Ketika pasien butuh oksigen, alat bantu pernapasan tidak bisa digunakan karena selangnya bocor. ”Sepanjang jalan, saya hanya bisa berdoa, semoga dia (pasien) bisa bertahan hidup,” kenangnya.
Sejak dibentuk pada 1973, kondisi AGD 118 semakin kritis. Dulu AGD 118 dikelola Yayasan AGD 118. Karena konflik internal, AGD 118 akhirnya diambil alih Dinkes DKI Jakarta.
Ketika diserahkan ke Dinkes DKI Jakarta tahun 2006, masih ada 33 ambulans yang bisa jalan. Dua tahun kemudian, pada tahun 2008, jumlah ambulans yang bisa beroperasi tinggal 25 ambulans. Setelah tidak lagi mengelola, Yayasan AGD 118 kini hanya memberi pelatihan kegawatdaruratan.
Rongsokan
Puluhan ambulans yang rusak itu teronggok di halaman markas AGD 118 di Sunter, Jakarta Utara. Mobil bercat putih-hijau yang dulu dibeli dengan harga Rp 300 juta-Rp 600 juta itu sebagian bahkan sudah menjadi rongsokan.
Kerusakan ambulans bermacam-macam. Sebagian besar ambulans itu bannya bocor. Beberapa lagi sudah tidak ada bannya. Ambulans yang lain bodinya penyok dan berkarat, kacanya pecah, dan rotator rusak, dan lain-lain.
”Kami sudah mengajukan anggaran ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi dananya belum turun,” kata Muji Artono, Koordinator Pelayanan AGD 118.
Menurut John Marbun, Kepala Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), badan yang dibentuk Dinkes DKI Jakarta untuk mengelola AGD 118, anggaran yang disediakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk AGD 118 setiap tahunnya Rp 4 miliar. Sementara itu, pendapatan dari operasional ambulans yang bisa dikumpulkan AGD 118 sebesar Rp 3,8 miliar.
Pasien yang ingin menggunakan jasa layanan AGD 118 dikenai biaya bervariasi, tergantung jarak. Untuk jarak paling dekat, biaya ambulans minimal Rp 200.000.
Karena tidak dirawat, ambulans yang masih ”sehat” satu per satu menjadi rusak. Agar tetap beroperasi, perbaikan dilakukan dengan cara kanibal. Mobil yang sudah rusak diambil onderdilnya lalu dipasang di mobil lain yang masih ”sehat”. ”Jadi mobil yang rusak semakin rusak,” kata Arsyad, mekanik ambulans.
Gedung berlantai tiga yang digunakan sebagai markas ambulans tidak kalah memprihatinkan. Gedung yang dipakai sejak tahun 1980-an ini tidak terawat. Catnya banyak yang mengelupas. Debu dibiarkan menempel di mana- mana dan lantainya kusam. Sebagian besar WC di gedung itu juga mampet.
Kondisi darurat semakin tampak di ruang Alarm Room. Tidak tampak kesibukan luar biasa di ruangan yang berfungsi menerima panggilan darurat itu. Ternyata sambungan telepon di ruangan tersebut tidak bisa berfungsi optimal.
Salah satu saluran telepon bahkan sudah dicabut karena menunggak tagihan. Sementara itu, saluran telepon lain rusak. ”Di sini hanya ada enam saluran telepon,” kata Umi, paramedis yang juga menjadi penanggung jawab Alarm Room. Dua tahun lalu masih terpasang enam belas saluran telepon.
Tidak semua panggilan yang masuk ke Alarm Room benar-benar butuh ambulans. Umi bercerita, banyak telepon iseng ke AGD 118. Dalam sehari, rata-rata jumlah telepon iseng ini mencapai 100 panggilan. ”Ada yang minta kenalan atau iseng ngerjain teman dengan memanggil ambulans,” kata Umi.
AGD 118 babak belur kekurangan dana. Dengan dana terbatas, ambulans ini melayani sekitar 11 juta penduduk Jakarta. Karena kondisinya tidak prima, mobil ambulans terseok-seok menyusuri wilayah Jakarta yang luasnya mencapai 661,52 kilometer persegi.
Jakarta terbagi menjadi lima wilayah. Setiap wilayah hanya mampu dilayani lima ambulans karena hanya tersedia 25 ambulans yang operasional. Ambulans ini siaga di kantor wali kota, pos polisi, pemadam kebakaran, rumah sakit, dan puskesmas. Idealnya untuk seluruh Jakarta harus ada 200 ambulans.
Karena segalanya serba darurat, jangan heran apabila ambulans baru datang setelah pasien megap-megap. Di Jakarta, waktu bagi ambulans merespons panggilan darurat minimal 30 menit. Bahkan seringkali ambulans baru datang setelah lebih dari satu jam.
”Padahal penanganan kegawatdaruratan di lokasi kejadian adalah kuncinya. Pasien bisa selamat atau terhindar dari cacat bila secepatnya mendapat pertolongan pertama,” kata Aryono Djuned Pusponegoro, Ketua Yayasan Ambulans Gawat Darurat Terpadu 118.
Ambulans adalah sesuatu yang vital. Berdasarkan statistik kedokteran, 50 persen kematian pasien terjadi sebelum tiba di rumah sakit (pre-hospital).
Tahun 1999-2004, data kecelakaan di kepolisian mencatat, korban kecelakaan yang tewas sebanyak 1.753 orang, sedangkan data kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mencatat, jumlah korban kecelakaan yang tewas sebanyak 6.778 orang.
”Artinya, ketika polisi datang ke lokasi kejadian, sebagian korban kecelakaan masih hidup. Pada saat dievakuasi, korban hidup tadi sudah mati,” tutur Aryono.
Selain AGD 118 milik pemerintah, ada institusi lain yang memiliki ambulans, seperti rumah sakit, yayasan, dan organisasi swasta. Siloam Hospitals Karawaci, Tangerang, misalnya, memiliki dua mobil ambulans yang benar-benar komplet fasilitasnya, seperti alat monitor pasien, alat pacu jantung, dan ventilator. Rumah sakit ini juga memiliki dua ambulans helikopter. Tentunya dengan biaya selangit.Nah, bagi yang tidak mampu, di Jakarta juga ada fasilitas ambulans gratis yang disediakan Rumah Zakat. Lembaga tersebut memiliki tiga ambulans yang operasionalnya dibiayai dana zakat masyarakat.


oleh: Lusiana Indriasari/Budi Suwarna/ Ilham Khoiri
KOMPAS
Minggu, 29 Juni 2008

04 Juli 2008

Ambulans 118 Tetap Melayani Meski Kondisinya Sekarat

Dari jumlah yang bisa beroperasi, 24 mobil ambulans itu kini tersebar di beberapa titik di kota Jakarta seperti di rumah sakit dan kantor polisi. Tujuannya agar mobil ini bisa lebih cepat menjangkau masyarakat yang membutuhkan. "Idealnya dalam sepuluh menit kami sudah sampai di lokasi," ujar Pepen Efendi, Pejabat Sementara Kepala Operasional Ambulans Gawat Darurat 118.
Tetapi karena keterbatasan,ambulans 118 memberikan skala prioritas dalam melayani pasien. Pasien dalam kondisi kritis berhak mendapatkan pelayanan lebih dahulu. Pasien lain yang mendapatkan prioritas utama adalah yang mengalami gangguan pernafasan dan sirkulasi darah.
Setiap armada harus dilengkapi dengan tempat tidur lipat, kotak perlengkapan gawat darurat, tabung oksigen, infus, dan perlengkapan lain seperti penyangga kepala dan tulang belakang. Selain supir, mobil ini juga berisi dua orang tenaga medis. "Jadi kami bukan sekedar mengangkut tapi juga memberikan perawatan pertama terutama agar kondisi pasien stabil sebelum dipindahkan," ujar Pepen.
Dua staf medis minimal harus lulusan diploma tiga jurusan ilmu keperawatan. Mereka juga harus mendapatkan pendidikan khusus sebelum terjun ke lapangan. Total saat ini jumlah staf medis ambulan sebanyak 276 orang. Sebagai staf medis mereka harus dalam kondisi prima setiap saat dalam menjalankan tugas.
Tetapi kenyataannya para staf medis ini terkadang harus beristirahat di dalam mobil ambulans karena pos-pos yang mereka tempati tak menyediakan tempat khusus. "Kalau di kepolisian lumayan karena sama-sama petugas lapangan, tapi untuk tempat lain kami hanya bisa nongkrong di lapangan parkir," ungkap Cucu, seorang staf medis.
Selain itu pemahaman masyarakat tentangambulans 118 juga masih kurang. Cucu pernah merasakan pedasnya cacian gara-gara ketidaktahuan masyarakat. Waktu itu, dia pernah bertugas menolong seorang warga di rumah susun Cawang Atas, Jakarta Timur. Namun begitu sampai di lokasi, ternyata pasien yang hendak ia tolong telah meninggal dunia.
Keluaga pasien ngotot agar Cucu membawa jenazah itu ke rumah sakit. Tetapi Cucu tak mau karena peraturan mereka melarang membawa jenazah. Akhirnya Cucu pun terpaksa menunggu mobil jenazah agar bisa pulang. "Yah, kalau ada keluarga yang marah-marah kepada kami, itu sudah biasa, Mas," katanya pasrah.
Ada juga warga yang iseng mengganggu panggilan 118. Dalam sebulan ada empat sampai lima kali panggilan tidak jelas dari warga. "Padahal kami sudah turun ke lokasi lengkap dengan staf medis" ujar Fauzi, staf komunikasi Ambulans 118.
Kejahilan ini tentunya bisa berakibat fatal karena warga yang seharusnya benar-benar membutuhkan pertolongan pada saat bersamaan jadi tidak tertolong. Selain iseng, ada pula panggilan masuk yang terlalu berlebihan. "Laporannya kecelakaan dengan luka parah, tapi ketika kami turun ke lapangan ternyata hanya lecet saja," kata Fauzi dengan kesal.
Otomatis, biaya operasional ambulans jadi makin berat. "Kami sudah mengeluarkan biaya bensin dan lain-lain tapi tidak bisa meminta biaya karena pasiennya tidak jadi kami angkut ke rumah sakit," lanjutnya.
Meski begitu, anggota staf medis mengaku tak surut langkah untuk tetap melayani publik Jakarta. Mereka juga menambah akses telepon baru yakni 021-65303118, sebab ternyata tidak semua mobil ambulans dari nomor 118 itu bisa terkoneksi. "Nomor 118 yang tersambung hanya dari pengguna telepon seluler dengan operator tertentu saja dan dari telepon rumah pribadi di sebagian wilayah Jakarta. Padahal 60% warga yang kami layani adalah pengguna kartu Gakin (Keluarga Miskin) yang anggarannya terbatas," ujar Pepen.

oleh: Patersius Sembiring
Harian KONTAN
4 April 2007

Ambulans 118 Kondisinya Gawat Darurat

Puluhan mobil putih bercorak hijau terparkir di halaman depan dan belakang kantor pusat Ambulans Gawat Darurat 118 di Jalan Sunter Permai, Jakarta Pusat. Mobil-mobil itu bukan sedang menunggu penumpang tetapi memang sengaja teronggok parkir di sana.
Mobil-mobil itu jauh dari armada yang layak operasional melayani warga ibukota. Jejeran mobil itu hanya parkir sampai batas waktu yang tidak jelas. Sebagian memang terlihat masih terawat, namun beberapa diantaranya sudah lebih mirip besi tua dan benar-benar tidak layak jalan. Bodinya terlihat kusam karena tertutup debu. Karburator mesin bahkan sudah ada yang copot.
Tidak hanya mobil ambulans, 12 sepeda motor yang sedianya difungsikan untuk reaksi dan penanganan cepat juga teronggok tanpa ada yang bisa difungsikan.
Yang juga tak kalah menyedihkan, kondisi kantor pengelola Ambulans Gawat Darurat 118 juga kurang lebih sama suramnya. Situasinya lengang. Tak ada aktivitas yang menggambarkan kesibukan para karyawan. Sebagian meja kantor itu terlihat kosong. Hanya ada beberapa operator telepon terlihat standby menunggu panggilan masuk. Entah itu menunggu panggilan darurat atau hanya sekadar ngobrol dengan temannya.
Awalnya, Yayasan Ikatan Ahli Bedah Indonesia menanggung operasional kantor ini. Namun untuk meningkatkan kualitas pelayanan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta berniat mengambil alih jasa penyediaan ambulans yang sudah berdiri sejak tahun 1973 itu.
Tetapi proses pengambil alihan yang terkatung-katung membuat biaya operasional jadi terbatas. Dana yang didapat dari tarif pengguna jasa mereka hanya cukup untuk biaya operasional sehari-hari. Tak ada dana untuk perbaikan armada, begitu juga gaji untuk para pegawai. "Sudah tiga bulan ini para karyawan belum mendapatkan gaji," ungkap Pepen Efendi, Pejabat Sementara Kepala Operasional Ambulan Gawat Darurat 118 saat ditemui KONTAN di kantornya.
Saat ini ada 385 karyawan hanya bisa pasrah sambil berharap proses pengambilalihan bisa cepat selesai. Seribu langkah pun terpaksa dilakukan agar kantor sosial itu bisa tetap berjalan termasuk efisiensi pengeluaran. "Mobil yang dalam rusak ringan kami perbaiki, tapi yang rusak berat terpaksa diparkir dulu," kata Pepen.
Praktek kanibalisme pun terpaksa berlangsung. Tak jarang untuk memperbaiki mobil yang rusak harus mereka mengambil suku cadang dari yang lainnya sebagai pengganti. Demikian juga peralatan medis yang menjadi perlengkapan ambulan. Peralatan mobil yang tidak beroperasi habis dicopoti untuk mobil yang masih berfungsi.
Dari 50 armada yang ada saat ini, hanya 24 saja yang bisa beroperasi. Sisanya yang lain rusak dan tingkatan bermacam-macam. Umumnya pada sistem pendingin saja. Akibat kerusakan ini, Ambulans Gawat Darurat 118 terpaksa tidak bisa memberikan pelayanan yang terbaik.
Dengan 24 armada saat ini, pihaknya kewalahan untuk melayani panggilan dari warga yang membutuhkan pertolongan. Seharinya tak kurang ada lebih 60 warga yang membutuhkan pertolongan segera. "Kami benar-benar kerja keras untuk melayaninya," lanjutnya.
Terbatasnya armada yang beroperasi ini membuat pihak Ambulans sulit untuk merespon dengan cepat permintaan warga. Banyak warga yang akhirnya minta tolong balik menyalahkan mereka karena terlambat atau terlalu lama datang ke lokasi. "Keluarga yang panik biasanya menyalahkan kami tanpa berpikir keterbatasan armada yang kami miliki," ujarnya.
Untuk mencari dana operasional, pihak ambulans 118 pun terpaksa putar otak. Misalnya, mereka memberi jasa melakukan berbagai pelatihan bagi petugas medis. Seperti pelatihan basic life support di perusahaan-perusahaan swasta yang membutuhkan.
Tapi, proses peralihan yang belum selesai membuat program ini juga berjalan tersendat. Jadwal pelatihan terpaksa berubah karena ambulans kerap kali harus menerima panggilan yang lebih penting. Celakanya, mereka juga terimpit kebutuhan untuk mencukupi dana operasional dari program pelatihan.

oleh: Patersius Sembiring
Harian KONTAN
3 April 2007

03 Juli 2008

Pilot Ambulans Zig-zag

Awal Februari 2006. Jakarta yang sedang diguyur hujan lebat baru saja disergap malam. Sebuah ambulans dengan sirene menjerit-jerit terperangkap macetnya kendaraan yang mengular di kawasan Klender. Ada penderita diabetes plus hipertensi yang sedang koma, yang menanti kedatangan mobil itu segera.
Lima belas menit menembus lalu lintas yang tersendat, akhirnya tiba juga ambulans itu di rumah pasien. Keluarga yang panik langsung menyeret Karti Sari Indah, 27 tahun, pembawa ambulans yang baru saja turun dari mobil. Begitu juga dengan rekannya yang sedang mengambil kotak obat dan peralatan medis.
Petra--demikian Karti Sari Indah biasa dipanggil--dan mitranya langsung melakukan penanganan darurat sebelum pasien diangkut ke mobil. Jarum infus ditancapkan di lengan pasien yang sudah tak sadarkan diri itu. Masker oksigen dipasang di hidung dan mulut. Selesai. Baru si pasien dibawa ke ambulans.
Perempuan itu segera memacu mobil yang dia sopiri menuju OMC Medical Center, rumah sakit paling dekat. Penanganan gawat darurat diteruskan rekannya selama perjalanan. "Puji Tuhan, begitu sampai OMC, pasien sadar, bahkan sudah bisa ngomong," katanya.
Itu pengalaman Petra yang paling berkesan selama tiga tahun melakoni pekerjaan sebagai sopir ambulans. Persisnya, di Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118 Jakarta. "Saya tidak bakal pernah lupa dan bangga banget kalau disuruh cerita soal itu," ujar perempuan kelahiran 24 November itu.
Paling berkesan? Ya. Tapi soal menyelamatkan nyawa, itu bukan yang pertama dilakukan Petra. Masih banyak lagi. Misalnya, waktu baru hitungan hari menjadi sopir, sudah mesti membawa korban kecelakaan lalu lintas yang koma akibat luka di bagian kepala. Darah segar terus mengucur dari mulut pasien.
Kejadiannya di depan kantor Kepolisian Sektor Duren Sawit. Setelah memberikan pertolongan pertama, Petra pun tancap gas di Jalan Kali Malang, yang kebetulan ramai tapi lancar, menuju Rumah Sakit UKI. "Saya bawa mobil zig-zag guna menyalip mobil lain, lupa kalau baru jadi sopir," ujarnya. Tapi selamat sampai tujuan.
Baru dua hari mengemudi ambulans, mobil itu menyeruduk boks telepon umum. Saat itu dia sedang memarkirkan ambulansnya. Untung, kata Petra, tidak sedang membawa pasien. Peristiwa buruk, misalnya, korban sampai meninggal di mobilnya, juga belum pernah terjadi.
Arifin Panigoro, bos perusahaan minyak Medco, pernah juga diangkut ambulans yang disopiri Petra. Politikus yang sekarang aktif di Partai Demokrasi Pembaruan itu dipindahkan ke MMC, Kuningan, dari Rumah Sakit UKI, setelah sempat dirawat di sana karena mengalami kecelakaan. Tapi Petra bukan sekadar sopir-pilot--begitu sopir ambulans disebut. Dia juga lihai menangani korban gawat darurat. Soalnya, profesi utamanya tetap paramedis, yang sudah dijalani sejak 1997 sewaktu bergabung dengan 118 Jakarta. Hebatnya, dia termasuk generasi pertama paramedis perempuan.
Karier paramedisnya diawali dengan menjadi kru ambulans, yang mendampingi pilot. Posisi sopir sudah diincar Petra, walau belum bisa menyetir sama sekali. "Karena dapat uang tunjangan," katanya, yang sekarang digaji Rp 1,5 juta per bulan. Selain itu, dia ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa.
Kesempatan itu datang juga tiga tahun lalu. Petra lantas masuk pendidikan mengemudi selama sebulan. Dia digembleng teori dan praktek. Sang ibu menentang habis pekerjaan barunya. Tapi begitu melihat dia sempat nongol di televisi sedang menolong orang, ibunda malah bangga.
Pilot ambulans wanita memang mendobrak dominasi laki-laki selama ini. Di 118 Jakarta, sekat cowok dan cewek sudah dicopot sejak tiga tahun lalu. Tapi bagi banyak orang, posisi ini hanya cocok dipegang pria. Separuh orang atau keluarga pasien yang ditemuinya masih memandang sebelah mata sopir ambulans wanita. Pernah sampai ada yang marah-marah. "Mereka bilang, pantesan telat, sopirnya perempuan," kata Petra. Padahal, "Saya cuma butuh sepuluh menit sampai ke lokasi."
Petra mengaku hanya bisa sabar menghadapi hal-hal semacam itu. Biasanya, dia membuktikan kecekatannya mengemudi sewaktu membawa pasien. Orang-orang yang tadi mencemooh biasanya melongo begitu tahu dia bisa nyetir cepat, tapi aman. Yang tadi memaki, langsung meminta maaf.
Tapi, menurut Petra, banyak juga yang memuji. Bila sedang membawa mobil, hampir semua orang melihat ke arahnya. Mungkin heran, bisa juga berdecak kagum. "Ada yang mengacungkan dua jempol ke arah saya," ujar komandan unit yang sehari-hari bertugas di wilayah timur Jakarta itu.
Kekaguman itu justru pernah berbuah cinta. Petra mengaku pernah menjalin kasih dengan seseorang yang kagum dengan pekerjaannya. Perkenalan berawal ketika dia sedang menjaga kampanye sebuah partai pada 2004. Pria itu salah satu panitia penyelenggara. Tapi, "Akhirnya bubar," katanya tersenyum.
Pemegang gelar paramedis tiga ini--sudah melahap tak kurang dari 10 pelatihan-toh, masih tetap panik kalau membawa pasien gawat darurat, meski sudah tiga tahun membawa ambulans. "Takut ada apa-apa," ujar wanita, yang pernah dikirim ke Aceh membantu korban bencana tsunami itu.
Kemacetan masih menjadi hambatan utama mengemudikan ambulans di Jakarta. Yang lain, masih kurang pedulinya warga Ibu Kota, yang kerap kali dengan sengaja menghalang-halangi laju ambulans. Sirene sudah meraung-raung, toh mereka cuek bebek.
Padahal, "Kalau kami sampai membunyikan sirene, berarti bawa korban yang perlu penanganan segera rumah sakit," kata Petra, yang jebolan Akademi Keperawatan Sismadi, Jakarta. Menurut dia, menjadi sopir ambulans bukan untuk gagah-gagahan, tapi buat menolong orang.

oleh: STEPANUS S KURNIAWAN
KORAN TEMPO
Sabtu, 23 September 2006

Malaikat Penolong di Jalan

Pagi yang terik tiga bulan lalu. Maruloh dan seorang rekannya sesama paramedis sedang dalam perjalanan menuju kantor mereka setelah menghadiri rapat di Jakarta Convention Center.
Lewat di depan Plaza Senayan, Jakarta Selatan, mereka menyaksikan orang berkerumun. Di trotoar, sesosok laki-laki muda tergeletak berlumuran darah. Di sebelahnya sebuah sepeda motor tergolek dan ringsek. Laki-laki tadi baru mengalami kecelakaan.
Tanpa pikir panjang, Maruloh dan rekannya menghentikan ambulans mereka dan bergegas mendekat. Setelah mengenakan perlengkapan perlindungan diri, kedua orang itu dengan cekatan memeriksa kondisi korban.
Korban diketahui mendapat luka terbuka di kepala, telinga mengeluarkan darah, muntah, dan pingsan. "Berdasarkan fakta ini, saya menduga tulang leher korban patah," ujarnya.
Pertolongan gawat darurat segera diberikan. Leher korban diberi penyangga, pasokan oksigen dialirkan, dan semua luka terbuka ditutup. Tak sampai 10 menit, setelah korban dinilai cukup stabil, Maruloh melarikan laki-laki malang tadi ke Rumah Sakit Pertamina.
Setelah dirawat beberapa jam, kabar baik datang, nyawa laki-laki tadi bisa diselamatkan. Mendengar itu, Maruloh bersyukur dan bergegas menuju kantornya di Sunter, Jakarta Utara, tanpa meminta bayaran. "Korban kecelakaan lalu lintas akan kami tangani secara gratis," kata dia.
Itulah sebagian tugas mulia yang diemban paramedis Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118. Profesi paramedis serupa tapi tak sama dengan perawat. Sementara perawat bertugas merawat pasien yang telah ditangani dokter, paramedis bertugas memberi pertolongan pertama pasien gawat darurat, dan membawanya ke rumah sakit.
Maruloh menuturkan paramedis juga awalnya seorang perawat. Setelah selesai menempuh pendidikan di akademi keperawatan atau sekolah perawat kesehatan, calon paramedis mendapat pendidikan selama dua bulan di Yayasan. Materinya terutama mengenai penanganan pasien gawat darurat.
Lepas dari pendidikan tersebut, seorang paramedis dinilai siap memberi pertolongan pertama bagi korban kecelakaan, stroke, serangan jantung, sesak napas, bahkan membantu kelahiran.
Biaya yang dibebankan Yayasan kepada pemohon ambulans hanya Rp 200 ribu untuk satu kali hantaran di wilayah DKI Jakarta. Bahkan, kata dia, untuk warga yang bisa menunjukkan surat keterangan tidak mampu, pelayanan ambulans diberikan gratis. Semua biaya warga miskin ditanggung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Oleh Yayasan, Maruloh, yang telah memegang jabatan sebagai Wakil Komandan Wilayah Jakarta Selatan, digaji Rp 1,25 juta setiap bulan. Pendapatan ini bisa bertambah jika ada lembur, perjalanan dinas ke luar kota, memberi pelatihan penanganan gawat darurat, atau tip dari pasien.
Yayasan membagi jam kerja paramedis ke dalam dua shift sehari semalam. Masing-masing mendapat jatah selama 12 jam. Dalam kesehariannya, paramedis tidak berkantor, tapi mangkal di pos-pos ambulans, yang disebar di lima wilayah DKI Jakarta.
Khusus untuk Jakarta Selatan, kata dia, pos ambulans antara lain ada di Jalan Fatmawati, Tanjung Barat, Kuningan, dan Kantor Wali Kota Jakarta Selatan. Biasanya mereka juga bergabung dengan aparat kepolisian dan petugas pemadam kebakaran dalam sistem penanganan gawat darurat terpadu.
Sembilan tahun bekerja sebagai paramedis, Maruloh telah menjelajahi banyak wilayah bencana. Beberapa di antaranya wilayah gempa bumi di Bam, Iran, tsunami di Aceh, dan gempa bumi di Yogyakarta. "Di daerah bencana, tugas kami menyisir lokasi bencana dan mengevakuasi korban," ujar laki-laki 29 tahun ini.
Tentu saja tidak cuma pengalaman manis yang dikecap paramedis. Lima tahun lalu contohnya, Maruloh pernah gagal menyelamatkan nyawa seorang pasien gagal jantung. Ada kemungkinan penyebabnya, kata dia, adalah keterlambatan penanganan.
Seharusnya, sesuai dengan standar yang ditetapkan Yayasan, paramedis maksimal telah tiba di lokasi dalam 8-10 menit. Tapi ketika itu, Maruloh tengah berada di Rumah Sakit Graha Medika, Jakarta Barat. Sedangkan pasien berada di Ciledug, Tangerang. Butuh waktu 30 menit untuk tiba di sana.
Tiba di lokasi, ia menemukan kondisi korban sudah sangat payah. Upaya mengaktifkan kembali detak jantung telah dicoba dengan berbagai cara dan alat. Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain, nyawa pasien tersebut tidak dapat diselamatkan. "Saya cukup terpukul dengan kejadian itu," ucap Maruloh.
Maruloh mengaku cukup mantap dengan profesinya saat ini. Tidak ada keinginannya untuk beralih profesi atau pindah ke tempat lain. Malah, untuk meningkatkan potensi diri, ia kini meneruskan kuliah sarjana jurusan manajemen rumah sakit.
Cuma, ia punya sedikit keluhan mengenai kondisi pos yang kurang memadai. "Sebaiknya ada tempat istirahat dan MCK yang baik," ujarnya lagi.


oleh: EFRI RITONGA
KORAN TEMPO
Minggu, 23 Juli 2006

Halo Motor Ambulans 118...

Mendung kelam menggelayut di langit Jakarta. Hari baru saja beranjak sore. Zaenuji, 25 tahun, asyik mengembuskan asap rokok filternya di pos polisi sambil nangkring di atas jok motor dinasnya yang terparkir di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan, tempat biasa mangkal.
Suara radio panggil di pinggang kemudian membuyarkan lamunannya. "Semua Ninja (kode untuk motor ambulans) segera merapat, ada 33L (tabrakan antarkereta) di Pasar Minggu," kata suara wanita di seberang radio panggil. Yang dimaksud adalah tabrakan antarkereta listrik Jakarta-Bogor pada 30 Juni lalu.
Zaenuji langsung memacu Kawasaki Ninjanya. Dia bukan polisi, apalagi tukang ojek. Ia adalah paramedis bermotor milik Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118. Mereka menyebutnya motor ambulans. Suara sirenenya menjerit-jerit. Sesekali meliuk-liuk di celah-celah mobil yang berjalan merayap di Jalan Raya Pasar Minggu.
Sepuluh menit kemudian, Zaenuji tiba di lokasi kejadian. "Pemandangannya sangat mengerikan," katanya. Apalagi ketika melihat korban Siti Mas'amah alias Bunga Citra Lestari. Ia terbujur tanpa kedua kaki, putus hingga pangkal paha. Sesekali merintih kesakitan.
Zaenuji langsung menancapkan jarum infus dan memasang alat bantu oksigen. Lantas dia membalut luka yang menganga di pangkal paha dengan kain untuk membendung darah yang masih mengucur deras. Bunga dibawa dengan mobil bak terbuka ke Rumah Sakit Pasar Rebo karena unit mobil belum tiba. Bunga bisa ditolong waktu itu, meski akhirnya maut menjemput tujuh hari kemudian.
Tim medis bermotor ini memang menjadi alternatif untuk menolong korban-korban yang membutuhkan bantuan kesehatan segera, semisal korban kecelakaan itu. Menurut Aryono D. Pusponegoro, ketua sekaligus pendiri Yayasan Ambulans 118, kehadiran unit motor merupakan solusi menghadapi kemacetan, terutama pada jam sibuk.
"Standar kami 10 menit sudah harus sampai ke lokasi kejadian karena pasien kondisi gawat darurat masih bisa diselamatkan dalam hitungan waktu itu," kata Aryono kepada Tempo. "Unit mobil kami sangat sulit mencapainya kalau Jakarta lagi macet-macetnya," ujarnya.
Motor ambulans, kata guru besar Universitas Indonesia itu, pertama kali menghiasi jalan-jalan di kota metropolitan ini pada 1997. Indonesia yang memelopori kehadiran unit gawat darurat roda dua ini di dunia. Tapi hanya hitungan bulan beroperasi. Sebab, kekurangan tenaga paramedis.
Baru pada akhir 2003 motor ambulans kembali melayani masyarakat Jakarta. Motor mereka, yang merupakan sumbangan dari sebuah perusahaan itu, baru 12 unit. Sebanyak 10 unit disebar di lima wilayah Jakarta. Sisanya berjaga-jaga di kantor pusat Ambulans 118 di kawasan Sunter, Jakarta Utara.
Sebetulnya untuk Jakarta belum cukup dengan jumlah motor itu. "Idealnya sih Jakarta butuh 50 motor, tapi uang untuk membelinya dari mana?" kata Aryono.
Aryono menjelaskan, kru motor ambulans harus sudah menyandang Paramedik 3, atau sudah melewati berbagai pelatihan, seperti jantung dan bencana alam. Terakhir, penyelamatan korban dalam situasi perang. "Paling tidak butuh waktu tiga tahun untuk melahap semua pelatihan itu," ujarnya.
Peralatan yang dibawa motor ambulans sudah standar gawat darurat internasional. Contohnya tabung oksigen dan alat bantu jalan pernapasan, infus dan cairannya, obat-obatan jantung, termasuk alat suntiknya dan penyangga leher, juga kotak gawat darurat, antara lain gunting, perban, dan alkohol.
Setiap hari, rata-rata motor ambulans melayani 10 panggilan, sedangkan unit mobil 75 panggilan. Rendahnya permintaan karena belum semua orang tahu soal layanan gawat darurat ini. Akibatnya, ambulans ini banyak ngejogrok alias nganggur di pos-pos mereka.
Sejumlah penduduk Jakarta yang ditemui Tempo malah mengaku tidak tahu adanya layanan ini. "Apa mereka akan datang kalau kami panggil?" tanya Adi, seorang karyawan swasta, mengomentari keberadaan yayasan yang didirikan Ikatan Ahli Bedah Indonesia pada 1970-an itu.


oleh: SS KURNIAWAN
KORAN TEMPO
Sabtu, 3 Desember 2005

Cewek Ambulans Memburu Panggilan

Sirene itu menjerit-jerit di tengah guyuran hujan lebat. Sebuah ambulans terjepit di kemacetan lalu lintas Jakarta sore itu. Klakson pun dinyalakkan untuk mendapatkan celah jalan. Suratinah harus memacu mobilnya ke lokasi tabrakan kereta api di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Suratinah seorang wanita berumur 26 tahun. Mobil ambulans yang dikemudikan boleh dibilang selalu berjalan zigzag menerobos kemacetan. "Degdegan kalau ada panggilan darurat," katanya. Sudah dua tahun Suratinah menjadi sopir ambulans Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118 Jakarta.
Suratinah juga dijuluki pilot. Ia salah satu pilot dari 25 cewek di sana. Sebelum diangkat menjadi sopir, Suratinah yang bergabung dalam Tim 118 pada 1998 itu lebih dulu menjadi kru ambulans.
Hasrat menjadi sopir terus menggelora semenjak ikut pendidikan mengemudi (defense driving). Memasuki awal 2003, barulah lembaga tempatnya bekerja mengizinkan wanita menjadi "pilot ambulans". "Kami ingin perempuan sama dengan pria," kata Asti Puspitarini, juru bicara 118. Gaji mereka sekitar Rp 900 ribu per bulan.
Kisah kepiawaian mereka diperlihatkan ketika mantan presiden Abdurrahman Wahid jatuh sakit di kantor Pengurus Besar NU di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Tiga mobil ambulans Tim 118 meluncur, termasuk yang dikemudikan Suratinah.
Suratinah yang pertama tiba. Setelah memberi pertolongan singkat, pasien yang kerap dipanggil Gus Dur itu langsung dilarikan ke RS Cipto Mangunkusumo. Waktu itu Gus Dur tidak sampai menjalani rawat inap. "Beliau mengucapkan terima kasih," kenang Suratinah yang mengaku sempat bersalaman dengan Gus Dur.
Ambulans 118 sudah dikenal. Paramediknya digembleng oleh ahli-ahli pertolongan asal Jepang dan Amerika Serikat. Setiap tiga bulan mereka memperoleh pendidikan tambahan, seperti penanganan korban berpenyakit jantung dan bencana alam.
Menurut Any Sumarny, sopir cewek lainnya, kemacetan di Jakarta menjadi kendala paling merepotkan. Peraturan mengharuskan sopir Tim 118 tiba di lokasi paling lama 10 menit sejak perintah diterima. Gara-gara macet, waktu tempuh bisa molor 20 menit.
"Begitu tahu sopirnya cewek, baru diberi jalan," ujar Any mengisahkan pengalamannya di jalan menerima simpati orang.
Ungkapan simpati juga datang saat tiba di rumah sakit. Satpam langsung membantu dengan memberi aba-aba tatkala ambulansnya hendak parkir.
Any merasa, cewek menjadi sopir ambulans masih dipandang sebelah mata. Keluarga pasien, kata Any mencontohkan, awalnya meragukan kemampuannya. Keraguan itu membuat Any bersemangat menunjukkan kebolehannya menyetir. "Kalau sudah begini baru pada mengacungkan jempol," ujar lulusan Akademi Perawat Departemen Kesehatan Jakarta ini.


oleh: SS KURNIAWAN
KORAN TEMPO
Sabtu, 3 September 2005